Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memilih Menjadi Diri Sendiri Biar Gak Lelah Lagi

22 Februari 2024   12:00 Diperbarui: 24 Februari 2024   20:18 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang bilang kalau di usia dewasa memang bukan saatnya lagi main-main dengan profesi, sebab berhubungan dengan kestabilan finansial. 

Karena itu, banyak orang yang tetap menjalani pekerjaannya meskipun merasa lelah dan tertekan demi sesuatu yang diperjuangkan atau demi keluarga yang menjadi beban tanggung jawab. 

Pernah saya pun mengalami kegundahan soal bertahan atau berhenti dari pekerjaan. Terlebih memiliki tanggungan yang yang mewajibkan saya tetap berpenghasilan tetap.

Pernah berpikir; jika ini lepas, maka nanti akan ada jutaan penghasilan yang hilang. Namun bersyukur akhirnya kembali sadar, bahwa Allah lah yang Maha Pemberi Rejeki. Apapun profesinya, rejeki akan datang sesuai porsi yang telah ditakarkan-Nya. 

Senyaman apapun tempat bekerja, dan sebagus apapun fasilitas yang didapatkan, jika hati sudah tidak bisa diajak kompromi maka kenyamanan itu semu belaka.

Selalu ada saja hal yang membuat ragu, lelah, bosan dan keluhan lain yang memicu keinginan untuk mundur. Alih-alih bahagia, honor besar malah habis dipakai untuk biaya kesehatan. Hm, melelahkan!

Akhirnya saya pun memberanikan diri untuk mengambil keputusan-keputusan penting. Saya berkesimpulan bahwa selalu ada biaya yang harus dibayar untuk sebuah pengorbanan.

Saya berpenghsilan besar, tetapi fisik saya kelelahan, maka biaya rumah sakit tidak bisa dielakkan lagi. Penghsailan saya hilang, tetapi saya sehat wa afiat, hati dan pikiran saya tentram, maka itulah sebesar-besarnya rejeki. 

Banyak yang bilang bahwa saya begitu keras kepala, tidak sabaran dan bahkan tidak bisa berdamai dengan keadaan. Berulang kali saya mencoba berdamai dengan keadaan, dengan segala kondisi. Mudah kok! Justru yang susah itu berdamai dengan diri sendiri.

Memang sejak dulu saya keras kepala, mau apa lagi? Bahkan ayah saya sediri pun mengatakan demikian.

"Putri ayah yang satu ini pintar, tapi keras kepala," kata ayah saat kami sedang berkumpul dan mengadakan evaluasi sederhana. Hal yang biasa dilakukan saat hari libur sambil berkumpul santai.

Ayah dan Mama selalu memberikan nasihat dengan cara yang berbeda. Mereka lebih memilih menjadi pengawas dan pengendali daripada sebagai pemberi perintah yang bersifat otoriter.

Memilih membiarkan kami melakukan atau mencoba sesuatu yang kami mau, lalu memberikan pembelajaran melalui diskusi dan sisipan hikmah sama-sama. Mungkin karena keduanya sama-sama seorang guru.

Orangtua kami, sangat jarang memarahi. Bahkan seingat saya, ayah nyaris tidak pernah memarahi. Kalau mama, pernah marah besar karena saya menggigit pipi adik yang masih kecil karena nangis tidak bisa dibujuk. He he he.

Masih ingat saat dulu usia SMP. Kala itu saya sedang menghadapi ujian nasional dimana kelulusan dan nilai saat itu sangat menentukan nasib para siswa setelah SMP mau kemana. NEM (Nilai Ebtanas Murni) saat itu benar-benar sebagai penentu nasib kami.

Tahun 2002, musim piala dunia, larut malam bukannya belajar, saya malah duduk di sebelah ayah, menonton pertandingan sepak bola. Usia SMP sudah punya idola.

Si Ganteng Michael Own dari Inggris dan Miroslav Klose si ganteng yang jago salto dari Jerman, keduanya merupakan pemain yang paling ditunggu permainannnya. Sampai poster mereka terpampang di kamar saya kala itu.

"Bagaimana untuk besok? Sudah siap menghadapi ujian?" tanya ayah.

Saya mengangguk dengan ragu. Sedikit takut dan sempat tidak percaya diri. Mendengar jawaban dan melihat anak perempuannya masih asik lanjut nonto bola ayah hanya tersenyum, "yang penting besok bisa. Setelah selesai bola, tidur cepat ya!" ujar ayah.

Saya mengangguk senang, karena ayah tidak memintaku tidur segera saat itu juga. Akhirnya saya melanjutkan nonton bersama beberapa orang tetangga yang ikut nonton bareng di rumah; kebanyakan dari mereka adalah bapak-bapak.

Sejak dulu, orangtua saya tidak pernah memaksakan anaknya harus A, B, C dan lainnya. Kami diajarkan untuk mandiri dan menjadi diri kami sendiri. Kata ayah, "kalau memang sanggup, lakukan! Kamu yang lebih tahu kondisi diri, kapan harus berhenti atau terus maju sampai dapat."

Termasuk beberapa keputusan yang diambil. Meskipun tidak sering diucapkan, tetapi beberapa hal membuat saya mengambil pelajaran bahwa nasihat ayah adalah, "karena keputusannya sudah diambil, maka kamu harus siap dengan segala risiko yang mengikutinya."

Itulah kenapa, sampai usia dewasa seperti sekarang, belum pernah sekalipun ayah mencampuri urusan anak-anaknya. Meskipun saya tahu, ada jutaan resah dan rasa khawatir di dalam hatinya yang tidak pernah lepas tentang anak-anaknya.

Sekarang, saya sudah terbiasa mengambil keputusan-keputusan besar dengan cepat. Bahkan beberapa orang mencibir jika saya ini terlalu sembrono dalam mengambil keputusan. Tidak terkecuali untuk hal-hal yang paling prinsip, semisal urusan pekerjaan dan keputusan-keputusan hidup yang tak kalah penting lainnya.

Dulu, sempat saya berhenti dari pekerjaan sebagai seorang guru demi menyelesaikan kuliah pascasrjana. Orang-orang menyayangkan keputusan saya, karena saat itu saya sudah tercatat sebagai guru profesional dan mendapatkan tunjangan profesi.

"Bodoh, kamu! Orang lain itu sangat ingin seperti kamu, mendapatkan tunjangan dari pemerintah dan kamu melepaskannya begitu saja?" ucap seorang teman pada saya ketika tahu saya melepaskan hal tersebut begitu saja.

Lantas, ketika saya kembali bergabung di dunia pendidikan dan mendapatkan posisi sebagai kepala sekolah di yayasan yang terbilang besar, orang lain mengira saya bisa hidup enak berkecukupan dari honor besar yang diberikan yayasan serta tunjangan profesi yang ternyata masih rejeki dan bisa aktif kembali.

Namun nyatanya batin tetap tidak bisa dibohongi. Cita-cita saya dari kecil pun ternyata masih melekat di dalam diri.

Dunia yang justru diluar apa yang saya geluti dan jelas-jelas menjadi profesi, malah tidak seluruhnya saya nikmati. D*mn, saya ingin berhenti. Sesuatu yang tidak diiringi dengan hati benar-benar memberikan beban tersendiri dalam menjalani hari-hari.

Dulu, ketika saya sangat ingin kuliah mengambil jurusan jurnalistik, mama meragukan anak perempuannya dan bertanya, "Mau jadi apa, perempuan jadi wartawan? Apa tidak sebaiknya ambil jurusan kegurauan?" untuk pertama kalinya saya merasa bahwa mama tidak lagi main-main dalam mengutarakan sarannya kepada saya. 

Akhirnya saya masuk ke jurusan pendidikan; mengambil jurusan PGRA/TK, Pendidikan Agama Islam dan melanjutkan Pascasarjana di jurusan yang sama.

Senang? Tentu saja. Alhamdulillah masa-masa kuliah saya nikmati dengan suka cita. Saya bertemu orang-orang hebat, para pembicara andal, para aktivis kampus yang pinter orasi, orang-orang kritis yang pintar menganalisa, dan dosen-dosen yang super disiplin.

Semua itulah yang justru telah membentuk kepribadian dan mental saya menjadi bentukan seorang guru yang (katanya tegas) dan kepala sekolah yang (katanya) tegas dan terlampau disiplin.

Bertahun lamanya saya membohongi nurani. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi berada dalam sesuatu yang tidak membuat saya merasa bebas lepas tanpa beban, yang sebenarnya entah apa tidak dapat benar-benar bisa saya deskripsikan.

Intinya, saya seolah menginginkan hal lain, bukan itu. Bukan di dunia pendidikan yang mewajibkan saya mengajar, menjadi konseptor, dan menjadi teladan banyak orang.

Saya bahkan harus sangat berhati-hati dalam bersikap dan berpenampilan. Jika tidak, maka akan ada mental dan karakter anak yang rusak karena contoh dari saja. Padahal entah kenapa, saya sangat ingin memiliki pekerjaan yang bisa sambil angkat kaki sebelah di kursi nyaman saya.

Saya mengerjakan sesuatu tanpa harus sibuk bercermin terlebih dahulu memantaskan diri dengan memadu padan pakaian dan jilbab saya. Saya ingin mengatur jam kerja saya sendiri, tanpa harus takut dimarahi bahkan jangan sampai memarahi seseorang karena terlambat datang ke tempat kerja.

Akhirnya, beberapa waktu lalu, belum lama malah. Saya kembali mengambil keputusan untuk menyudahi semuanya. Beberapa kali merenung, berpikir bolak-balik, bahkan berkonsultasi kepada orang-orang yang saya anggap mereka bisa memberikan pertimbangan yang membantu saya membuat sebuah keputusan.

Setelah berpikir panjang dan lampu hijau dari suami kembali menyala bahwa saya memang bebas memilih apapun yang saya sanggupi dan membuat saya bahagia, maka saya anggap restu suami sudah aman. Sayapun akhirnya membulatkan keputusan. Ya, saya berhenti saat ini juga.

Lantas, saya teringat dua orang hebat yang meskipun berjauhan tetapi mereka berdua senantiasa berhasil menginspirasi saya.

J. haryadi

J. Haryadi (sumber instagram J. haryadi @j.haryadi)
J. Haryadi (sumber instagram J. haryadi @j.haryadi)

Seorang penulis andal, Trainer dan Motivator ini yang membuat saya membulatkan tekad untuk tekun belajar menulis dan memutuskan bahwa, 'ya, saya bisa menjadi penulis'.

Beliau adalah guru saya yang selalu mengungkapkan rasa senangnya ketika mendapatkan kabar bahawa saya akan kembali menulis setelah lama 'menghilang'. Bahkan pernah satu waktu beliau bilang, "Saya merindukan penulis perempuan hebat yang satu ini untuk kembali menulis."

Saya tahu betul bahwa saya tidak hebat, saya bahkan belum menjadi apapun di bidang kepenulisan. Namun kalimatnya itu membius saya bahwa ini adalah doa, ini adalah motivasi. Suatu saat saya harus membayar semua ucapan itu dengan menjadikan diri saya benar-benr menjadi penulis yang hebat.

J. Haryadi pun adalah orang yang membuat saya tidak takut 'nganggur' alias tidak memiliki status pekerjaan yang tergabung di sebuah lembaga ternama.

Dimana dalam pandangan masyarakat kita bahwa yang namanya bekerja itu pulang dan pergi dengan jdwal tetap lalu duduk di kantor mengerjakan sebuah tugas pekerjaan.

Perjalanan hidup pak Jumari Haryadi telah memberikan bukti, bahwa tidak apa-apa memutuskan untuk menjadi penulis dan meninggalkan pekerjaan tetap atau mengelola bisnis yang dipandang menjanjikan oleh orang lain.

Syafril Riza.

Syafril Riza (sumber foto: LinkedIn)
Syafril Riza (sumber foto: LinkedIn)

Mas Syafril Riza (Passion Enthusiast, Trainer and Lecture) belum pernah bertemu sekalipun secara langsung. Hanya saja pernah satu dua kali saya mengikuti kelas daring dan beliau sebagai pematerinya.

Saya pun salah satu "pemirsa" yang senantiasa menyimak postingan, tulisan, nasihat dan apapun yang memang kebetulan sering lewat di beranda media sosial saya.

Apa yang beliau tulis selalu daging semua dan sebagian besar relate dengan apa yang saya alami. Sering membuat saya merenung, mengangguk setuju bahkan benar-benar merasa termotivasi. Terutama tentang passion. Ya, saya pun ingin sekali hidup dan menjalani semuanya sesuai passion saya. Apapun risikonya.

Sampai pada ahhirnya saya ada di puncak ragu. Melalui pesan singkat, saya meminta pendapat tentang nasib saya di dalam pekerjaan. Mas Syafril memberikan saran untuk melepaskan diri dari apa-apa yang membuat kita merasa berutang budi tanpa mendikte saya harus melakukan apa.

Saya merasa harus berterima kasih kapada keduanya,kini saya sudah bernapas lega. Saya mengikuti kata hati saya sendiri. Bertekad untuk memulai lagi dari nol, belajar dan kembali belajar menulis lagi.

Jadi apa saya ke depannya, saya tidak peduli. Yang pasti, insyaallah saya tidak akan pernah berhenti menuliskan kata-kata dan menumpahkan ide-ide yang ada di kepala saya.

Usia saya memang sudah tidak muda. Namun Insyaallah akan senantiasa belajar untuk menjadi apa yang saya inginkan. Saya percaya setiap orang telah Allah titipkan potensi yang luar biasa, tinggal orang itu sendiri, mau atau tidak mengembankannya?

Orang lain mungkin boleh mencibir dan mentertawakan bahwa saya aneh dan beda dari kebanyakan orang. Saya dianggap lari dari rejeki yang sudah enak. Uang tunjangan, honor lumayan, gengsi juga oke. Namun seperti kata Kurt Cobain, "Mereka mentertawakanku karena aku berbeda, dan aku mentertawakan mereka karena mereka semua sama."

So, untuk kalian semua, jangan pernah menghianati nurani sendiri karena takut dianggap berbeda. Jadilah berbeda, itu bukan sebuah kesalahan. Jadilah diri sendiri! Karena memiliki kebebasan untuk menjadi diri sendiri adalah kekayaan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Dah gitu aja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun