Membagikan setiap momen perkembangan anak disertai dengan berbagi ilmu soal parenting kepada halayak ramai sebenarnya sah-sah saja. Tentu banyak manfaat yang didapatkan oleh para penyimak sharenting yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dengan adanya sharenting para orang tua atau calon orang tua mendapatkan banyak wawasan dan referensi pola pengasuhan yang dapat mereka terapkan dalam keluarga. Meskipun tidak selamanya tepat guna pada setiap anak.
Tentu saja, aktivitas sharenting bukan hanya soal manfaatnya yang luar biasa. Orang tua yang mengunggah aktivitas anaknya pun mendapatkan banyak follower dan tidak jarang yang sengaja mendulang uang dari ungahannya itu.
Namun tidak dapat dipungkiri, bagaikan dua mata pisau. Selain memiliki hal positif, sharenting pun tidak menutup kemungkinan dapat mengundang bahaya besar jika dilakukan tanpa batasan-batasan yang jelas. Membatasi hal-hal yang bersifat privasi seperti menayangkan wajah anak secara jelas, alamat rumah dan sekolah yang terlalu detail, dan hal lain yang memancing tindakan kejahatan berupa penculikan dan eksploitasi anak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab adalah hal yang wajib dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk mempublikaskan aktivitas si kecil.
Selain itu, ada hal-hal berbahaya yang kerap tidak disadari orang tua sebagai akibat jangka panjang dari aktivitas sharenting. Di antaranya adalah,
1. Anak lupa pada dunianya sebagai anak-anak
Karena terbiasa tampil di media sosial anak lupa pada aktivitas dan tugasnya sebagai anak-anak. Mereka terlalu sering diseting menjadi lebih pandai, lebih hebat dan lebih dewasa dari usia yang seharusnya. Akibatnya setelah dewasa mereka menjadi kurang kreatif, fisik motorik yang lemah serta perkembangan lain yang terlambat muncul akibat hak bermain mereka dirampas oleh aktivitas setingan demi konten orang tuanya.
Orang tua juga lupa mengajarkan anak untuk berlaku baik di kehidupan nyata. Kalaupun mereka mampu bergaul, dikhawatirkan merek memiliki prilaku manipulatif karena tidak menutup kemungkinan saat membuat konten sikap mereka telah diatur sedemikian rupa oleh orang tuanya agar konten yang dibuat lebih menarik dan minim kesalahan.
2. Kehilangan rasa malu
Terbiasa tampil di depan kamera dengan rasa yang begitu percaya diri, memungkinkan anak kehilangan rasa malu. Berani mengenakan pakaian minim dan terbuka auratnya, berlenggak-lenggok sesuai arahan orang tuanya, menjadikan anak (terutama perempuan) tidak lagi merasa malu, tidak mempedulikan aturan dalam etika berpakaian terkhusus mereka yang beragama islam yang mewajibkan wanita menutup auratnya dengan rapat.