Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Tidak Hanya Modal Cinta, Menikah Perlu Kesiapan Mental dan Fondasi Agama

18 Februari 2024   11:45 Diperbarui: 18 Februari 2024   15:09 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah mungkin menjadi impian tertinggi bagi banyak orang, terutama kaum wanita. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa menikah adalah sebuah pencapaian hidup yang sangat penting. 

Lulus sekolah tinggi, memiliki posisi penting dan memiliki banyak uang, belum sempurna jika seseorang masih belum memiliki pasangan yang diresmikan oleh agama dan negara.

Banyak selebritis yang hidupnya mewah dengan segudang prestasi, tetapi buktinya warganet masih saja bertanya, "mengapa belum menikah?" lebih mengerikanya lagi, selebritis yang belum menikah di usia matang malah kerap dihinggapi gosip sebagai penyuka sesama jenis.

Bagi banyak orang terutama perempuan yang merasa usianya sudah matang, banyaknya desakkan dan pertanyaan tentang "kapan nikah?" membuat menikah menjadi cita-cita terbesar yang menjadi target harus tercapai dalam batas usia tertentu. 

Bahkan beberapa orang memilih menempuh cara yang mungkin bisa membuat mereka lebih mudah menemukan jodoh semisal ikut biro jodoh atau meminta bantuan teman untuk dicarikan jodoh, bahkan beberapa dari mereka siap dijodohkan.

Di samping itu, para orangtua yang memiliki anak gadis yang belum menikah di usia matang pun ikut-ikutan resah, karena bosan dengan omongan orang. Apalagi mereka yang tinggal di pedesaan, usia 24 tahun saja sudah dibilang sebagai perwan tua yang dianggap tidak laku. Hal itu menjadi momok tersendiri yang cukup menguras energi.

Padahal, menikah bukan tentang cepet-cepetan. Bukan merupakan ajang lomba siapa yang lebih cepat menikah dialah yang menjadi paling hebat. Namun semestinya, yang layak dilabeli sebagai pasangan hebat adalah mereka yang mampu mempertahankan pernikahan sampai usia senja dan hanya maut yang memisahkan. Mereka beranak cucu bahkan menyaksikan kelahiran dan tumbuh kembang cicit mereka.

Di sisi lain, dewasa ini banyak sekali anak muda yang begitu mengagungkan cinta. Mencintai kekasihnya secara berlebihan seolah dunia hanya milik berdua. Mereka yang mengagungkan rasa tanpa melibatkan logika. Tidak sedikit dari mereka yang kebablasan dan melanggar norma.

Menjalani masa pacaran dengan cara yang tidak terpuji, pergi dan menginap dengan kekasih. Mirisnya ada yang sudah tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan karena alasan belum memiliki cukup biaya untuk meresmikan hubungan dan biaya pesta. Akibatnya hamil di luar nikah kini sudah menjadi hal yang biasa. 

Banyaknya yang hamil di luar nikah dibuktikan dengan maraknya dispensasi nikah karena sudah hamil duluan ysng ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Belum lagi yang tidak menikah dan justru memilih tindakan aborsi.

Ilustrasi Menikah, sumber: unsplash/ Luis Tosta
Ilustrasi Menikah, sumber: unsplash/ Luis Tosta

Cinta adalah Modal

Dua insan yang menikah memang haruslah saling mencintai karena keduanya akan hidup bersama sepanjang usia. Tanpa rasa cinta maka kehidupan rumah tangga akan terasa hampa dan menyiksa. Namun nyatanya rasa cinta pun tidak serta-merta dapat bertahan selamanya. Hati manusia dapat berubah kapan saja.

Tuhan yang Maha Kuasa Maha membolak-balik hati manusia. Maka seperti halnya perubahan rasa ketika menjalani masa perkenalan atau pacaran, sewaktu-waktu seseorang bisa saja tiba-tiba kehilangan rasa cintanya. 

Memiliki pilihan baru, menemukan orang yang mungkin dianggap jauh lebih mampu memberikan kenyamanan. Hubungan asmara pun putus lalu berpisah, kembali asing.

Begitu pula dalam menjalani bahtera rumah tangga. Perasaan cinta kepada pasangan sudah pasti mengalami pasang surut juga. Maka dari itu, untuk menikah modal cinta saja belum cukup; menikah memerlukan kesiapan mental dan fondasi agama yang kuat.

Kesiapan Mental

Jika belum siap mental, maka menunda menikah adalah sebuah keputusan tepat.

Banyak perempuan yang sudah menjadi ibu, tetapi belum siap menjadi ibu. Ia hamil, melahirkan tetapi lantas menitipkannya pada orangtua belum siap meninggalkan kebiasaan interaksi dengan teman-temannya, pergi sana-sini tanpa tahu batas waktu. 

Abai pada urusan rumah tangga, kurang peduli pada kesehatan diri sebagai ibu yang mungkin masih harus 'meng-ASI-hi', abai pada tumbuh kembang anak dan lupa pada peran ibu itu sendiri.

Banyak pula lelaki yang sudah menjadi bapak, tetapi tidak mampu menjadi ayah. Belum siap mendampingi istri dalam masa-masa sulit setelah melahirkan. Menganggap bahwa mengasuh anak adalah hanya tugas istri, sedangkan tugas suami hanyalah fokus mencari nafkah. 

Akhirnya banyak anak-anak yang mengalami fatherless; kehilangan sosok dan kasih sayang ayah. Banyak anak-anak yang melihat orangtuanya bertengkar hanya karena saling menyalahkan dalam pembagian peran dan tugas karena keduanya memang belum benar-benar siap.

Maka dari itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah, sebaiknya siapkanlah mental sebagai istri dan ibu, juga sebagai suami dan ayah. Istri yang harus patuh kepada suami da nmenjadi madrasah pertama untuk anak-anak. Sedangkan suami harus mampu mengayomi, menjadi panutan serta contoh bagi seluruh anggota keluarga yang dinaunginya.

Fondasi Agama

Cinta bisa pasang dan surut. Hanya mereka yang memiliki fondasi agama dengan keimanan dan rasa takut akan dosa lah, rumah tangga akan bisa terjaga keutuhannya.

Orang yang hanya mengandalkan cinta dan kasih sayang saat menikah, ketika ia menemukan karakter yang tidak disuka pada pasangannya, maka yang terlintas di pikirannya adalah soal ketidakcocokan, soal ketidak nyamanan dan lain sebagainya.

Padahal, agama telah mengatur segalanya, tidak terkecuali soal hak dan kewajiban suami istri, serta hak dan kewajiban anak dan orangtuanya. Sederet aturan dilengkapi dengan sanksi dosa dan siksaan di neraka yang akan didapatkan jika semua itu dilanggar, telah diatur sedemikian rupa dalam agama. 

Kalau saja masing-masing pasangan sudah memahami aturan agama dan takut akan dosa dan siksa di akhirat kelak, maka seberat apapun konfliknya, akan selalu dikembalikan kepada aturan agama.

Ketika suami istri sudah paham aturan tersebut serta mematuhiya dengan penuh keimanan dan tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada lagi pasangan yang buru-buru memutuskan cerai ketika menghadapi ujian rumah tangga. Karena mereka paham, walaupun diperbolehkan, Tuhan itu sangat membenci perceraian.

Satu lagi, dengan fondasi agama yang baik, suami istri tidak akan mudah tergoda oleh lawan jenis yang memang bukan haknya. Lelaki akan jauh lebih menjaga pandangan dan perasaan, sedangkan perempuan sudah barang tentu akan sangat menjaga dan membatasi diri untuk berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan haknya pula.

Setelah ini, masih mau buru-buru menikah hanya karena sering ditanyai kapan nikah?

Adapun soal modal nikah yang mahal, cobalah kita ubah mindsetnya. Menikah itu murah, cukup pergi ke KUA dengan biaya yang sangat terjangkau. Tidak perlu mengejar gengsi. 

Bekal materi untuk kehidupan setelah menikah itu jauh lebih penting daripada sejumlah uang untuk menyelenggarakan sebuah pesta meriah. Banyak kok yang pesta pernikahannya meriah, tetapi rumah tangganya kandas juga. Ya kan?

Menunda menikah bukanlah sebuah aib. Menikahlah dengan orang yang mentalnya siap dan pemahaman agamanya baik. Saya doakan.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun