"Iya, Ma," jawabku setengah berteriak
"Lekas berkemas, kita akan segera pulang ke Jogja," teriak ibuku, yang kudengar suaranya semakin mengecil dari kejauhan. Rupanya ia sedang sibuk berkemas pakaian dan merapikan barang-barang bawaan yang akan kami bawa pergi.
"Sekarang, Ma?" keluhku masih betah di kamar.
"Iyaa, kakek tadi menelefon, katanya ia sakit, ingin diantar ke dokter sama Mamah."
"Kan ada Pakle Toha, Ma ..., Ia bisa antar Kakek. Aku gak mau pulang dulu!" rengekku. Namun Mama tiba-tiba sudah melotot di hadapanku, "Kemas barangmu, atau kau tetap tinggal di sini tanpa sepeser pun uang jajan dari Mama."Â
Mama bergegas menjauh. Menutup tirai-tirai kaca. Memastikan jendela-jendela terkunci.
"Dikha..." Mama kembali memandangku tajam. Aku mulai bergeser dari tempat duduk. Meneguk sisa kopiku sampai tetes terakhir. Kuhela napas panjang. Ingin kuhempaskan beban.
Mas, Aku pulang kampung dulu jenguk Kakek ya. Semoga ketika aku ke sini lagi, Mas masih ada. Jangan dulu selesai acara bakti masyarakatnya ya, Mas.
Setelah mencuci gelas bekas kopi dan kenangan tentangmu, secepat mungkin aku mengemas pakaian dan bersiap pergi ke rumah kakek. Sesampainya di ruangan tengah, kudapati Mama menungguiku sambil menonton televisi lengkap dengan barang bawaan yang akan dibawa pergi.
"Yuk, Ma, Dikha sudah siap," kataku.
Mama melotot.