Saya menghabiskan paruh siang sampai sore, membaca dan menulis di sebuah café terbuka menghadap bentangan samudra Hindia di pantai Kuta, Bali.
[caption id="attachment_113530" align="aligncenter" width="283" caption="Perempuan bepergian sendiri (foto : hotelnewdelhi.com)"][/caption]
“Selamat sore, mbak! Sendirian?” tiba-tiba saja lelaki ini duduk di depan meja. Seorang lelaki muda, gagah, tegap, dan wajah mantap. Matanya bergerak cepat dari jari manis saya, ke tank-top yang saya kenakan, lalu ke sepasang kaki saya yang tersilang di bawah meja.
“Ya, kenapa?” saya mendongak.
“Boleh saya temani?” kata si pemuda, sekali lagi memastikan tak ada cincin melingkar di jari manis saya (cincin kawin saya tertinggal di meja rias kamar hotel sehabis saya bersihkan dari sabun mandi).
‘Tidak perlu!” kata saya. Si pemuda masih tak hendak beranjak.
”Would you mind leaving me alone, please? I want peace!” sengaja saya pakai bahasa Inggris. Si pemuda perlahan menjauh dan tak nampak lagi.
Tak lama kemudian pelayan café datang pada saya, mengangsurkan secarik kertas. “Ini dari orang yang tadi menghampiri mbak,” kata pelayan café. Saya buka lipatan kertas itu.
“If you need a company. I am in Room 76, xxx Inn (dan nomor HP)”. Rupanya pria tadi pantang mundur, malah berani kirim pesan pakai bahasa Inggris. Saya meremas kertas itu dan dengan demonstratif saya lempar kertas itu ke bak sampah tak jauh dari saya, berharap si pengirim pesan tahu aksi saya.
Lalu saya teringat, di pesawat siang tadi, dalam perjalanan dari Surabaya ke Denpasar, saya duduk dengan seorang pria paruh baya, yang mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan mencurigakan dan bertendensi flirting seperti ini :
“Kok sendiri?”, “Kerja di mana?” ”Sudah berkeluarga?” Sudah punya anak berapa?” ”Nggak takut, orang cantik kok jalan sendiri?” ”Di Denpasar tinggal di mana?”
Saya kemudian teringat pula kumpulan catatan wisatawan di buku koleksi berjudul ’Travelers’ Notes” di hotel Yoschi, Bromo. Buku ini disediakan bagi para wisatawan untuk menuliskan dan berbagi pengalaman wisata. Di lembaran buku itu ada catatan khusus yang ditulis oleh sejumlah pelancong solo perempuan (single female traveler). Tulisan Jessica Frampton asal Inggris saya ingat terus. Bunyinya, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : ”Susahnya jadi pelancong perempuan tunggal adalah bila terus-terusan ditatap dan dikuntit para pria iseng, ditanyai macam-macam soal kenapa jalan sendiri, ditanyai punya pacar/suami atau tidak, dan ditanyai menginap di mana. Grow up, guys! Leave us alone! Jangan dikira pelancong solo perempuan adalah cewek gampangan!”
Di kesempatan lain, ketika saya melancong solo di Hanoi (Vietnam) dan duduk sendiri di sebuah resto dekat sungai kecil, saya dihampiri seorang perempuan ramah, berbahasa Inggris lancar. Kami semula mengobrol santai soal makanan dan tempat-tempat wisata. Ketika makin akrab, seorang pria mendatanginya, yang oleh perempuan itu dikenalkan pada saya sebagai pacarnya. Pria itu ikut duduk semeja. Eh, seperempat jam kemudian si perempuan pamit ke kamar kecil, dan tak kembali. Keramah-tamahan digantikan si pria, yang ujung-ujungnya mengajak kencan. Saya yakin perempuan tadi bukan pacarnya, melainkan perempuan suruhan yang ia manfaatkan untuk secara halus mendekati saya, karena ia tahu ia tak akan berhasil kalau mendekati saya langsung.
Well, perempuan jalan sendiri bukanlah tanpa sebab. Saya sering bepergian sendiri karena memang saya mandiri (selain karena susah untuk menjalin waktu dengan suami yang kerja di bidang berbeda dan dengan jadwal libur yang berbeda pula), dan karena berbagai urusan lain yang orang sudah lazim tahu.
Dan menjadi pelancong solo perempuan ternyata gam-gam-sus (gampang-gampang susah). Itu karena tumbuh suburnya persepsi dari kaum lelaki bahwa pelancong solo perempuan adalah easy prey (sasaran empuk) untuk coba-coba dirayu, dikerjain, diajak senang-senang. Gangguan dan godaan ini bisa terjadi di angkutan umum (pesawat, bis, kereta api), di tempat menginap, atau di tempat-tempat lain.
Dari sejumlah pengalaman jalan sendirian, saya mencoba menarik kesimpulan yang mungkin bisa digunakan para pelancong solo perempuan untuk menjaga diri dari incaran berbagai macam kucing garong di perjalanan.
- Gunakan gaya tutur yang tegas, gaya ketawa yang terkontrol, dan jangan over-friendly (ramah lebay). Cara bicara yang genit dan terlalu ramah bisa membuka peluang masuknya kucing garong.
- Fokuskan pandangan mata ke hal-hal yang kita tekuni. Kalau sedang membaca, ya fokus ke bacaan, jangan menebar pandangan ke mana-mana.
- Pakai cincin di jari manis (meski belum tunangan atau menikah). Ini bisa menghambat aksi kucing garong.
- Bila ada lelaki yang bertanya, ”Sendirian?”, jawab saja, ”Nggak, sejam lagi suami nyusul,” atau ”Ada suami di kamar (hotel),” atau, ”Ya, nyusul suami di Denpasar” (ini yang saya katakan pada Bapak di pesawat, yang membuatnya langsung bungkam).
- Segera menyingkir dari suatu tempat bila Anda dapati ada lelaki memandang terus ke arah Anda. Orang ini berpotensi menghampiri Anda dan memulai obrolan yang bakal tidak Anda sukai.
- Bila harus mengobrol (karena teman ngobrol Anda nilai bukan golongan kucing garong), ngobrollah dengan topik pasti dan terarah, jangan beri kesempatan obrolan melenceng ke masalah-masalah personal). Banyak lelaki pelancong tak punya niatan kucing garong meski peluang, suasana dan keakraban tersedia luas (silakan baca : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/05/25/kehidupan-sosial-dan-seks-singkat-di-kereta-bobok/
- Bila sudah terlanjur akrab karena alasan tersebut di atas, hindarkan pertemuan kedua dengan orang yang sama. Jadi kalau ketemu lagi, saling sapa secara kasual saja, jangan kasih peluang mengobrol menjorok ke soal kesendirian Anda.
- Bila ada ajakan dari traveler lain (baik solo maupun berpasangan atau kelompok), pastikan tak ada di antara mereka yang punya niatan kucing garong. Ini bisa Anda amati dari kualitas topik bicaranya selama Anda bergaul dengan mereka). Individu atau orang-orang ini bisa menjadi teman jalan yang bermanfaat dan bahkan bisa saling bantu.
- Seperti yang disarankan oleh banyak single female traveller, bawalah serta buku catatan, yang bermanfaat untuk merekam segala macam kejadian di perjalanan. Jika kelak Anda baca dan bagikan kepada teman, catatan ini akan menjadi panduan, petunjuk dan tips-tips berharga.
Nah, begitulah pokok-pokok shares saya tentang menjadi single female traveler. Adakah saran atau nasehat lain yang boleh saya dengar dari Anda?
Have a safe trip! Enjoy being alone!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H