Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Kuliner] Pulang ke Kotamu

6 Juni 2016   15:32 Diperbarui: 6 Juni 2016   17:35 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan dari Terminal Bungurasih Surabaya menuju Jombang amatlah berbeda dengan masa lalu, saat dimana aku masih memakai baju SMA dan setiap pagi setia menaiki bus Puspa Indah jurusan Jombang – Malang untuk menuju sekolah.

Jika pada masa itu perjalanan bus Surabaya-Jombang sedemikian lancarnya dan hanya membutuhkan tempo satu jam untuk mencapai Pterongan, maka sekarang jarak yang sama ditempuh dalam waktu dua jam. Macet yang lumayan parah kujumpai dibeberapa titik seputaran kota Mojokerto, dan baru terasa lancar saat bus menginjak Trowulan.

Bus yang kunaiki berhenti di pertigaan Universitas Darul Ulum yang berhiaskan monumen Adipura berukuran besar. Oleh masyarakat pertigaan itu sering disebut protelon Undar (singkatan Universitas Darul Ulum) atau protelon terminal lama karena dekat dengan bangunan bekas terminal bus antar kota. 

“Monggo becake, mas,” beberapa tukang becak menawarkan jasanya sesaat setelah aku turun dari bus. Sejenak kukelilingkan pandangan, dan aku terkejut serta terkesan dalam satu waktu. Beberapa becak tampak telah dimodifikasi dengan motor sehingga tukang becak itu sekarang tidak perlu lelah mengayuh lagi. Aku tersenyum dalam hati, sebuah contoh inovasi bersahaja penuh manfaat hadir dihadapanku. 

Becak-motor yang kunaiki  anteng melintasi jalan merdeka yang kini berganti nama menjadi jalan KH Abdurrahman Wahid. Udara terasa bersih dan segar, beda sekali dengan Jakarta. Kunikmati sinar matahari jelang siang sambil melihat gedung-gedung di kiri-kanan jalan. Kuperhatikan Universitas Darul Ulum yang tidak berubah dengan cat hijaunya, lalu Gedung olahraga dan lapangan sepakbola Merdeka yang juga tetap tidak berubah warna dan bentuknya. 

Becak mulai melintasi deretan pertokoan lama. Aku tersenyum saat melihat sebuah bangunan tempat dulu aku sering bermain Playstation, lalu aku jumpai pula toko kaset tempat aku suka membeli kaset dulu. Sayang, toko itu sekarang telah tutup. Kuperhatikan folding gate tua menutupi pintu kaca yang sering aku lewati dulu.

“Mama tidak suka dengan Jombang. Kotanya nggak dinamis dan begitu-begitu saja,” komentar Mama tempo hari mengenai kota yang terkenal dengan sebutan Kota Beriman itu. Dan betul lah apa kata Mama, sepuluh tahun sudah sejak terakhir aku kesini namun suasana serta bangunannya masih tetap sama, ayem dengan denyut kehidupan yang cenderung lambat.

Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa ributnya mama hari ini saat mengetahui anak semata wayangnya sudah pergi dari rumah sedari subuh dengan hanya meninggalkan selembar kertas berisi pesan pendek di meja : Pergi ke Jombang!

Ya, satu-satunya alasan aku pergi ke kota ini adalah untuk mengobati kangen. Kangen dengan masakan khas kota tempat aku menghabiskan masa SMA ku. Maka jadilah aku terbang dengan pesawat pertama ke Surabaya kemudian menyambung bus dari Bungurasih.

Becak-motor melewati perempatan besar Ringin Conthong, merujuk pada  sebuah pohon beringin besar yang berada ditengah-tengah perempatan berdampingan dengan menara air kuno jaman Belanda. Persis diseberang bank BCA aku menoleh kekiri untuk melihat apakah Sate Kambing pak Slamet yang legendaris itu masih buka atau tidak. Ternyata warung sate itu masih tetap buka dengan setia, bahkan kini tergabung dalam sebuah area makan bernama Food Court Ringin Conthong. Bertetangga dengan warung soto daging, nasi bali dan kios aneka jus buah. 

Sate dan gule kambing Pak Slamet memang terkenal lezat. Cita rasa campuran bumbu kacang dan kecap dengan irisan bawang merah terasa amat memanjakan lidah, ditambah daging kambing yang lembut dan tidak berbau prengus. Sedangkan gulenya juga tidak kalah lezat, dengan kuah kentalnya yang mlekoh. Tidak heran jika seorang Bondan Winarno sampai memberi predikat Maknyus pada warung sate ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun