Pentas kenaikan kelas dan pesta kelulusan di sekolah kini lagi marak diselenggarakan di berbagai jenjang sekolah. Macam-macam pementasan dilakukan sebagai upaya untuk memeriahkan acara tersebut. Dari mulai pementasan drama, tarian, penampilan solo vocal atau berduet dan paduan suara, sampai pada pertunjukan-pertunjukan menghibur lainnya.Â
Bukan hanya hiburan, di sekolah-sekolah unggulan banyak menampilkan hasil pendidikan siswa-siswanya sebagai "laporan"Â kepada orangtua dan masyarakat. Anak-anak dengan bakat-bakat terbaik ditampilkan di acara tersebut. Juara olahraga, pembaca puisi terbaik, pemilik suara emas, bahkan penghafal Alquran dan yang sudah pandai berdakwah pun ditampilkan pada kesempatan itu.
Momentum ini tentunya bukan hanya dijadikan ajang uji kreativitas dan pementasan bakat siswa. Tidak jarang momentum ini dimanfaatkan untuk hiburan, pesta, dan "bersenang-senang" sebagai cara merayakan kelulusan.
Namun kadang di beberapa sekolah acara pesta perpisahan dan kenaikan kelas ini terkesan bablas. Demi agar acaranya meriah, panitia pentas kenaikan kelas mengundang pihak luar sebagai pengisi acara. Mungkin tujuannya bagus. Yaitu, agar acara lebih meriah dan bermakna.Â
Sayangnya, panitia penyelenggara pentas kenaikan kelas yang seharusnya paham soal esensi pendidikan, masih belum semuanya bisa memilih dan memilah mana tamu pengisi acara yang bisa mendidik, dan mana yang justru memberikan pengaruh buruk untuk peserta didik. Seharusnya panitia memahami kondisi peserta didik dan tujuan dari acara yang diselenggarakan tersebut.Â
Sangat disayangkan ketika ada beberapa sekolah yang entah disengaja atau tidak, mengundang biduan yang mempertunjukkan goyangan yang erotis di atas panggung saat acara kenaikan kelas/perpisahan. para orangtua bahkan gurunya ikut hanyut dan bergoyang sama-sama menikmati alunan musik. Padahal di bawah panggung, anak-anak yang masih sangat belia menonton dengan wajah mereka yang polos sambil menikmati makanan mereka, matanya melotot melihat aksi orang dewasa di hadapannya.Â
Dari kejadian itu, bisa jadi dalam benak mereka berpikir, "oh, kalau sudah dewasa aku bisa dong kayak begitu." Atau, "ah, mumpung kenaikan kelas, boleh lah kita berpesta, hura-hura." Atau pikiran yang lebih absrud lain yang dipikirkan dan bahkan mungkin dilakukan oleh mereka.Â
Ada juga, ketika perpisahan sekolah guru wajib menyumbang satu atau dua lagu. Tampil untuk mengisi hiburan di malam kebersamaan sebelum akhirnya berpisah dengan anak-anak kelas 3 SMP. Acara tersebut berlangsung di pesisir pantai. Khidmat dan penuh kehangatan persaudaraan. Namun siapa sangka, ketika salah seorang guru sedang bernyanyi dengan irama yang enak dipakai untuk bergoyang, semuanya lupa daratan. Berjoged ria. Yang lebih mengejutkan adalah, ada satu dua remaja mengeluarkan uang untuk "nyawer" gurunya yang saat itu (berperan) sebagai biduan. Miris sekali memang.Â
Kasus lain, yang lebih mengerikan, ketika malam perpisahan justru diisi dengan pesta minuman keras dan seks bebas.
Salah siapa ini sebenarnya? Ketika susah payah selama bertahun-tahun menegakkan kedisiplinan, menanamkan karakter dengan sistem terbaik di sekolah, setelah tiba di akhir tahun, semuanya ambyar. Aturan seolah hilang. Siswi yang semula berseragam sopan tidak ragu untuk menggunakan pakaian seksi ketika tampil di panggung. Anak-anak polos yang hanya tahu jajan dan bermain bersama teman-temannya itu disuguhi goyangan dangdut sang biduan. Menyaksikan guru-gurunya naik ke panggung turut memerdekakan dirinya "menjadi diri sendiri" di luar tugasnya sebagai pengajar dan pendidik.Â