Cerita pun dimulai, awal masuk sekolah lebih banyak diajarkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan dasar diri sendiri, dalam teori Maslow kebutuhan dasar pertama (terutama biological – physical needs) Bagaimana cara memasak untuk dapat dimakan, bagaimana cara membuat - memperbaiki pakaian untuk dapat melindungi tubuh, bagaimana cara berburu, memancing, menyiangi atau membersihkan bagian-bagian buruannya, berinteraksi dengan alam, menanam dan merawat tumbuhan ataupun cara menggunakan alat-alat pertukangan dasar untuk membuat atau memperbaiki tempat tinggalnya.
Dimana dalam prosesnya memberikan kesempatan bagi masing-masing individu untuk mengasah keterampilan dan terus mengaktifkan kemampuan gerak fisik dan pikiran. Hal ini terbalik dengan apa yang saya (WN Indonesia) alami dalam masa pertumbuhan dan lihat di sekitar saya. Serasa ada proses yang terpotong…ada pertumbuhan yang telewatkan ketika kebutuhan dasar - ketika keahlian dasar ini lebih banyak diconvert ke pertukaran uang, yang kemudian membentuk mindset untuk sebanyaknya mencari uang. Yes, of course we can pay people or just bagi rejeki, tetapi ketika kemudian hal ini menjadi satu-satunya cara untuk pemenuhannya, bukankah akan sangat berbahaya ? What  will  You do if  didn’t have enough resource ? Sementara basic need adalah kebutuhan sehari – hari dan seberapa sibuknya pun akan selalu ada moment untuk dapat diterapkan. Here your skill need, not only about skill but also using time on productive and not most consumptive way. Ketika loncatan teori Maslow teratas (Self Actualization) lebih banyak dikejar daripada tahapan-tahapan kebutuhan yang sebelumnya, yang sepatutnya, lebih didahulukan.
Anak-anak dipacu untuk mendapatkan nilai terbaik di kelas dengan proporsi lebih besar self actualization than expert on something, sementara kebutuhan dasar - basic needs lebih banyak didelegasikan ataupun ditukar dengan uang.
Cooking class untuk anak-anak yang diadakan lebih gaya-gayaan dengan topi koki+ celemek dan modal aktualisasi menambah jejeran photo untuk dipajang dan bukannya 1 -2 -3 right step to exactly make fresh - good food.
Sudah ke sekolah masih pula ditambah dengan jejeran les-les pelajaran di sekolah tadi untuk memastikan nilai - posisi teratas di kelas (kembali lagi ke self actualization)
Ketika gelar sarjana menjadi keharusan, tidak peduli hasil sendiri atau hasil dari skripsi berbayar
Ketika barometer kesuksesan dinilai berbanding lurus atas kepemilikan kebendaan (Perlu di ketahui  untuk memperbanyak sudut pandang : ada ukuran kesuksesan di berbagai belahan bumi yang didasarkan atas seberapa banyak kau tersenyum hari ini, ukuran kesuksesan didasarkan atas penemuanmu akan sesuatu yang dapat membuat hidup keseharian lebih mudah, kesuksesan didasarkan atas kemampuan menyelesaikan tugas-tugas sederhana sehari-hari dan beribu ukuran kesuksesan yang dapat disyukuri, tidak terbatas hanya pada material things that You belongings)
Ketika merk dikenalkan sebagai  lencana/badge untuk menunjukkan status sementara melewatkan sudut pandang dan pemahaman akan manfaat, kualitas dan cara produksi
Tentu saja masing-masing level dari teori maslow tersebut penting dalam proporsinya, namun bukankah semuanya harus bertahap dan bukannya langsung melesat ?
Tidak adil jika saya mengambil perbadingan dari 2 individu dengan latar belakang alam dan budaya yang berbeda untuk disamakan, namun sangat masuk di akal jika kita mau mengambil nilai-nilai positif dari tempat ataupun orang yang berbeda.
Saya sendiri menyadari tiap-tiap individu memiliki ketertarikan dan kemampuan yang berbeda-beda, namun dengan sedikit pemikiran sederhana ini saya meyakini pendidikan dasar selayaknya kembali ke dasar.