Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misi Terakhir Azazil (2)

31 Oktober 2014   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:03 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya : Disini

3

Sesosok tubuh mengamati hiruk pikuk yang terjadi disalah satu rumah di kompleks DPR dari warung kopi kecil, agak jauh diseberang jalan. Warung itu agak tersembunyi berkat adanya pepohonan yang cukup rimbun disekitarnya sehingga banyak orang yang tidak menyadari keberadaannya.

Ada beberapa mobil patroli polisi yang berkilauan karena pantulan lampu sirine mereka beserta sebuah ambulans. Disudut lain tampak sekerumunan orang yang berteriak-teriak tidak jelas kearah sosok polisi yang lalu lalang dekat mereka. Mudah bagi sosok tubuh itu untuk menyimpulkan mereka adalah wartawan yang tengah mengais informasi demi tugasnya.

“Ada apa yah ? Kok sampai banyak polisi berdatangan ?”

Sosok tubuh itu menoleh ketika didengarnya si pemilik warung juga turut mengamati suasana dirumah seberang itu dengan rasa penasaran yang kentara.

“Memangnya disini belum pernah ada kejadian seperti ini, mang ?” Tanyanya setengah menyelidik. Suaranya terdengar kalem.

Si Mamang pemilik warkop menggeleng beberapa kali, “Belum pernah, kang. Sepuluh tahun saya jualan disini, baru sekarang lihat ada ramai-ramai seperti ini. Biasanya disini sepi. Kalau malam paling cuma satpam yang dapat jatah shift malam yang datang.”

“Tapi mamang tahu ini kompleks apa ?”

“Ini kan kompleksnya menteri. Apa DPR ya ? Wah, agak lupa saya. Tapi yang tinggal disini pejabat semua. Kalau pagi-pagi saya lihat mereka keluar rumah pasti dikawal sama polisi.”

Sosok itu mengangguk-angguk mendengar cerita mamang pemilik warkop. Sambil mencecap kopi hitamnya yang agak kemanisan ia terus mengamati kejadian di rumah seberang. Dilihatnya paramedis sedang mendorong kereta yang berisi sesosok tubuh ditutupi kain putih. Mereka bergerak menuju ambulans yang tampak sudah siap untuk berangkat. Tak lama kemudian ambulans itu berangkat diiringi suara sirinenya yang nyaring.

Si mamang rupanya turut menyaksikan kejadian itu. Wajahnya terlihat cemas saat melihat sosok tubuh yang ditutupi kain itu memasuki ambulans, “Wah, itu ada orang ditutupi kain. Berarti dia sudah mati ya, kang ?”

Sosok itu mengangguk pendek, “Biasanya begitu, mang.”

“Waduh, berarti ada pembunuhan. Apa yang mati itu pejabatnya ya ?”

“Masih belum jelas. Bisa saja pembantunya atau mungkin supirnya yang meninggal.”

Wajah si mamang terlihat prihatin, “Kok bisa kompleks pejabat kayak begini dibobol orang, lho. Mestinya kan sudah dijaga ketat. Itu gerbang depan saja satpamnya ada lima orang, galaknya setengah mati. Tiap hari mereka patroli keliling kompleks naik sepeda. Tapi ternyata masih bisa dibobol maling.”

Sosok itu mengernyitkan dahinya, “Maling ?” Tanyanya sambil menoleh ke arah si mamang.

“Ini pasti maling, perampokan ! Si maling kepergok sama orang rumah, terpaksa dibunuh. Begitu, kan biasanya ?”

Si sosok tersenyum mendengar analisa si mamang. Sebuah analisa yang melibatkan sedikit imajinasi dan data peristiwa dimasa lalu. Tidak jelek, tapi jelas menyesatkan dan prematur.

Sosok itu kemudian pamit pada mamang pemilik warkop setelah membayar kopinya. Ia pun lenyap memasuki sebuah jalan setapak kecil terbuat dari paving stone yang menghubungkan kompleks itu dengan jalan protokol. Suasana jalanan sudah sangat sepi ketika ia tiba disana dan mengambil motor bebeknya yang ia sampirkan di belakang pohon asam besar. Pohon yang konon angker itu ternyata menjadi tempat persembunyian yang baik bagi motornya.

Ia mengendarai motornya perlahan kearah barat daya kota. Otaknya sibuk dengan berbagai pikiran yang sedari tadi telah berdesakan masuk.

Email itu benar, dia sudah mengetuk pintu....Desah hatinya.

Satu minggu sebelumnya, disaat ia tengah menikmati hari-hari pensiun dininya disebuah losmen di seputaran Kaliurang, ia temui sebuah email baru di inboxnya. Tidak ada informasi mengenai pengirim, alamat email tersamarkan jelas bukan dari provider jasa penyedia email raksasa yang sudah amat dikenal itu. Judul subyeknya lah yang membuat dirinya mau tidak mau harus membongkar lagi file-file ingatan masa lalu yang sudah ia putuskan untuk dilupakan.

Subject : Reuni

Hi Azazil,

Kemasi barangmu, waktunya reuni. Ivan berangkat duluan, sekarang dirumahmu. Jangan tidur seminggu kedepan, pasang mata di -6.224158 dan 106.836265, Ivan bakal mengetukmu sebelum tengah malam.

Don’t miss it !

PS : Aku rindu dengan Nancy J

Dia merasa perutnya kejang usai membacanya. Satu hal langsung ia sadari, mereka telah mengetahui alamat email yang baru ia buat enam bulan sebelumnya. Ia tidak pernah tahu bagaimana cara mereka melacak dirinya, namun yang tertulis di email itu bukanlah sebuah undangan reuni biasa. Itu adalah sebuah pernyataan, sekaligus sebuah janji. Tenggorokannya jadi kering jika mengingat bahwa mereka adalah orang-orang yang selalu menepati janjinya.

Mereka akan datang, menemuiku....pikirnya. Hati kecilnya mengatakan untuk tidak menggubris email itu, tinggalkan saja Kaliurang dan pergi ke kota lain di penjuru Jawa. Akan dibutuhkan waktu setidaknya setahun untuk menemukan keberadaannya lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia tidak mampu melakukan hal itu. Cepat atau lambat mereka akan datang juga.

Ia tahu siapa mereka, karena pada awalnya ia adalah bagian dari mereka. Mereka adalah para spesialis yang selalu menangani setiap masalah dengan tuntas. Dilatih oleh sebuah pergerakan bawah tanah rahasia dengan satu tujuan ; menjadi seorang pembunuh yang terlatih. Pergerakan itu sudah tidak aktif lagi hampir 17 tahun lamanya, namun ia tahu kalau mereka masih ada, anggota-anggota masih bergerak ke seluruh penjuru bumi, siap kembali apabila ada panggilan untuk balik kandang.

Diantara tiga orang dalam timnya, hanya dia yang memutuskan untuk menyudahi petualangan. Ia ledakkan rumah yang merupakan alamat terakhirnya, menghilang bertahun-tahun lamanya, berpindah-pindah kota di seputar Sumatera dan Jawa serta mengganti identitas dirinya. Ia merasa yakin keberadaannya tidak dapat dilacak oleh anggota tim yang lain.

Sampai email itu tiba.

Dibacanya email itu lagi. Kata-katanya lugas dan tidak memiliki tujuan untuk mengaburkan makna sebenarnya atau menunjukan kode-kode tertentu. Semuanya sangat gamblang dan jelas.

Sekarang dirumahmu, artinya mereka akan datang ke kota dimana ia tinggal. Ia membuka google maps dan mengetikan angka -6.224158 dan 106.836265.

Itu adalah sebuah koordinat lokasi. Peta bergerak menuju derajat bujur lintang yang dimaksud dan berhenti disebuah titik.

Itu bukan rumahku. Pikirnya, lagipula ia tidak memiliki tempat tinggal permanen. Segera ia sadari bahwa titik itu menunjukan hal yang lain.

Itu adalah target.

Saat ia hadir di rumah yang ternyata milik seorang anggota DPR, ia tahu dirinya telah terlambat. Dilihatnya sebuah Jendela di lantai dua tampak terbuka sedikit, pastilah itu jalan masuk mereka. Ia pun segera menyingkir dari sana sambil berusaha mencari tempat yang baik untuk tetap bisa mengamati rumah itu dari jauh. Beruntung ia menemukan warung kopi kecil itu.

Sosok diatas motor itu mendesah pelan. Sebagai mantan anggota ia memahami kebiasaan dari pergerakan itu dalam mengerjakan sebuah misi. Tugas mereka adalah menyelesaikan sebuah operasi yang bertujuan untuk mensukseskan operasi lain yang memiliki skala prioritas lebih tinggi.

Membunuh satu orang anggota dewan, hanya dianggap teror kecil dan hampir tidak berdampak apa-apa, orang akan memandang sebagai aksi kriminalitas biasa. Lain lagi jika ada 3-4 anggota dewan yang tewas. Itu adalah teror diatas teror.

Akan masih ada korban lagi, hatinya berdesis, Ia memastikan itu. Korban saat ini adalah korban pertama dari beberapa rangkaian korban yang akan datang.

Masalahnya, siapa dan mengapa ?

(Bersambung)

Sumber Gambar : http://data.tribunnews.com/foto/bank/images/20131225_074403_ilustrasi-mati-lampu-blackout.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun