Mohon tunggu...
Dian Tri Riska Ekawati
Dian Tri Riska Ekawati Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMK Negeri 1 Bakung Kab. Blitar

Menjadi guru sejak tahun 2015. Penulis mulai menulis setelah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Baginya menulis ini menjadi sarana untuk mencurahkan isi hatinya. Di waktu senggang, penulis juga suka menonton film atau traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka

22 September 2024   20:52 Diperbarui: 22 September 2024   21:03 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panas terik matahari yang menyengat kulit tak kuhiraukan. Aku memutuskan untuk pulang lebih awal dari tempat aku mengajar tepatnya sejak 9 tahun 5 bulan yang lalu. Begitu aku menerima SK CPNS, aku menjadi bagian dari sebuah sekolah menengah di salah satu kabupaten di selatan Jawa Timur.

Saat kukendarai si Blue, begitulah aku menyebut motor kesayanganku, pikiranku kembali mengingat percakapanku di ruang guru dengan Bu Hasna, rekan kerjaku. "Bu, njenengan merasa asing ndak disini?" tanya Bu Hasna begitu aku menghempaskan pantatku di kursi biru tepat di depan meja Bu Hasna. Seketika keningku berkerut, "Merasa asing?" ulangku. "Iya", jawab Bu Hasna singkat.

Seketika aku tersadar dengan maksud pertanyaan Bu Hasna, ketika menginjakkan kakiku di ruang guru ini, kulihat segerombolan teman-teman duduk di belakang. Saat aku menghampiri mereka untuk bersalaman, Bu Arina nampak sangat sibuk dengan ponselnya sampai tak sempat melihat dan menjawab sapaanku. Begitu juga dengan teman-teman yang lain, Bu Nirmala, Bu Santi, Bu Ika, dan Bu Ida. Mereka asyik mengobrol hingga abai dengan kehadiranku saat itu.

"Ehm... Saya merasa seperti itu bu. Merasa asing dan jauh dari mereka." jawabku sambil melirik ke arah mereka duduk. "Mungkin ini salahku juga bu, aku jarang sekali ke kantor atau untuk sekedar say hi dengan teman-teman. Lagipula mereka juga se-server, makanya akrab dan intim sekali" jelasku pada Bu Hasna.

Sesekali riuh tawa mereka terdengar olehku dan Bu Hasna. Tak sekalipun mereka menyinggung kami walau sekedar mengobrol ringan atau menanggapi candaan mereka. Kamipun kembali larut dalam obrolan kami. "Njenengan juga merasa begitu?" tanyaku balik pada Bu Hasna. "Saya merasa sepi bu disini", jawab Bu Hasna. "Ketika mereka di kantor, saya jarang diajak ngobrol. Didiemin saja. Padahal lho kita satu ruangan. Entah ya apa mungkin ini hanya perasaan saya saja." lanjutnya. "Cuma beberapa kali saya tau mereka bisik-bisik. Apa yang mereka bahas sampai harus seperti itu." ujar Bu Hasna. "Saya juga sering ketinggalan info tentang sekolah." kata Bu Hasna. "Secret mungkin bu," timpalku. "Ya mosok tho, kalau tentang sekolah harus dirahasiakan. Kita kan juga warga disini yang berhak dapat informasi." kata Bu Hasna.

Aku sangat memahami perasaan Bu Hasna. Di awal aku berada di sekolah ini, aku pernah di posisi yang sama dengan Bu Hasna. Sebagai orang baru, rasanya ewuh. Ketika diam, dipikirnya kita sombong dan sulit bersosialisasi, namun ketika kita bersikap ramah, dikiranya kita sok akrab. Tak jarang aku berada dalam satu ruangan dengan banyak orang, tetapi menjadi makhluk kasat mata bagi mereka. Itulah yang aku rasakan, senyap di tengah keramaian.

Bu Hasna pun kembali melanjutkan ceritanya. "Malah, lebih parahnya. Saya pernah mendengar mereka sepakat untuk mengabaikan njenengan." tutur Bu Hasna. "Mengabaikan bagaimana bu?" tanyaku sambil menaikkan posisi kacamataku yang melorot. Saat itu aku kepo juga dengan satu kata yang keluar dari mulut Bu Hasna, mengabaikan. "Jadi gini, sewaktu njenengan masih di kurikulum, saya mendengar mereka rundingan untuk mengabaikan apapun yang njenengan instruksikan, bahkan staf dari njenengan juga." jelas Bu Hasna. "Njenengan lihat sekarang, mereka sangat kompak dan dekat dengan kurikulum yang baru, Bu Nirmala. Sangat berbeda kondisinya dengan zaman njenengan." lanjut Bu Hasna.

Huffttt... Aku menghela napas panjang. Rasanya berat dan sulit untuk percaya. Pikiranku pun flash back ke masa aku menjadi salah satu pejabat di sekolah ini. Sungguh tidak pernah ada dalam pikiranku untuk berada di posisi itu, ya... setahun kemarin aku dipercaya menjadi wakil kepala sekolah bidang kurikulum.

Mau tidak mau apa yang disampaikan Bu Hasna, mengusik memori-memori lama yang sengaja aku kubur. Memori yang terlalu menyakitkan untuk dikenang. Kala itu, aku membutuhkan bantuan walas XII untuk cross check data penulisan ijazah. Akupun menyampaikan hal itu kepada mereka. Tapi apa yang aku dapat. Akupun hanya bisa mengelus dada dan melangkah gontai keluar dari kantor. Harus banget ya dicek seperti itu? Saya tidak bisa hari ini. Saya masih repot. Saya ada kerjaan A, B, dan bla bla bla... Statement itulah yang aku dengar dari Bu Arina dan Bu Ika selaku walas XII dan aku simpulkan mereka menolak apa yang aku minta.

Tak sekali itu saja, beberapa kejadian ketika aku perlu kerja sama dari mereka, mereka pun juga abai. Sebagai kurikulum, aku melibatkan teman-teman sesuai dengan tupoksi mereka. Aku berusaha untuk menjadi leader yang baik bagi timku, menciptakan budaya team work, bahkan selalu keep in touch dengan tim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun