Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepotong Kenangan bersama Hujan

2 Mei 2020   13:09 Diperbarui: 2 Mei 2020   13:22 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kamu yang di sana mungkin sudah lupa. Tentang kejadian di suatu sore yang muram. Langit gelap pertanda akan turun hujan. Kau yang seharusnya mengingatkanku untuk segera pulang, malah terlihat begitu senang melihat awan yang semakin gelap. Apalagi ketika rintik air sudah mulai jatuh membasahi bumi, dedaunan, dan bahkan kacamataku. Aku begitu ingat, saat kau mentertawakanku. Ketika melihat kacamataku basah. Kau bilang seharusnya terpasang wiper seperti di kaca mobil. Ah, kau tega sekali kepadaku. 

Kau sangat tahu jika aku menyukai gerimis dan bahagia bertemu hujan. Maka sore itu, kau tak mengingatanku untuk segera pulang karena hujan sebentar lagi akan datang. Kau tertawa riang. Seraya mengerlingkan bola mata yang menurutku kerlingan itu kerlingan mata paling indah. Senyum kamu juga rasanya terlalu manis di sore itu. Aku tahu, saat itu kamu memberi kode. Iya kode, bahwa sore itu kita berdua siap menjemput hujan.

Kau menginjak pedal gas. mengemudikan mobil ke arah awan hitam berada. Aku tertawa geli, atas kesungguhan niatmu, 'berburu hujan'. 

Ketika hujan deras membasahi bumi, kau tertawa bahagia. kemudian menepikan mobil di pinggir jalan yang aman dari pepohonan. membiarkan cucuran air hujan menghantam bebas atap mobilmu.

"Sebentar lagi mobilku akan gelap," ujarmu senang.

Aku yang tidak sepenuhnya paham mengernyitkan dahi dan bertanya, "kenapa kau senang jika mobilmu gelap?"

Dengan menyeringai kau memberikan jawaban gila, "Orang-orang di luar tidak akan bisa melihat kita berdua di dalam sini, kacanya akan berembun," kalimat itu diselingi dengan tawa. 

Aku sedikit takut, apa yang akan kau lakukan padaku saat itu. Sempat terlintas jika kau akan berbuat hal yang menyebalkan. Namu nternyata kegundahanku hilang seketika, saat kau memainkan telunjukmu di kaca. Melukis bentuk love dan menuliskan dua nama. 

"Aku mencintaimu, Dina," kalimatmu lirih, tapi  cukup jelas di telingaku. 

Dadaku berdegup kencang saat itu. Sorot matamu begitu tajam tidak melepaskan pandangan dariku. Membuatku salah tingkah. Entah berapa puluh detik retina kita bertemu. Aku bisu, kau pun begitu. Hanya suara hujan yang terdengar semakin menderu, bersaing dengan degup jantungku. 

"Kau tidak membalas perkataanku?" tiba-tiba pertanyaan itu memecahkan sunyi di antara kita.

"Eh, iya, aku pun," jawabku. 

Kau pun tersenyum, lega. 

"Sudah, aku telah mengatakannya. Sekarang aku akan menyalakan AC, agar orang-orang di luar bisa melihat kita lagi."

Embun di kaca mulai menipis, tulisan nama dan gambar love yang kau buat pun menghilang perlahan. 

"Ah, ukiran cinta kita tergapus oleh AC mobil," ucapmu dengan nada yang konyol. 

Aku tak sanggup menahan tawa. Kau ini memang lucu dan selalu menyenangkan, batinku. 

"Kau mau turun?" kau bertanya padaku. Ada lirikan jail di matamu, kau mengajakku main hujan dan membiarkan seluruh tubuh basah seperti yang pernah kita lakukan sebelumnya. Kita menari di tengah derasnya hujan bagai anak kecil yang girang penuh kebebasan. Kali itu kau mengantarku pulang dengan memakaikanku jaket. Aku kedinginan dan besok harinya kau memberi kabar jika kau demam tinggi. Aku menyesal. Maka dari itu, aku tak mau melakukan hal itu hari ini. Biar hujan kunikmati dari dalam mobil saja.

"Aku tidak bawa baju ganti," jawabku. "Aku tak mau kau sakit lagi."

Kau tertawa terbahak-bahak dan mengajukan pembelaan kalau saat itu memang daya tahan tubuhmusedang tidak bersahabat.
Hujan pun turun semakin deras, kau kembali mengemudikan mobilmu. Kemudian berhenti di sebuah kedai bakso. bajuku basah terkena hujan saat berjalan dari parkiran sampai di kedai. 

Kau tak berhenti mengajakku berbincang-bincang dengan topik hangat bergantian. Kamu itu memang hebat, tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Percakapan kita semakin hangat, membuat aku lupa dengan dingin yang terasa.
Kau tahu betul jika aku sering merasa begitu damai ketika hujan turun. Satu yang kau tak pernah lupa, bahwa aku lebih percaya kepada hujan untuk melampiaskan semua tangisan, kesedihan dan luluh lantaknya hati ini. Namun, apakah kau tahu? Sejak sore itu, tak hanya hujan yang aku jadikan andalan sebagai pengobat kesedihan. Tapi sejak hujan di sore itu, aku percaya kamu juga bisa melakukannya.
Kau bisa menjadi penghiburku, penyebab terbitnya senyum-senyumku. Kau, bisa membuat aku lupa jika aku sedang sedih, dan marah sekalipun. Kau adalah tempat ternyaman yang selalu ingin aku jadikan tempatku pulang dan tempatku kembali, dan tempatku bersandar. Entah itu saat aku bersedih, atau bahagia sekalipun. Aku ingin selalu berbagi denganmu. Ya, hanya denganmu.
Hari ini hujan datang lagi. Cukup deras, sederas hari itu. namun kali ini berbeda, tidak ada kamu pun tak ada tarian juga nyanyian di antara rinainya. Aku hanya duduk di sisian jendela memandangi hujan itu, sambil memungut kenangan tentang kamu.
Tanpa terasa ada titik air yang mengalir di pipiku. Dadaku mendadak terasa sesak. Ada sesal yang mendalam, mengapa dulu tidak kita lanjutkan kisah kita? Menyelesaikan semuanya. Mungkin kini aku tidak akan merasakan kekosongan seperti ini.
Sejak kita bercanda dalam hujan kali itu, aku tidak pernah sedikitpun melupakanmu. Jujur, aku mencintaimu sedalam rasa yang aku punya. Aku pun mengetahui bahwa kamu memiliki rasa yang sama. Tulisan dan gambar yang kau buat di kaca, itu benar adanya. 

Namun sayangnya ada satu hal yang selalu tidak bisa aku terima, yaitu sikapmu yang masih terlalu terbuka kepada setiap perempuan yang menyukaimu. Respon terbaik selalu mereka dapatkan, membuat mereka semakin  jatuh cinta kepadamu. Dari sana aku meyakinkan diri, bahwa aku tidak akan sanggup jika memiliki pasangan yang dicintai banyak perempuan. Hatiku akan hancur setiap hari diserang api cemburu.
"Aku tunggu di halte ya, gak usah bawa kendaraan, kamu ikut aku saja," itu salah satu tawaran yang kamu berikan kepada temanmu saat kalian akan reuni dengan teman SMPmu.
Masih terekam di telingaku percakapan kalian saat kau sengaja mengeraskan suara percakapan telefonmu. Perempuan itu bermanja dengan bebasnya, merengek, dan kau mengiyakan setiap permintaannya. Rasanya, aku salah besar jika kemudian aku merasa kalau akulah satu-satunya yang menjadi perempuan spesial dalam hatimu.
Sejuta nyaman yang kau beri, harus aku enyahkan dengan semua kemungkinan yang terpikirakan di kepalaku. Sekali lagi, aku tidak mau hidup bersama dengan orang yang disukai banyak perempuan dan berbuat baik kepada semua perempuan.
Aku egois? Tentu saja aku rasa tidak. Aku pun merasa berhak atas itu. Aku harus menjaga perasanku sendiri. 

Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengubur semua perasaan yang kupunya untukmu dan mulai membuka hati kepada yang lain. Ya, seseorang datang, kemudian menjadi suamiku.
Kau marah besar, ketika mengetahui aku menikah dengannya.
"Kamu itu ya, harusnya aku yang menjadi suamimu." katamu kala itu.
Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun. Lidahku kelu, tetapi lagi-lagi, logikaku menolakmu. Aku tidak mau terus-menerus disiksa api cemburu.
Dua tahun kemudian kamu menikahi gadis lain, dan aku hampir gila dibuatnya. Walaupun sudah menikah, rasa itu masih ada, aku masih mencintaimu. Namun kemudian kamu masih saja selalu datang dan mengatakan bahwa kau pun tidak mampu sepenuhnye melupakanku. Perniakahnmu, dilatarbelakangi oleh  "pernikahanku." Kamu merasa tidak ada lagi yang harus diperjuangkan dariku, maka dari itu kau pun memutuskan untuk mengakhiri masa lajangmu.
Setahun yang lalu, aku berpisah dengan suamiku, dengan alasan paling prinsip. Dia kembali pada agamanya. Kami tidak bisa lagi bersatu. Saat aku kembali merindukanmu, maka senyum perempuan manis di sampingmu lah yang selalu terlintas dibenakku. Aku tidka mungkin memintamu darinya.
"Aku tidak akan pernah mengganggumu. Namun, jika kau ada waktu, bolehkan aku menikmati kembali hujan beramamu?" gumamku. Sebuah kalimat yang tidak pernah akan sampai ke telingamu.
Hujan semakin deras, ada jutaan rindu yang turun bersamaan dengan rinainya. Ku harap hujan ini turun di tempatmu juga, agar kau turut merasakan siksaan ini, merindukanmu di antara hujan-hujan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun