Mohon tunggu...
Diar Herdyan
Diar Herdyan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pembelajar seumur hidup, sambil sesekali pesiar berwisata kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misi Terakhir Azazil (10)

16 Desember 2014   20:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya : Misi Terakhir Azazil (9)

18

Langit sudah mulai berwarna lembayung redup kala Mercedes itu memasuki kawasan pemukiman di sekitar Jagakarsa. Lamat-lamat terdengar suara murrotal Qur’an yang berasal dari audio masjid, lirih menyebar menumpang angin yang berhembus pelan. Hujan masih turun, gerimis dengan titik-titik air berukuran besar.

Rumah itu lebih luas dari rumah-rumah sekitarnya dan, tentu saja, lebih mewah. Rumah dua lantai bergaya hacienda itu tegak dilahan seluas seribu lima ratus meter persegi. Dindingnya yang terbuat dari bata beton ringan dipoles dengan cat warna putih gading, atapnya yang tidak terlalu landai tersusun atas genting keramik pilihan produksi Karangpilang berwarna coklat terracotta. Bagian depannya yang berhubungan langsung dengan pintu masuk terdapat sebuah gapura kecil terbuat dari batuan kapur berwarna senada dengan atap lengkungnya yang merupakan ciri khas sebuah hacienda. Di depan rumah terdapat sebuah taman dihiasi rumput peking dan beraneka bunga warna-warni di pinggirnya. Antara taman dan gapura terdapat jalur jalan terbuat dari batu alam berlempeng besar yang direkat dengan semen beton, melewati gapura tersebut. Disitulah Mercedes itu masuk menderu, melewati pagar yang dijaga dua orang penjaga keamanan.

Sebuah mobil SUV berwarna silver parkir di tepi jalan masuk menuju daerah rumah besar itu. Si Pengemudi meneropong menyaksikan kesibukan ketika Bambang Jatmika turun dari mobil disambut oleh pembantu dan penjaga keamanan lewat teropong monocular mungilnya. Sedetik kemudian, arah teropongnya bergerak melihat lingkungan sekitar rumah tersebut. Lingkungan itu adalah sebuah lingkungan pemukiman lama dengan deretan rumah yang tidak terlalu rapat. Akses jalan menuju kedalam terbilang sangat bagus dan mulus. Tentu saja, karena disana bersemayam seorang “dewa” bergelar anggota DPR.

Ada beberapa rencana yang mesti dirubah. Lingkungan sekitar rumah tampak tidak mendukung dengan apa yang telah ia siapkan sebagai Rencana A. Tidak ada gedung-gedung tinggi disekitar sana yang bisa ia gunakan.

Harus pakai rencana B. Ia agak membenci rencana ini karena tidak dapat menyalurkan kegemarannya sembari menyelesaikan tugas hari ini. Rencana B ini ia anggap sebagai rencana yang kasar, tidak berkelas dan kurang elegan. Tapi terkadang hidup memang berjalan tidak seperti yang kita inginkan, bukan ?

Diraihnya sebuah handphone yang terlihat jadul namun sudah dijejali teknologi anti sadap dari dalam tas tangannya yang terdapat emblem “Kate Spade”. Ia menelepon satu dari hanya dua nomor yang tersimpan dalam handphone itu.

Sebuah suara yang lebih mirip geraman terdengar setelah dua kali nada sambung, “Ya ?”

“Halo, say. Sepertinya aku butuh bantuanmu saat ini.” Betapa bencinya ia karena harus mengatakan itu.

Terdengar suara kekehan sejenak dari seberang saluran, “Kau tidak sanggup, eh ?”

“Sebut saja ini tidak sesuai dengan gayaku, oke ? Kita mesti luwes beradaptasi dengan segala perubahan situasi, kan ? ”

Kekehan lagi, sebelum geraman itu terdengar lagi, “Oke, tunggu aku sejam lagi. Posisimu sudah aku ketahui.”

GPS tracking yang terpasang di handphone jadul itu memang sangat membantu.

Thank you, say. Jangan telat, ya !”

Sambungan terputus, keheningan pun berhamburan masuk kedalam kabin dashboard mobil SUV tersebut. Si pengemudi diam sejenak sambil membayangkan sebuah koper persegi panjang berwarna hitam yang tersimpan dibelakang mobilnya.

Sayang sekali aku tidak bisa menggunakanmu kali ini, dear….Pikirnya sambil tersenyum simpul.

