Mantan Lurah Labuang Baji, Jonas Manggis ditengarai menguasai aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar berupa  fasum dan  fasos di samping Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuang Baji, Jalan Landak, Kecamatan Mamajang. Fasum fasos itu diperjualbelikan kepada pedagang kaki lima (mediasulsel.com).
Permasalahan ini tidak hanya terjadi di Sumsel saja. Di lingkungan tempat tinggal saya pun  praktek ini juga terjadi, dimana bahu jalan yang bersisian dengan sungai beralih fungsi menjadi lapak - lapak pedagang. Ketika saya bertanya kepada salah satu penjual, rupanya mereka menyewa lapak  tersebut dari seseorang yang mengklaim memiliki lahan itu. Padahal jelas - jelas bahu jalan adalah  fasilitas umum yang tidak mungkin dimliki perorangan.
Berikut ini sekilas deretan lapak di bahu jalan pinggir sungai di sekitar tempat tinggal saya di kota Bogor, yang sudah saya dokumentasikan.
Sebenarnya ini merupakan sebuah dilema. Di satu sisi sebagai masyarakat sekitar saya merasa dimudahkan juga dengan banyaknya lapak - lapak pedagang makanan, pedagang sayur dan sebagainya yang memudahkan kami dalam berbelanja berbagai hal. Namun disisi lain sebagai pejalan kaki saya juga merasa tidak nyaman saat berjalan kaki karena harus hati - hati sekali dengan arus lalu lintas kendaraan yang terkadang cukup padat. Seharusnya ketika muncul 1-2 lapak yang tidak legal, masyarakat atau aparat setempat langsung menegur bahwa yang bersangkutan sudah menyalahi aturan. Karena jika sudah menjamur tentu akan lebih susah untuk menertibkannya.
Diluar permasalahan diatas, fasum dan fasos  selayaknya kita jaga bersama agar kemanfaatannya sesuai dan bisa berlangsung hingga jangka panjang. Merawat fasum fasos milik pemerintah berarti kita sudah ikut menjaga harta  negara.  Langkah kecil yang bisa kita lakukan antara lain tidak mencorat - coret, tidak merusak, atau bergotong royong dengan masyarakat setempat dalam hal memperbaiki fasum fasos yang rusak.
Mengawasi roda pembangunan
Peran serta masyarakat dalam mengawasi pembangunan daerah sangat penting untuk menciptakan good governance. Tidak hanya pembangunan fisik saja, pembangunan non fisik juga butuh perhatian.
Misalkan dengan berpartisipasi aktif dalam mengawasi Dana Desa. Untuk diketahui pada tahun 2018 mendatang pemerintah berencana menggelontorkan biaya sebesar 60 Triliun untuk dana desa, dengan sasaran 74.958 desa dan 8.430 kelurahan yang tersebar di Indonesia. Jadi, kira - kira setiap desa/kelurahan mendapatkan dana sebesar 700 jutaan untuk membangun desanya. Ini jumlah yang sangat besar dan potensi penyelewengannya cukup tinggi. Disinilah fungsi kontrol masyarakat dibutuhkan. Mau dialokasikan untuk apa saja dananya, Â apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan rencana, siapakah pelaksananya, dan sebagainya. Hanya dengan berpartisipasi aktif dalam lingkup RT saja kita sudah turut membantu BPK dalam mengawal harta negara.
Menyuarakan aspirasi dan bersikap kritis
Pernahkah kita dapati fasilitas publik yang tidak berfungsi, bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, proyek pembangunan yang mangkrak dan tidak jelas kelanjutannya. Misalnya saja waduk yang tidak tersambung irigasi. Padahal pembuatan waduk itu sendiri menelan biaya yang tinggi, namun setelah jadi pemanfaatannya tidak maksimal.
Jangan sampai pembangunan/pengadaan/pemberian bantuan yang sejatinya bertujuan baik justru menjadi mubazir, karena tentu saja hal ini menyebabkan kerugian negara. Andaipun sudah terjadi, masyarakat bisa menyuarakan aspirasi atau membantu memikirkan solusi, misalnya bagaimana supaya fasilitas publik yang tadinya terbengkalai bisa berfungsi kembali atau dialih fungsikan ke hal lain, dan sebagainya.
Sebelum kemubaziran tersebut terjadi, kita bisa mencegahnya dengan bersikap kritis. Misalnya saja, ada wacana akan dibangun Taman Bacaan di desa tempat tinggal kita. Sebelum sarana dan prasarananya terbangun, perangkat desa bisa bermusyawarah dulu. Benarkah Taman Bacaan ini dibutuhkan? Apakah nanti benar - benar dimanfaatkan warga sekitar? Apakah urgent? Jika dalam bentuk mobil keliling apakah dana operasionalnya siap? Apakah tidak lebih baik dibangun taman bermain saja daripada taman bacaan?