Perayaan HUT RI ke-74 sangat meriah di mana-mana. Meskipun 17 Agustus sudah berlalu, rangkaian acara kemeriahannya masih tetap diselenggarakan di berbagai tempat.Â
Bahkan, dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, di lingkungan tempat tinggal, malam puncak perayaan HUT RI digelar pada penghujung bulan September.Â
Hiburan puncak, pengumuman pemenang perlombaan, dan bazar makanan digelar pada acara tersebut. Betapa meriahnya perayaan ini.
Namun ada yang selalu mengganjal dalam hati. Ketika tanggal 17 Agustus yang upacara hanya pegawai negeri, ketika warga turun ke lapangan langsung bermain-main dalam lomba yang lucu-lucuan, sengaja mengundang tawa yang terbahak sampai terpingkal-pingkal.
Lalu, beberapa panggung berdiri untuk diisi dengan tampilan penyanyi perempuan berbaju terbuka, pemuda pria pun berjoget dengan bebasnya. Sementara, anak-anak yang masih kecil menyaksikan kejadian itu dari tepian.
Belum lagi, arak-arakan karnaval banyak menampilkan hal yang terlampau kreatif tapi nyeleneh. Lelaki berkostum perempuan, berdandan lebih cantik dari perempuan betulan. Hantu-hantuan menakutkan pun banyak bertebaran.
Iya, ini memang hari kemerdekaan. Sebagai warga negara kita bebas mengekspresikan diri dalam merayakannya. Akan tetapi, perjuangan pahlawan kita zaman dahulu tidak untuk dihargai sebercanda itu. Selayaknya kita isi dengan sesuatu yang lebih terpuji.Â
Memang tidak semua daerah seperti itu, hanya tidak bisa dipungkiri, kini betapa banyak perayaan kemerdekaan HUT RI yang diisi dengan acara yang terlampau merdeka tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Perayaan kemerdekaan kini, begitu jauh berbeda dengan yang dirasakan semasa kecil dulu, ketika masih selalu ikut partisipasi di desa tempat kelahiranku.Â
Kemeriahan hari kemerdekaan betul-betul diisi dengan kegiatan yang positif. Walaupun bersifat menghibur, itu hanya sebatas perlombaan-perlombaan yang melibatkan banyak orang. Memancing warga untuk berkumpul di lapangan. Menonton tim kesayangannya bertanding mewakili dusun mereka.
Sama sekali tidak ada perempuan berbaju seksi yang menari di atas panggung, mengundang syahwat. Tidak joget-joget dan saweran, tidak ada arak-arakan yang pelakunya bebas mengeluarkan kata-kata kotor, dan tidak pula ada kegiatan yang tidak mendidik.
Dulu, saat mengumpulkan warga cukup dengan pengumuman pengeras suara di masjid desa, perlombaan kemerdekaan betul-betul menyisipkan sikap nasionalis. Melatih kekompakan dan sportivitas. Perlombaan yang disajikan panitia HUT RI berupa berbagai perlombaan olahraga, lomba baris-berbaris, lomba masak per regu, lomba adzan dan hafalan al Quran, lomba kampung terbersih, lomba gapura terunik, lomba lomba paduan suara, hingga lomba menampilkan drama kemerdekaan pun digelar pada malam puncak 17an. Warga berbondong-bondong ke balai pertemuan di hari kemerdekaan.Â
Pagi hari, pada tanggal 17 Agustus, warga mendatangi tanah lapang, melakukan upacara. Berbaris rapi, komandan pasukan pun dipersiapkan seminggu sebelum upacara, latihan serius untuk menyiapkan pasukan. Berlatih suara  lantang, agar mantap saat memberi komando. Membuat barisan dusun-nya menjadi pasukan paling rapi saat upacara. Pandel nama dusun pun dibuat sedemikian rupa. Pasukan paling rapi, mendapat hadiah dari Kepala Desa yang bertindak sebagai inspektur upacara.
Saat upacara, pedagang bersedia berdiri di dekat lapaknya. Mengikuti prosesi upacara sampai selesai. Detik-detik proklamasi pun ditunggu tepat pukul 10. Beberapa kali gladi upacara dilakukan demi agar bisa pas pukul 10 detik-detik proklamasi. Ketika itu, sirine dibunyikan, dentum petasan menggelegar, lagu nasional "Hari Merdeka" pun dinyanyikan. Disusul lagu-lagu nasional bernada semangat lainnya dengan penuh sukacita. Saat itu, seluruh yang hadir di lapangan merasakan bahagia, inilah negeriku, negeri yang merdeka.Â
Hanya beristirahat saat sholat dan jam makan, sore hari saya dan kawan-kawan sudah harus bersiap menuju aula. Sebuah gor serba guna di sebelah kantor kepala desa. Berbekal kostum untuk tampil drama di hadapan warga sedesa.Â
Kami tampil, ditonton, sekaligus melihat utusan dusun lain tampil dan kami menonton pertunjukkan mereka dengan perasaan bangga. Desaku hebat, desaku keren!
Beberapa tampilan drama di atas panggung, menghasilkan banyak efek tawa ketika tampilan drama dibuat menjadi kabaret yang lucu. Ada yang mengundang air mata, ketika menampilkan sebuah perjuangan dari seorang pahlawan yang harus gugur di medan perang. Ada pula yang menjadi haru biru, ketika drama yang ditampilkan berkisah seorang pemuda yang susah payah mengajak kawan-kawan meneruskan perjuangan mengisi kemerdekaan.
Alangkah hebatnya suasana seperti itu. Kemudian hilang bersamaan kepindahan ke perantauan. Sekolah, kuliah, menikah, lalu menetap di tempat yang dijuluki kota.
Kabar-kabar tentang kegiatan di desa masih didapat ketika adik-adik mengirim foto lewat pesan WA di grup keluarga. Perasaan rindu tak tertahankan.
Ingin rasanya kembali ke sana. Ikut dalam pasukan warga yang masih menjunjung nasionalisme. Warga yang rela meninggalkan sawah dan ladang demi latihan menyanyikan lagu gugur bunga untuk lomba.Â
Rindu suasana latihan baris berbaris yang ketika latihan selalu salah balik kanan, dan ketika lomba mendadak kompak semua.Â
Negeriku Indonesia, andai semuanya masih mau menjaga cara-cara memperingati hari kemerdekaan yang masih menjunjung sikap nasionalis dan sportivitas murni, betapa indah dan damainya negeriku ini.
Akhirnya, rindu tinggal lah rindu, tahun ini terpaksa masih menikmati HUT RI di perantauan dengan tontonan dan kegiatan yang terasa terlampau merdeka tanpa memaknai perjuangan pahlawan masa lampau. Sambil berdoa, semoga tahun depan lebih baik lagi. Jayalah negriku, jayalah Indonesiaku. Aamiin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H