19

Tiga orang terdiam didalam mobil Mitsubishi Lancer yang telah disulap menjadi mobil patroli Kepolisian. Suara sirinenya riuh terdengar, meminta mobil-mobil didepannya agar memberi jalan. Namun ditengah kemacetan ruwet yang membelenggu Jakarta selepas hujan, hal itu terasa mustahil dilakukan.

Ipda Gunawan diam sambil mengemudi. Tangannya kemudian menon-aktifkan sirine ketika dilihatnya percuma untuk membunyikannya. “Oke, sirinenya cuma bisa sampai sini saja.” Ujarnya setengah melapor pada kawan yang duduk disampingnya.

Iptu Ajisaka menyeringai mendengarnya. Dirinya memang sudah tidak berharap untuk bisa menembus kemacetan terkutuk itu dengan cepat. Dipandangi orang yang duduk dibagian belakang lewat kaca spion tengah.

Agustian seperti sadar kalau ada yang mengawasinya sedari tadi, “Ada apa, bung ?”

Iptu Ajisaka Cuma menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul, “Tidak, aku cuma masih sulit percaya dengan ceritamu barusan.”

“Maksud bung ?”

“Jangan salah tafsir, aku percaya padamu. Hanya saja, fakta adanya sebuah unit klandestin kecil lintas matra yang tidak terdeteksi oleh setiap agen intel di negeri ini sangat lah sulit dipercaya.”

Agustian tersenyum pahit, “Kami memang dibentuk untuk bisa segera dilupakan. Bung pasti paham, kan ?”

Iptu Ajisaka mengangguk maklum. Sebagai langkah antisipasi atas setiap kegagalan sebuah operasi intelijen, negara telah mencantumkan sebuah klausul yang bermakna bahwa negara akan menyangkal segala keterlibatan mereka, serta menyangkal telah berhubungan dengan setiap anggota pelaksana operasi itu. Konsekuensinya, pelaku operasi itu akan dianggap sebagai teroris kelas satu, dimasukan dalam DPO dan harus segera diamankan hidup atau mati.

Tragis. Negara yang memprakarsai, negara pula yang paling pertama memburu mereka sebagai seorang buronan. Tapi setiap pelaku di dunia intelijen yang nyaris dianggap sebagai mitos oleh kalangan awam telah mengetahui hukum tidak tertulis itu, meski tetap diselimuti rasa getir karena seperti telah di lepeh oleh negara mereka.

“Seperti yang ada di film Mission Impossible itu, ya ?” ujarnya pada Agustian yang dibalas dengan anggukan pendek.

“Mengenai komandanmu, pelatihmu kala itu. Apa kau masih ingat detilnya ?”

“Kami menyebutnya Kolonel tanpa mengetahui namanya. Wajahnya seperti dilapisi semacam lapisan lateks tipis hingga tidak bisa dikenali. Dia mengunjungi kami memakai PDL combatan berbaret hitam tanpa lambang korps. Suaranya pun juga disamarkan.” Jawab Agustian sembari mengenang kembali masa-masa keras pelatihan mereka disebuah daerah antah-berantah yang belakangan baru diketahui terletak di Israel.

“Kau tidak bertanya-tanya kenapa ia memakai topeng ?”

“Pastinya sebuah implementasi dari penyangkalan negara, bukan ?”

“Ahh…” Iptu Ajisaka mengangguk-angguk lagi. Sementara itu Ipda Gunawan tampak asyik menyimak. Jalanan didepan sana masih penuh dengan timbunan mobil yang terdiam bagai kehabisan bensin.

Agustian melanjutkan ceritanya tanpa diminta, matanya kosong menatap kedepan, kearah kerumunan mobil, “Dari awal kami cuma bertiga, dan dianggap sebagai pilot project. Jika sukses, tim akan ditingkatkan menjadi setara dengan satu peleton yang dibagi menjadi tiga regu. Penugasan pertama kami di sekitar Kamboja, titik zulu. Tapi urung dilaksanakan.”

“Kenapa ?” Tanya Ipda Gunawan sambil matanya tetap mengawasi lalu lintas.

“Reformasi. Orde baru jatuh. Semua kebijakan militer dikaji ulang, Rupiah merosot sehingga semua kegiatan militer yang menghabiskan dana besar dibatalkan, termasuk tim itu.” Agustian mengenang saat misi dibatalkan, padahal mereka sudah diterjunkan dikawasan hutan belukar Kamboja. Mereka pun mesti susah payah kembali ke Indonesia secara sendiri-sendiri lewat jalur darat dan laut.

“Kemudian tim itu bubar ? Begitu saja ?”

“Ya, tidak sulit membubarkannya. Toh kami selalu dianggap tidak pernah ada.”

Iptu Ajisaka termenung mendengar penuturan Agustian. Benaknya memikirkan salinan email yang tadi diberikan Agustian kepadanya. Dari ceritanya, maka bisa dipastikan bahwa pelaku pembunuhan, si pembunuh profesional, adalah para anggota personil yang lain. Sebuah bukti kalau pelatihan mereka telah berhasil dengan baik. Reuni yang mengerikan, pikir Iptu Ajisaka.

Ada beberapa pertanyaan yang mesti ia ajukan lagi pada Agustian. Paling tidak ini akan mengungkapkan dengan siapa sebenarnya mereka berhadapan, sekaligus kesempatan baginya untuk mempelajari orang bernama Agustian itu. Karena apapun rekomendasi dari Komjen Harun, ia tetap tidak dapat seutuhnya percaya dengan orang tersebut.

“Setelah tim dibubarkan, kalian berpencar-pencar ?” Ia pun bertanya lagi.

Agustian mengangguk, “Kami berpencar, tak ada komunikasi lagi. Kolonel juga menghilang. Aku berpindah-pindah kota, bekerja apa saja. Terkadang nyambi kerja di proyek bagian pemetaan dan survey.”

“Tidak ada kontak lagi antar kalian ?”

“Benar, selain dari email itu. Aku juga heran bagaimana mereka bisa melacak email ku.”

“Agustian, apa menurutmu mereka melanjutkan hidup dengan memanfaatkan keahlian mereka sebagai seorang agen lapangan ? “ Tanya Iptu Ajisaka dengan hati-hati.

“Kemungkinan besar, ya. Aku tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan selama ini. Tapi setelah email itu, kemudian pembunuhan Ridwan Suhendra, aku pikir kemampuan mereka tetap terjaga selama ini.”

“Kemudian jika kita asumsikan mereka memang melakukan pekerjaan seperti itu. Menurutmu, apakah mereka dapat melakukannya dengan sekehendak hati ? Maksudku, mereka bisa membunuh orang sesuka hati mereka ?”

Agustian terdiam sejenak, “Mungkin saja, tapi untuk apa ? Maksudku, tidak ada untungnya. Membunuh orang adalah tindakan beresiko tinggi. Untuk apa mereka melakukannya jika tanpa ada sebuah imbalan ?”

Iptu Ajisaka menganggukan kepalanya tanda setuju dengan pendapat Agustian, “Artinya ada pihak yang meminta mereka melakukan itu, tentu saja dengan imbalan ?”

“Ya, itu kemungkinan terbesar.”

“Kira-kira kau bisa menduga siapa kontak mereka ?” Selidik Iptu Ajisaka lagi.

Agustian berpikir sejenak, sampai akhirnya menggeleng tanda menyerah. “Aku tidak tahu, maksudku dunia kami sudah berbeda. Mungkin mereka diluar telah menunjukkan diri pada beberapa orang, kemudian beberapa test case dan terjalin kerjasama. Tapi itu semua cuma dugaan, tidak lebih dari asumsi ku sendiri.”

Hening sesaat. Hanya terdengar suara klakson mobil dari luar sana. Kemudian terdengar suara Iptu Ajisaka memecah suasana, “Menurutmu mungkin tidak, jika Kolonel yang meminta mereka ?”

Agustian diam beberapa saat. Dipandanginya Iptu Ajisaka lewat kaca tengah mobil, “Aku tidak bisa memastikan….” Dirinya terdiam lagi beberapa lama, “…..tapi kemungkinan itu memang mungkin…” Ujarnya lagi.

Tertarik, Iptu Ajisaka memutar tubuhnya kebelakang menghadap Agustian. Kini mereka tidak lagi saling memandang lewat kaca tengah mobil yang kecil itu, “Bisa, ya ?” Tanyanya memastikan.

“Ada sebuah kode yang hanya kami berempat yang tahu. Sewaktu-waktu jika Kolonel mengaktifkan kode itu, kami bertiga wajib merespon. Nah, dengan cara bagaimana Kolonel dapat mengontak kami, itu yang aku tidak tahu. Aku sendiri sudah memusnahkan semua data yang berhubungan dengan tim dan Kolonel. Mungkin saja Kolonel pernah mengaktifkan kode itu dimasa lalu, dan aku tidak pernah bisa merespon karena memang kode itu tidak pernah sampai.”

“Boleh aku tahu apa kode itu ?” Tanya Iptu Ajisaka. Wajahnya menunjukkan kesungguhan saat menanyakan hal itu pada Agustian.

Agustian tidak langsung menjawab. Dipandangi wajah Iptu Ajisaka untuk beberapa lama. Akhirnya terdengar juga suaranya,

“Kodenya adalah Pandorra.”

