Saya yang sudah bukan anak-anak lagi pun begitu riang gembira karena rindu berat kepada sekolah masa kecil. Kami pun ikut ayah naik mobil tuanya menuju sekolah. SD kesayangan yang tidak mudah dilupakan dengan segala kenangannya. Sawahnya yang hijau mengelilingi sekolah kami membuat kami memiliki semangat yang kuat tetapi hati yang tetap lembut. Kami dididik oleh guru-guru dan alam yang begitu tenang.
Sekolah yang pernah mengajarkan saya kepemimpinan sejak dini, dimana saya menjadi ketua OSIS dan anggota Gerakan Pramuka. Sekolah yang mengajarkan kesabaran, menyembunyikan identitas, menahan rasa, dan berusaha untuk menjadi siswa biasa, karena nyatanya ayah dan ibuku guru dan bapak guruku sendiri.
Di kelas 2 saya diajarkan perkalian dan nyanyian dengan dendang yang medu oleh almarhumah ibuku. Di kelas itu pula saya pernah turun peringkat tergeser oleh temanku. Wali kelas yang juga ibuku sendiri, memberikan nilai yang sangat objektif.
Kemudian di kelas 6 saya harus terus gigit jari ketika mengangkat tangan mengajukan pertanyaan seringkali tidak mendapatkan jawaban langsung dari ayahku sang guru.
"Tanya saja ke teman sebangkumu, ia sudah lebih memahami itu," jawab ayahku ketika itu. Padahal di akhir pembelajaran ayahku selalu bertanya, "siapa yang ingin mengajukan pertanyaan?"
Dari sana saya belajar, bahwa di manapun bekerja harus tetap professional. Tidak perlu memberikan perlakuan khusus walaupun ada keluarga di tempat kerja sendiri. Seingatku, dulu ayah sering meninggalkan ibuku di rumah, ia berangkat lebih dulu jika ibu masih mengurusi urusan rumah, dan membiarkannya pergi sendirian membayar ojeg demi agar ayah datang tepat waktu.
Datang ke sekolah, ayah mendapatkan sambutan sebagai kepala sekolah yang begitu hangat. Ayah pun berkisah tentang perjuangannya untuk kembali ke desa sendiri menjelang akhir masa baktinya. Â Guru-guru yang ada di sana adalah guru-guru yang sudah kenal semua. Putra-putra daerah yang bisa dianggap saudara. Dalam obrolan hangat, beberapa guru senior memanggil ayah dengan sapaan akrab, "akang". Rasanya hati ini begitu bahagia melihat wajah sumringah ayah.
Piala-piala berjejer dilemari kaca, satu dua di antaranya adalah piala yang juga diraih semasa kepemimpinan ayah dulu. Administrasi sekolah dan buku-buku tertata di lemari. Papan data terpampang lengkap.
"Sekolah ini memang keren," gumamku.
Pikiran pun melayang kepada obrolan masa lalu, dimana sekolah ini menjuarai lomba lingkungan, lomba murid teladan, lomba olahraga dan sederet prestasi lainnya. Saya harus benar-benar banyak belajar dari sekolah ini. Â
Setelah bincang hangat dengan para guru, ayah mengambil sebilah golok. Dengan baju dinas hitam putihnya, ayah menuju taman. Saya tersenyum geli. Lagi-lagi hasrat beres-beres sekolahnya muncul. Dengan cekatan, ayahku memotong tunas-tunas Bugenvil di halaman sekolah yang sudah mulai tinggi karena tidak terawat efek pandemi.