Bahasa Jawa itu ruwet, katanya. Dari sisi tataran atau tingkatan ada krama hinggil, ada krama, ada ngoko. Belum lagi dari sisi kosa-kata. Untuk penyebutan yang berasal dari satu asal benda yaitu bulir padi dapat dibahasakan sebagi menir, uwos atau gabah tergantung kondisinya.
Dari sisi yang lain, ada yang membahasakan bahasa Jawa itu sangat kaya. Dapat memaknai suatu kejadian dengan sangat detil dan cukup sulit menemukan padanannya yang ringkas, misalnya dalam Bahasa Indonesia, seperti kata: mingklik-mingklik. Mingklik-mingklik dapat secara bebas diterjemahkan sebagai: posisi suatu benda yang sudah merada sangat di pinggir tapak sehingga dapat dengan tiba-tiba dan atau serta-merta terjatuh baik karena faktor gravitasi ataupun hanya dengan sentuhan ringan yang tidak disengaja.
Dunia pikir dalam latar belakang kultur budaya Jawa juga dapat menggambarkan banyak hal dari banyak dimensi. Pemilihan Walikota Yogyakarta, misalnya, oleh yang bersikap skeptis digambarkan sebagai ‘anyep kaya kulkas’. Dingin seperti kulkas. Nyaris tanpa greget dan partisipasi kritis dari masyarakat, berbeda 180 derajat dari kondisi Pilkada DKI Jakarta.
Dua Catatan dari minggu ke-3 di bulan Oktober 2016
Minggu ini setidaknya ada dua catatan terkait layanan publik di Yogyakarta. Yang pertama, pada hari Senin pagi, 17 Oktober 2016 moda transportasi publik Trans Jogja tidak melayani penumpang karena (kabarnya) ada demo para sopir di pool. Entah apa yang menjadi pangkal persoalan, biasanya terkait pembagian remunerasi. Dan kedua, pada hari Jumat pagi, 21 Oktober 2016 ada keluhan dari seorang teman yang mengabarkan bahwa telah dilakukan penutupan dan pengalihan jalur tetapi tanpa sosialisasi sebelumnya sehingga mengakibatkan banyak pemakai jalan yang terganggu termasuk juga banyak anak sekolah yang terlambat mengikuti pelajaran.
Pada kasus pertama, mengakibatkan banyak pemakai setia Trans Jogja yang sangat terganggu rencana aktivitasnya. Meski dari sisi pendemo dapat mengatakan itu adalah tindakan yang berhasil. Karena menjadi pusat perhatian dan menganggu orang lain. Padahal transportasi itu menjadi andalan bagi sebagian warga kota.
Ada dua hal setidaknya yang dapat dijadikan alasan mengapa Trans Jogja menjadi andalan: pertama, karena jauh lebih aman dari pada naik kendaraan roda dua yang semakin berisiko karena kepadatan lalu-lintas dan adab berkendara yang dilakukan oleh sebagian orang dapat membahayakan orang lain, dan kedua: karena tarif yang murah. Dari sisi pemetaan kompetitif, aman dan murah dapat menjadi kekuatan (strenght) dan menciptakan peluang (opportunity) sehingga jumlah pemakai jasa dapat bertambah. Tetapi pada sisi yang lain juga dapat menjadi kelemahan (weakness) dan tantangan (threat) bila pengelola menjadi tidak lagi profesional dalam melakukan pengelolaan dan pelayanan.
Pada kasus kedua, hanya hal yang sangat bisa dihindari dan dapat menjadi win-win solution bila tersosialisasi secara baik karena ruang publik melibatkan banyak kepentingan sehingga memang (mau-tidak-mau) harus dilakukan pengelolaan yang komunikatif bagi dan terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).
“Do little things with big love”
Dua kejadian di atas mungkin dapat dikatakan sebagai hal kecil. Hal sederhana. Hal yang tidak terlalu rumit. Tetapi tidak dapat dikatakan tidak penting. Seringkali karena (hanya) hal kecil lalu penyelesaian yang dipilih tidak dianggap prioritas. Hal kecil dilupakan karena bukan hal besar. Bukan hal besar maka lalu seringkali disimpulkan bukan merupakan hal yang penting. Padahal sudah diingatkan bahwa yang dapat menyelesaiakan hal-hal kecil dengan baik maka akan siap melaksanakan hal-hal yang besar. Rasanya peringatan ini selalu relevan baik untuk pribadi maupun institusi.