Saya menuliskan ini sekadar ingin berbagi pengalaman. Sesuatu yang sangat berkesan dalam dan memberikan pelajaran berharga. Hasil perenungan saya pribadi dari hal-hal yang saya alami selama ini.Â
Pernah, bahkan sering. Saya berpikir, "betapa susah sekali seseorang yang saya butuhkan memberikan bantuan dan meluangkan waktunya sebentar saja untuk saya." Padahal orang tersebut boleh dikatakan orang kepercayaan saya, orang yang layaknya bisa lho, dimintain bantuan.
Pernah lagi, suatu hari ketika saya sedang ada keperluan mendesak, seseorang malah menyita waktu saya dengan mengobrol tak kenal waktu.Â
Padahal dia sendiri tahu saya sedang-sedang buru-buru dan berkejaran dengan waktu. Lantas saya berpikir, "tidakkah dia mengerti dari isi kalimat yang menyatakan bahwa barang siapa memudahkan urusan orang lain maka Allah akan memudahkan urusannya, kok orang ini dengan santainya menganggu waktu saya?"Â
Mau saya tegaskan kembali, tapi sudah dua kali saya bilang. Akhirnya, sudahlah, mungkin memang karakternya begitu. Saya kembali memupuk sabar.
Akan tetapi, tanpa bisa dipungkiri, sisi egois saya masih sering muncul. Ego berkata, bahwa orang lain seharusnya paham dong.Â
Bukankah setiap orang sangat berhak menyelesaikan urusan-urusannya sendiri, menjalani hari-hari, menikmati hidup sendiri tanpa gangguan orang lain? Boleh dong, saya meninggalkan dia dan mengabaikannya?
Sampai suatu hari, saya mendapati kembali kondisi dimana harus buru-buru dan mengejar waktu. Saya harus pulang kampung dan harus segera sampai. Keluarga benar-benar menunggu kedatangan saya saat itu.Â
Belum lagi, saya harus menghitung waktu istirahat. Maklum fisik saya sudah tidak sekuat beberapa tahun lalu.Â
Sejak Allah memberikan"kesempatan" untuk mencicipi bagaimana rasanya tepapar virus C-19 sejak saat itu entah kenapa fisik saya belum benar-benar pulih seperti sebelumnya. Â Cenderung lebih mudah lelah dan sakit.
Saya berencana pergi ke kampung halaman sepagi mungkin. Mengejar armada transportasi paling pagi.Â
Namun ternyata seseorang meminta saya menunggu karena ingin bertemu dan ada hal penting yang harus disampaikan. Saya pun memilih untuk menunggunya, karena orang tersebut merupakan orang yang saya hormati.Â
Sepanjang perjalanan menuju pertemuan, hati dan logika saya terus menerus berdebat meminta pemenangan. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian bergejolak sendiri di dalam hati dan pikiran.Â
Si Otak pun menghujat, "kenapa sih, kok mau nunggu? kan sedang buru-buru. Nanti terlambat lho! Harusnya dia mengizinkan pergi lebih awal, kan dia tahu kamu harus segera sampai ke sana dan istirahat dengan cukup."
Namun hati saya memberikan pembelaan, "tidak selamanya orang lain yang harus melulu memahami kondisi kita. Pun tidak selamanya orang lain yang harus berkorban demi keselamatan kita. Kita pun sangat berkewajiban menjaga keselamatan dan ketenangan orang lain. Begitu pun kenyamanan hati orang-orang terdekat yang kita sayangi, harus betul-betul kita jaga."
Kemudian otak menyangkal lagi, "bukankah setiap orang seharusnya berusaha memudahkan urusan orang lain? Jika tidak bisa memudahkan setidaknya jangan mempersulit."
Bersyukur, akhirnya otak dan hati berdamai. Teringat dengan sabda Rasulullah SAW, "barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kemudahan (urusan) di dunia dan akhirat." (HR: Tirmidzi : 1853) maka hari inilah saatnya saya memudahkan beban dan urusan orang lain.Â
Walau saya sedang dalam keadaan butuh kemudahan, saya akhirnya paham. Bisa jadi kepentingan orang yang mau menemui saya saat itu lebih besar daripada keperluan saya.
Bisa saja tekanan batin dan desakan urusan orang yang akan menemui saya itu lebih besar daripada yang saya rasakan saat ini. Kenapa tidak, jika sayalah yang mengalah dan memudahkan urusannya hari ini.Â
Saya beristigfar dan menghela napas panjang. Betapa tenang dan damainya hati ini ketika hati dan kepala saya berhasil berdamai untuk mengambil sebuah keputisan berat.
Akhirnya kamipun bertemu dengan penuh suka cita. Egoisme yang sebelumnya muncul dan berhasil diredam akhirnya membuahkan hasil yang baik. Saya terlambat naik angkutan, yang mengakibatkan terlambat pula armada angkutan berikutnya.Â
Akses menuju pulang ke kampung halaman memang tidak semudah menuju kota besar. Di perjalanan sempat menunggu kendaraan lama sekali, hujan deras mulai turun.
Namun alhamdulillah Allah menghadirkan pertolongan di saat yang tepat. Ketika kendaraan terakhir tidak kunjung datang dan tubuh sudah mulai lelah dan melemah, ponsel saya berdering.Â
"Di mana? Sudah hampir magrib. Di sini hujan deras sekali. Kasih tahu posisi, nanti ada yang menjemput ke sana."
Seketika hati merasa lega. Lisan pun mengucap istigfar ke sekian kali. Seandainya saya tidak segera sadar dari keegoisan tadi pagi, bisa jadi kemudahan itu hilang dan tidak Allah berikan kepada saya.Â
Bersyukur, Allah memberikan hadiah secera langsung berupa pertolongan pihak keluarga yang menyengaja menjemput saya dalam keadaan hujan deras di tempat habisnya armada angkutan.Â
Dari semua kejadian itu, saya benar-benar lebih bersemangat untuk terus menerus memperbaiki niat dalam hati. Berusaha percaya bahwa semua hal baik yang dilakukan tidak akan pernah berakhir buruk, sebab Allah selalu berbuat adil kepada hamba-Nya.Â
Soal meringankan beban orang lain, bukan hanya menjadi tuntutan. Namun merupakan kewajiban kita kepada setiap orang. Â
"Sesiapa yang bersikap  ramah kepada orang lain dan meringankan beban hidupnya baik sedikit maupun  banyak maka kewajiban bagi Allah untuk memberikan kepadanya pelayanan dengan  pelayanan surga " (HR Thabrani ).
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H