Makan emosional adalah pola makan di mana orang menggunakan makanan untuk membantu menghadapi situasi stres. Misalnya seseorang makan sekantong keripik ketika bosan atau makan cokelat setelah hari yang sulit di tempat kerja. Namun, ketika makan emosional sering terjadi atau menjadi cara utama seseorang menghadapi emosinya, maka akan berpengaruh negarif terhadap kehidupan, kesehatan, kebahagiaan, dan berat badannya.
Pemicu makan emosional ada 4, yaitu kebosanan, kebiasaan, kelelahan dan pengaruh sosial. Berikut ini penjelasannya :
- Kebosanan : Bosan atau tidak melakukan apa-apa adalah pemicu makan emosional yang umum. Banyak orang menjalani kehidupan yang sangat aktif, dan ketika mereka tidak memiliki kegiatan apa pun, mereka akan beralih ke makanan untuk mengisi kekosongan itu.
- Kebiasaan : Ini sering didorong oleh hal-hal yang terjadi dimasa kecil seseorang. Contohnya, mendapat hadiah es krim setelah rapor yang baik atau suka memanggang kue dengan kakek dan nenek.
- Kelelahan : Lebih mudah makan berlebih atau makan tanpa berpikir saat lelah, terutama jika lelahnya karena melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Makanan seolah-olah menjadi pelampiasan saat tidak ingin melakukan kegiatan tertentu lagi.
- Pengaruh sosial : Setiap orang memiliki teman yang mendorong mereka untuk makan pizza saat keluar malam, pergi keluar untuk makan malam atau sekedar membeli minuman setelah hari yang melelahkan, atau sebagai hadiah untuk hari yang baik. Sangat mudah untuk makan berlebihan saat bersama teman atau keluarga.
Strategi mengatasi
Langkah pertama yang perlu dilakukan seseorang untuk menghindari makan emosional adalah mengenali pemicunya. Membuat buku catatan harian makanan yang dikonsumsi dapat membantu mengidentifikasi, apakah seseorang makan berlebih karena emosi atau karena lapar fisik.
Melacak perilaku adalah cara lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kebiasaan makan seseorang. Perilaku  tersebut mencakup pola tingkat kelaparan, apa yang mereka lakukan dan rasakan saat ada kejadian yang tidak menyenangkan, apakah bosan atau marah. Selanjutnya, dapat dilakukan brainstorming ide-ide untuk menangkal pemicu yang teridentifikasi.
Sebagai contoh: Seseorang yang makan saat bosan mungkin ingin mencoba membaca buku baru yang menarik, atau memulai hobi baru yang memberikan tantangan. Seseorang yang makan karena stres dapat mencoba yoga, bermeditasi, atau berjalan-jalan untuk membantu mengatasi stres.
Makan emosional bukan hanya karena kurang disiplin atau kekurangan kontrol diri. Penyebabnya kompleks dan mungkin melibatkan beberapa hal berikut ini:
- Perkembangan masa kanak-kanak
Makan emosional mungkin merupakan perilaku sejak kecil yang mungkin sulit untuk dihilangkan. Bagi sebagian orang, makan emosional adalah perilaku yang dipelajari. Selama masa kanak-kanak, ada orang tua yang memberi hadiah untuk membantu anaknya menghadapi hari atau situasi sulit. Seiring waktu, anak yang menjadikan makan kue sebagai hiburan setelah mendapat nilai buruk pada ujian dapat menjadi orang dewasa yang mengambil sekotak kue setelah seharian lelah bekerja. Akar makan emosional yang dalam, membuat tantangan dalam menghentikan kebiasaan makan emosional semakin besar.
- Kesulitan mengelola emosi
Manusia adakalanya mengalami perasaan negatif, yaitu emosi yang sulit atau tidak nyaman. Ada naluri untuk menghilangkan perasaan negatif yang dapat menyebabkan perilaku tidak sehat. Namun makan emosional tidak hanya terkait dengan emosi negatif. Makan banyak di pesta adalah contoh makan karena emosi positif.
- Dampak fisik dari stres
Ada beberapa alasan fisik mengapa stres dan emosi yang kuat dapat menyebabkan seseorang makan berlebihan:
- Kadar kortisol yang tinggi: Awalnya, stres menyebabkan nafsu makan berkurang sehingga tubuh dapat menghadapi situasi tersebut. Jika stres tidak reda, hormon lain yang disebut kortisol dilepaskan. Kortisol meningkatkan nafsu makan dan dapat menyebabkan seseorang makan berlebihan.
- Mengidam: Kadar kortisol yang tinggi dari stres dapat meningkatkan keinginan makan untuk makanan yang bergula atau berlemak. Stres juga dikaitkan dengan peningkatan hormon kelaparan, yang juga dapat menyebabkan mengidam makanan yang tidak sehat.
- Jenis kelamin: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih cenderung menggunakan makanan untuk mengatasi stres daripada pria, sedangkan pria lebih memilih untuk merokok atau menggunakan alkohol.
Rasa lapar fisik dan emosional
Sulit membedakan lapar emosional dan lapar fisik. Tetapi sebenarnya ada karakteristik yang membedakan keduanya. Menyadari perbedaan-perbedaan ini adalah langkah pertama untuk membantu menghentikan pola makan emosional.
- Apakah rasa lapar datang dengan cepat atau bertahap?
Rasa lapar emosional cenderung datang dengan cepat dan tiba-tiba dan terasa mendesak. Kelaparan fisik biasanya tidak mendesak atau mendadak.
- Apakah ada keinginan untuk makan makanan tertentu?
Rasa lapar emosional biasanya dikaitkan dengan mengidam junk food atau sesuatu yang tidak sehat. Seseorang yang lapar fisik akan bersedia makan apa saja, sedangkan seseorang yang lapar secara emosional akan menginginkan sesuatu yang spesifik, seperti kentang goreng atau pizza.
- Apakah makan tanpa berpikir?
Makan tanpa berpikir adalah ketika seseorang makan tanpa memperhatikan atau menikmati apa yang mereka makan. Contohnya adalah makan satu wadah besar es krim sambil menonton televisi, tetapi sebenarnya tidak bermaksud makan sebanyak itu. Perilaku ini biasanya adalah makan emosional, bukan makan karena lapar fisik.
- Apakah rasa lapar datang dari perut atau dari kepala?
Rasa lapar emosional tidak berasal dari perut, yang ditandai dengan dengan perut keroncongan. Rasa lapar emosional cenderung dimulai ketika seseorang berpikir atau menginginkan sesuatu yang spesifik untuk dimakan.
- Apakah ada perasaan menyesal atau bersalah setelah makan?
Makan emosional dapat menyebabkan perasaan menyesal, malu, atau bersalah. Di sisi lain, memuaskan rasa lapar fisik memberi tubuh nutrisi atau kalori yang dibutuhkan untuk berfungsi dan tidak terkait dengan perasaan negatif.
Makan emosional biasanya tidak berhubungan dengan lapar fisik. Beberapa orang dapat mengalaminya kadang-kadang, namun ada juga yang sering mengalaminya dan tidak dapat mengendalikannya, sehingga berdampak pada kehidupan dan bahkan mengancam kesehatan dan kesejahteraan mental mereka.
Referensi :
https://www.medicalnewstoday.com/articles/320935.php#physical-vs-emotional-hunger
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H