“Pandorra,” Ulang Iptu Ajisaka, “Jika itu diaktifkan, kau harus merespon ?”

“Betul.”

“Menurutmu, dalam situasi apa seorang Kolonel akan mengaktifkan kode itu ? Memanggil kembali anak asuhnya yang telah puluhan tahun hilang ?”

“Situasi yang luar biasa dan genting. Karena cuma kami berempat yang tahu kode itu didunia ini. Oh, sekarang jadi berenam, ditambah kalian berdua.” Ujar Agustian sambil tersenyum kecil.

“Komjen Harun tidak tahu ?” Tanya Iptu Ajisaka agak heran.

“Belum, dia sepertinya tidak mau mengutak-atik masa lalu ku terlalu jauh.”

“Begitu, ya ?” Desis Iptu Ajisaka agak merasa tersindir. Tapi situasi sekarang memang lain, lagi pula bukankah Agustian sendiri yang mengungkapkan dirinya lewat salinan email tadi ?

“Situasi luar biasa itu….apakah bisa diartikan situasi yang mengharuskan kalian untuk membunuh ?” Kembali ia bertanya pada Agustian. Saat ini semua pertanyaan harus dijawab dengan tuntas dan jelas, tidak bisa menunggu lagi.

“Ya.”

“Seperti harus membunuh seorang anggota DPR seperti Ridwan Suhendra ?”

“Ya.” Tidak ada perubahan raut wajah dari Agustian. Ia memang telah memutuskan untuk mengungkap semuanya malam itu. Pada beberapa bagian ia memang mendengar nada tidak percaya dari tekanan kata Iptu Ajisaka. Tapi faktanya ia memang tidak sepenuhnya bisa dilepaskan dari kecurigaan karena ia memang masih merupakan anggota dari sebuah tim kontra spionase yang dilatih untuk membunuh siapa saja.

Pembunuhan Ridwan Suhendra, jika dihubungkan dengan email itu, memang bisa saja diperintah oleh si Kolonel yang misterius. Namun teori itu sendiri masih diselimuti oleh gumpalan kabut tebal hingga harus membutuhkan banyak sinar matahari untuk mengusir kabut itu.

“Aku rasa si Kolonel telah mengaktifkan kode itu…” Terdengar suara Ipda Gunawan.

“Oh ya ? Bagaimana ?” Iptu Ajisaka memandang Ipda Gunawan dengan rasa penasaran yang kentara.

“Agustian, menurutmu mengapa teman-teman mu mengirimi email itu ?” Tanya Ipda Gunawan.

“Itu juga merupakan pertanyaan buatku.” Jawab Agustian singkat.

“Menurutku kau tidak sepenuhnya jujur pada kami. Aku yakin kau juga berpikiran sama denganku waktu menerima email itu.”

“Hei, coba jelaskan padaku!” Terdengar suara Iptu Ajisaka tidak sabaran.

Ipda Gunawan terkekeh geli, “Pada saat Agustian menerima email itu, ia pasti berpikir bahwa temannya telah berhasil mendeteksi keberadaannya dan sedang mencek, mengapa ia tidak menjawab kode yang telah diaktifkan Kolonel. Bukan begitu ?” Tanyanya tajam pada Agustian.

Tidak ada jawaban dari Agustian oleh karena itu Ipda Gunawan melanjutkan kata-katanya, “Kolonel mengaktifkan kode dan hanya dua orang yang menjawab, karena kau telah membuang semua peralatan yang menghubungkan dirimu dengan Kolonel. Kolonel pun meminta temanmu untuk memeriksa mengapa kau tidak menjawab ? Sekaligus memastikan apakah kau masih bisa diajak kerjasama.”

Agustian masih tidak berkata-kata. Ia memandang kearah punggung Ipda Gunawan yang masih menjabarkan teorinya, “Tujuanmu sebenarnya datang kepada kami bukan untuk menolong penyelidikan ini. Tapi lebih untuk cari selamat dari kejaran dua orang temanmu itu. Okelah, pada satu titik kehadiranmu bermanfaat untuk mengungkap kasus ini. Namun dititik lain kau tahu bahwa Kolonel telah menyadari kau tidak bisa diajak kerjasama lagi dan meminta teman-temanmu untuk menghabisimu.”

Iptu Ajisaka ganti memandang kearah Agustian dengan tajam.

(Bersambung)

Sumber gambar : http://homedesignerideas.com/wp-content/uploads/2014/07/blending-two-traditions-spanish-hacienda-and-contemporary-style-by-geschke-group-1.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun