"Hari sudah terlalu terik. Kita harus berhenti dulu, membersihkan diri untuk siap-siap solat zuhur," ujar Emak mengingatkan. Kakinya beranjak dari sawah. Benih-benih yang ditandur sedikit lagi rampung. Ada satu petak kecil lagi yang belum kami tanami.
"Tanggung, Mak. Kenapa tidak kita selesaikan saja?" Aku berteriak agar terdengar Emak yang sudah melangkah menyusuri pematang menuju saung.
Tanpa menoleh, "gak boleh begitu, Allah saja tidak pernah terlambat memberikanmu napas."
Ah, ucapan Emak membuatku takut. Benih padi di genggamanku kulemparkan. Aku bergegas beranjak mengejar Emak.
**
Badanku terasa begitu remuk. Ikut Emak tandur membuat pinggangku jadi sedikit kaku. Bangun dari tidur seperti robot. Punggung dan pinggang terasa sakit.Â
Beginilah perjuangan Emak di sawah. Memang ini bukan kali pertama aku melakukannya. Di SMK Pertanian Cipaku tempat aku belajar pun ada mata pelajarannya. Semua siswa diberi lahan yang harus dikelola sendiri. Namun lahannya kan hanya berukuran 10x10. Terus dilakukan bersama-sama dengan teman, sambil main-main, balapan menanam, atau apa saja yang membuat kami lupa pada rasa lelah.
Sama Emak kemarin, lumayan juga lahannya. Aku sedih, selama ini aku tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya badan Emak. Sebagai perempuan Emak memang paling kuat.Â
Mengolah sawah hanya ketika harus mencangkul saja Emak menggunakan jasa orang. Membayar operator traktor dan menyewa traktor yang dekelola oleh kelompok tani Desa. Selebihnya Emak selalu bisa melakukannya sendirian walalupun dicicil sedikit demi sedikit.
Tanah kami juga tidak banyak. Kembali lagi kepada cerita Abah, sedikit demi sedikit tanah Abah pun dijual oleh saudaranya.
"Kamu jangan terlalu lama di kamar mandi ya, Yun. Hari sudah siang. Nanti kamu terlambat!" teriak Emak dari dapur. Jam menunjukkan pukul 04:30. Aku harus bergegas, selesai solat subuh berangkat kembali ke sekolah. Meninggalkan Emak sedirian di rumah, karena aku ngekost di sekitaran sekolah.