"Yun, Emak turun lagi, ya!" ujar Emak bersiap kembali ke sawah. Matahari semakin terik. Nyaris tepat di atas ubun-ubun. Emak menyingsingkan lengan baju. Dudukuy pun telah ia kenakan.
"Aku ikut ya, Mak!" aku bergegas turun dari saung.
"Tidak usah, bukankah besok kamu sekolah? Nanti tanganmu hitam sama air sawah." larang Emak.
Tetapi larangan itu tidak mengurungkan niatku. Aku sudah lebih dulu turun ke sawah. Celana panjang yang aku gunakan langsung tenggelam bersama masuknya kakiku ke lumpur. Emak hanya geleng kepala melihat anak perempuanya turun ke sawah. Emak adalah satu-satunya harta berhargaku, begitupun aku, menjadi anak semata wayangnya Emak.
Setelah Aki meninggal, Abah mencoba menekuni profesi sebagai petani. Mengaplikasikan ilmu yang ia dapat di bangku kuliah. Tanah peninggalan Aki ia kelola sebisanya bersama beberapa tukang yang biasa bekerja selagi Aki dan Nini masih hidup.
Ketiga kakaknya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mengelola toko, kolam pemacingan, dan ada pula yang memiliki pabrik pemotong kayu.
Namun misi Aki yang menginginkan Abah mengolah lahan hanya sebatas mimpi. Gagasan Abah untuk menpraktikan ilmu ditolak mentah-mentah oleh ketiga kakaknya. Sampai hari pembagian warisanpun tiba, Abah mendapatkan bagiannya.
Tahun ketiga dari kepergian Aki, abah menikah dengan Emak. Abah yang semula hanya berprofesi sebagai petani, mengolah tanah bagiannya, terpaksa harus merantau demi menghidupi keluarga kecilnya dengan kehiduan yang lebih layak. Abah pulang setiap dua minggu sekali dari Bandung.
Aku selalu menjadi anak yang paling bahagia ketika itu. Abah selalu membawakan oleh-oleh buku bacaan yang paling keren. Teman-temanku di SD IV Cinyasag tidak ada yang memilikinya. Jika Guru bertanya sesuatu tentang pelajaran yang belum kami pelajarai, aku sering menjawabnya. Dari buku-buku yang kubaca lah pengetahuan itu kudapatkan. Abah memang hebat.
Namun nasibku dan Emak tidak selalu mulus, kebahagaiaan itu hanya kami rasakan samapai aku duduk di bangku kelas dua sekolah Menengah Pertama. Abah mengalami kecelakaan maut ketika perjalanan mudik lebaran. Kakinya lumpuh tidak bisa digerakan. Selama setahun Abah hanya duduk di kursi roda, sampai akhirnya mengembuskan napas terakhirnya tepat di hari terakhir aku Ujian Akhir Nasional.
Hatiku begitu koyak. Harapan untuk membuat Abah sembuh musnah sudah, Allah lebih sayang kepada Abah dan mengambilnya. Abah pun tidak tahu, jika anak tunggalnya mendapatkan nilai NEM tertinggi di SMPN I Panawangan.