Pertama: Pasar Tradisional masih menjadi arena transaksi yang sulit dilepaskan dari kultur masyarakat urban, semi urban, dan rural. Faktor-faktor “penarik” lalu lintas konsumen di pasar seperti yang dijelaskan diatas harus tetap dimanfaatkan oleh pihak supplier. Media promosi seperti vitrine, spanduk, hanging banner, product hanger, dll tetap akan memberikan efek Impulse Buying yang positif.
Kita ambil contoh sederhana: seorang Ibu Rumah Tangga datang ke sebuah toko kelontongan (warung) di pasar untuk membeli cairan pembersih lantai. Ada sebuah vitrine produk Face Cleanser (pembersih muka) diletakkan tepat diatas etalase yang ada di bagian depan toko. Sambil menunggu pemilik warung mengambil produk yang dicarinya, Ibu tersebut memiliki waktu beberapa menit untuk melihat-lihat sekeliling toko/warung. Posisi vitrine yang eye-catching membuat Ibu tersebut “mendadak” tertarik untuk membeli produk Face Cleanser tersebut dengan kemungkinan 2 (dua) alasan:
1. Stok pembersih muka dirumah yang kebetulan sudah habis. Atau,
2. Ingin mencoba produk baru yang tepat ada di hadapannya.
Dari gambaran sederhana ini dapat kita simpulkan bahwa penempatan Point of Purchase Materials yang tepat di toko kelontongan/warung sekalipun akan tetap memberikan dampak penjualan. Itu baru dampak yang dihasilkan oleh satu orang pelanggan. Sedangkan jumlah orang yang berbelanja di pasar yang kebanyakan beroperasi dari subuh hingga sore hari dalam 1 (satu) hari normal bisa mencapai ratusan orang. Ini adalah satu potensi yang harus benar-benar dimanfaatkan. Alokasi penempatan Sales Promotion Girl (SPG), Merchandiser, ataupun Beauty Advisor juga akan memberikan efek stimulus yang sangat tinggi. Karena hanya di pasar tradisional lah konsumen bisa lebih nyaman untuk bertanya jawab dengan durasi waktu yang lebih panjang dan detil dengan tim Sales Promotion yang stay di toko tentang ingredients dan benefits dari produk yang ingin dibelinya.
Kedua: Terlepas dari karakter dan konsep awalnya sebagai area transaksi customer yang cozy dengan ranging product yang lengkap, outlet modern trade memang memiliki “kharisma” tersendiri. Mereka bisa menjanjikan increasing penjualan yang instant. Dengan sedikit sentuhan support discount yang fantastis, modern trade bisa memberikan feedback penjualan value dan volume yang signifikan bahkan lebih dari 2 kali lipat dari average mereka sendiri. Tapi kemanakah sebenarnya barang-barang tersebut mengalir.? Apakah jumlah customer yang membeli langsung produk tersebut memang doubling secara signifikan dalam sekejab.? Atau apakah consumption masyarakat bisa begitu cepat meningkat hanya karena fasilitas diskon.?
Jawabannya mungkin masih debatable. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa barang-barang tersebut tetap mengalir ke pasar-pasar tradisional, dan kebanyakan melalui wholesaler/grosir besar lokal yang mendatangkan produk tersebut baik via darat maupun laut. Pasar tradisional tetap menjadi media transisi berpindahnya stok barang dari gudang-gudang outlet modern trade hingga ke end user.
So, pasar tradisional tetap akan menjadi crucial object dari roda penggerak perekonomian masyarakat di beberapa titik daerah, hanya pola dan teknis alur distribusinya saja yang sering bermodifikasi sesuai perubahan jaman. Supplier harus tetap fokus untuk mendistribusikan dan mempromosikan (baik berupa free product gift, banded, ataupun activation) produk-produknya untuk tetap menciptakan Brand Awareness dan Corporate Image di mata konsumen yang masih rutin berbelanja di pasar tradisional.
Kesimpulan singkatnya: conquer the traditional market, then you can conquer the 50% market.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H