Pecinta sejarah tentu akrab dengan monumen Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Jayapura. Penentuan pendapat berbagai suku di Papua ini tidak serta merta langsung terjadi begitu saja. Setelah melalui perundingan PBB, penentuan pendapat ini memakan waktu setidaknya lima bulan. Bahkan PBB sampai menurunkan wakil negara-negara untuk mengawasi jalannya Pepera.
Tanggal 2 Agustus 1969 anggota Dewan Musyawarah Masyarakat Papua membuat deklarasi dan akhirnya 19 November 1969 PBB mengakui Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga monumen Pepera bisa dikatakan saksi bisu bagaimana awal mula Papua bergabung di Indonesia.
Tidak sulit untuk menemukan dimana monumen ini berada. Letaknya ada di pusat kota, cukup bertanya pada sopir taxi (sebutan angkutan kota di Jayapura) dimana arah mall Jayapura berada, Anda turun di depannya, ada sudah bisa melihat Monumen Pepera disana. Tak perlu khawatir soal komunikasi kepada sopir taxi, banyak dari mereka pendatang, saya pernah naik yang jago bahasa ngapak (Tegal).
Awalnya tak tergubris oleh saya keberadaan monumen itu saat kesana April kemarin. Setelah melewati Mall Jayapura kedua kalinya kedua mata ini tertuju pada peta Indonesia di dinding. Bertanya pada kawan karena rasa ingin tahu, ia menjawab "itu monumen Pepera Mbak." Takjub sekaligus bersyukur. Tak mengira menemukannya tanpa sengaja. Seketika itu juga ingatan saya lari ke zaman sekolah dulu. SD ketika saya mengenal pelajaran Sejarah pertama kalinya. Akhirnya keesokannya sebelum kembali ke hotel saya sempatkan mampir disana. Turun menghampiri dan memotret. Ingin menyentuh dan melihat lebih lanjut saksi sejarah bagaimana Papua akhirnya mau bergabung dengan Indonesia.
Saya perhatikan peta besar kepulauan Indonesia diatas tembok bercat merah dan putih sebagai lambang Bendera Kebangsaan kita. Tonggak-tonggak putih dan mencerminkan kebudayaan Papua. Designnya sederhana namun sarat makna. Monumen Pepera hanya dikelilingi oleh pagar putih berukuran rendah dan ada gambar tifa (alat musik khas Papua) di depan gerbangnya.
Membayar? Tidak. Seluruh pengunjung dan penduduk Papua bisa menikmatinya gratis. Hanya, ah jujur saya kecewa. Entah idealisme yang berlebihan atau bagaimana, saya heran kenapa monumen bersejarah seperti itu seperti dibiarkan terlantar dan tidak terurus. Waktu saya datang kondisi cuaca Papua memang hujan dan monumen itu dibiarkan kotor, penuh genangan air, tanahnya basah dan rumput liar mulai tumbuh disana-sini. Cat pagarnya pun mulai mengelupas. Mungkin memang belum waktunya dibersihkan, anggap saja begitu. Tapi hati saya mencelos sedih. Monumen penting begini seperti tak terabaikan oleh hiruk pikuk keseharian.
Terlepas dari rumor bagaimana proses Pepera itu dulu dilaksanakan, dibawah tekanan militer atau tidak. Namun, Papua itu milik kita juga. Dia bagian dari Indonesia. Memang letaknya paling timur, memang warganya masih banyak yang buta huruf, memang harus diakui pembangunan Indonesia terasa kurang merata, parahnya emas mereka dikeruk oleh Negara Asing dan mereka hanya dapat 10% saja. Miris membacanya, lebih sedih lagi melihatnya. Jayapura saat ini, hujan deras mengguyur dari malam hingga keesokan harinya, sudah bisa dipastikan banjir melanda kota. Saya juga sempat merasakan bagaimana melepas sepatu, menggulung celana dan menerjang banjir.
Tidak ingin menyalahkan, atau saling melempar tanggung jawab. Monumen Pepera adalah saksinya, jika ia bisa berbicara, ia akan bercerita bagaimana asal mulanya Papua dan Indonesia bisa bersama. Sudah selayaknya kita menjaganya, agak bisa mewarisi sejarah kepada anak cucu kita. Seharusnya kita bangga, terlahir dan menjadi bagian dari bangsa yang kaya!!
Dokumentasi milik pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H