Mohon tunggu...
Diany Khaeria Rahmi
Diany Khaeria Rahmi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Pascasarjana Magister Kriminologi FISIP UI

learning, investigating, researching, analyzing, and handling special needs for humanity in terms of security and safety

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Radikalisasi di Ujung Jari

26 Maret 2024   13:58 Diperbarui: 26 Maret 2024   15:18 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski muncul dalam beberapa foto sambil menggendong senjata, Bahrun Naim bukanlah seorang pejuang garis depan. Dia memiliki gelar di bidang teknik informatika dan berkomunikasi secara diam-diam menggunakan berbagai platform online, termasuk aplikasi pesan terenkripsi untuk meradikalisasi orang Asia Tenggara, dan mendesak mereka untuk menyerang pemerintah mereka sendiri (Gunaratna, 2018).

Bahrun Naim adalah teroris Asia Tenggara pertama yang menggunakan Bitcoin dan basic artificial intelligent untuk menyebarkan konten teroris kepada penyerang dan pendukung di masa mendatang. Pada April 2017, Bahrun Naim menggunakan Bot internet di situs webnya 'Wahai Muslimin', yang memungkinkan pengunjung platform interaktif dan instan untuk berkomunikasi dengannya. 

Dia menggunakan blognya yang disebut, 'Bahrun Naim: Analis, Strategi dan Kontra Intelijen' (Bahrun Naim: Analisis, Strategi dan Kontra Intelijen), untuk menyebarluaskan manual menjadi seorang hacker dan memata-matai pemerintah. Dia juga membagikan manual berjudul, 'Cara Membuat Bom dalam 10 Menit' dan 'Membuat Bahan Peledak di Dapur Anda'. Manual ‘Nuclear for Dummy’ Naim di situs pribadinya menginspirasi Petani Muda di Indonesia untuk membangun 'Dirty Bomb' yang ditujukan untuk target Indonesia (Gunaratna, 2018).

Lain halnya dengan Bahrun Naim yang merencanakan aksi teror dimulai dari tahap dasar, yaitu meradikalisasi lewat propaganda. Dinarasikan kembali oleh penulis berdasarkan IPAC Report (2019), tragedi Kelompok Sibolga yang mengkonsolidasikan jaringan terorisme dengan kesadaran diri masing-masing melalui Facebook, tersebut dua pelaku utama yang memulai bercita-cita untuk membuat bom, yaitu Abu Hamzah dan Rinto Sugianto alias Putra Syuhada yang teradikalisasi karena belajar agama secara online. Abu Hamzah mengkampanyekan Daulah Islamiyah pro-ISIS di halaman Facebooknya, dan merekrut target-target yang menurutnya potensial untuk menjadi anggota grup yang dibentuk untuk merencanakan bom bunuh diri di beberapa tempat di Indonesia.

Dengan modus operandi menggunakan sarana internet tersebut di atas. Rinto dan Abu Hamzah berhasil menarik anggota dari Lampung, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan lainnya.  Setelah berhasil mengumpulkan anggota grup Facebook yang memiliki keinginan untuk melakukan amaliyah, Rinto dan Abu Hamzah bertemu di Sibolga pada bulan Februari 2019. Keduanya telah mempersiapkan bahan peledak yang memiliki daya ledak radius 100 meter dari lokasi dilemparnya bom oleh istri Abu Hamzah, Marniati yang meledakkan diri saat dilakukan penangkapan oleh Densus 88.

Dapat dipetik dari contoh-contoh kasus terorisme di dunia maya di atas bahwa cyberterrorism tidak mengenal batas lintas negara, ruang, dan waktu, sehingga berpotensi akan terus berkembang menjadi ancaman mematikan bagi pertahanan dan keamanan negara dengan dampak perusakan yang lebih luas dan lebih masif.

Internet menjadi media yang memberikan peluang bagi pelaku atau kelompok terorisme dalam melaksanakan aktivitas propagandanya. Beberapa peluang-peluang tersebut diantaranya adalah: 1) Internet memberi peluang bagi khalayak untuk menerima ideologi radikal. Jangkauan yang luas menjadi keuntungan bagi pelaku, kelompok atau organisasi terorisme; 2) Internet mampu mempercepat radikalisasi. Video yang berisi paham radikal dapat secara cepat terakses oleh khalayak melalui youtube ataupun website umum. Internet mendukung khalayak untuk melakukan radikalisasi mandiri. Khalayak akan mampu terpapar paham radikal tanpa harus berinteraksi langsung dengan pelaku utama teror ataupun pelaku radikalisasi (radicalizer) nya (Golose 2015, 48-49).

Sumber Bacaan :

Adam, Agis Josianto. 2014. Tindak Pidana Cyber Terrorism dalam Transaksi Elektronik. Lex Administratum Vol.II/No.3/Jul-Okt/2014. Universitas Sam Ratulangi.

Felson, M. (1998). Crime & everyday life (2nd ed.). Thousand Oaks: Pine Forge Press.

Golose, Petrus Reinhard. 2015. Invasi Terorisme ke Cyberspace. Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun