"Kau bahkan tidak akan tahu bagaimana rasanya terusir dari rumah sendiri," kata Lilan.Â
Wajah cantiknya yang biasa cerah ceria, kini redup bak mendung dengan awan yang gelap.Â
Lilan yang kukenal sebagai perempuan pekerja keras dan pantang meyerah kini sedang ditimpa ujian berat. Aku malah bertekad untuk menemani dan menyemangatinya walau hanya sekadar mendengarkan keluh kesah atau membiarkannya tinggal beberapa hari di rumahku.Â
Aku dan Lilan bersahabat sejak kecil. Aku tahu betul, bagaimana usaha yang dia lakukan untuk menghidupi seluruh keluarganya.Â
Lilan adalah anak satu-satunya yang kemudian harus menjadi kakak perempuan paling besar setelah ibunya meninggal. Ya, ayah Lilan menikah lagi dengan perempuan yang memiliki dua anak. Kemudian ibu tirinya melahirkan adiknya yang kalau menurut Lilan, untung saja adik sebapaknya itu lucu dan menggemaskan. Jika tidak, maka ia tidak akan pernah menemukan alasan untuk tetap tinggal di rumah warisan sang ayah.Â
Dua tahun lalu, sebelum ayah Lilan meninggal karena kecelakaan, kehidupan Lilan masih tergolong normal. Ia masih memiliki kehidupan sosial yang sama denhan aku. Bekerja di siang hari, lalu mengikuti kuliah kelas karyawan pada malam hari.Â
Namun semenjak ayahnya meninggal, Lilan menjadi sering menghilang. Bolos dari kelas bahkan sering terlambat mengumpulkan tugas.Â
"Aku harus nyari tambahan penghasilan, untuk membayar uang kuliah," keluh Lilan waktu itu.Â
"Kenapa kau masih harus kerja? Bukankah dari tempatmu yang sekarang sudah cukup?" tanyaku kebingungan. Kasihan, jika sahabatku itu masih harus memeras keringat bahkan di waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat.Â
"Semua uang hasil kerjaku diambil ibu untuk keperluan hidup, sekolah dan makan adik-adikku," jawab Lilan dengan mata berkaca-kaca.Â