Padamnya listrik di hampir setengah Pulau Jawa cukup menimbulkan kerugian yang besar pada berbagai sektor perekonomian tentunya. Tidak hanya itu, padamnya aliran listrik yang mengakibatkan matinya jaringan seluler, menjadikan jutaan netizen mati gaya.Â
Di dunia ini, tidak terkecuali di Pulau Jawa, semua orang sudah sangat bergantung pada internet. Mati lampu tiga jam saja sudah menimbulkan kepanikan.Â
Listrik mati, ibu-ibu tidak bisa menonton televisi, sinetron kesayangan pun terlewatkan. Sepanjang hari hanya rebahan. Karena mau mencuci, mesin tidak beroperasi. Apalagi menanak nasi, mana bisa mejikom nyala tanpa aliran listrik. Akibatnya membeli menu jadi di warung nasi, bahkan menggunakan jasa delivery demi mendapatkan makanan siap saji.
Anak muda, yang hobinya berselancar di dunia maya mengeluh. Baterai HP-nya tinggal 10%. Powerbank habis lupa dicarger. Laptop pun ikut mati sisa dipakai internetan. Berbagai status berjenis 'kegabutan' ditulis di berbagai akun media sosial.Â
Betapa parahnya ketergantungan kita terhadap jaringan seluler. Besar sekali pengaruh listrik dalam kehidupan zaman sekarang. Padam sebentar saja menghujat petugas PLN. Padahal, tidak tahu persis duduk permasalahannya seperti apa.Â
Coba sejenak duduk dengan tenang. Temui kakek dan nenek kita. Â Dengarkanlah cerita mereka. Zaman dahulu itu lebih menyenangkan. Dimana penggunaan listrik itu menjadi hal yang istimewa. Penggunaannya pun benar-benar dijaga karena tanggung jawab mereka sebagai warga kepada negara. Menggunakan energi dengan sangat bijaksana. Lampu menyala hanya saat malam tiba. Kemudian segera padam jika sudah kembali ada cahaya.Â
Sekarang, manusia menggunakan semua fasilitas dengan seenaknya, tanpa mau belajar cara menjaga dan memelihara ketahanan energi itu sendiri. Menjaga tidak, gangguan sebentar, mengeluhnya di mana-mana.
Tanyakan pada oma dan opa kita, seberapa paniknya mereka ketika lampu-lampu padam? Bukan mengeluh, mereka justru berhambur keluar rumah. Bercengkrama dengan tetangga. Membicarakan apapun, karena silaturahmi secara langsung lebih mengikat dan menyenangkan. Tidak seperti sekarang, berdekatan saja masih sibuk dengan ponsel pintar masing-masing.Â
Jika lampu padam malam hari. Menikmati langit malam adalah pilihan tepat. Bercanda dengan keluarga di teras rumah lebih mengasyikan sambil minum kopi dan makan berbagai kudapan. Kalau sudah terlalu larut, terlelap di balik selimut semakin nyenyak. Damai hingga mentari menyapa. Terang, tanpa perlu cahaya lampu lagi di siang hari.
Ibu-ibu memasak dan menanak nasi di atas bara api tungku-tungku mereka. Kayu bakar menjadi andalan. Nasi pulen tetap matang dan lezat. Sekarang? Perempuan-perempuan sudah tidak tahu lagi caranya menanak nasi secara manual. Jangankan di tungku. Di atas kompor gas saja sudah malas melakukannya, karena memang alatnya tidak tersedia di dapur mereka.Â
Meskipun demikian, mati lampu janganlah dijadikan masalah apalagi terus menerus menyalahkan. Mari bersabar, percayakan semua pada yang memang berwenang dan ahli dalam bidangnya.Â
Mati lampu sebaiknya tidak dijadikan alasan mati gaya. Masih banyak cara mengisi waktu luang tanpa aliran listrik, yang jauh lebih bermanfaat daripada sekadar mengeluhkan sesuatu yang memang sudah terjadi, mau diapakan lagi? Tunggu saja sampai semua normal kembali.
Mati listrik, mungkin ini adalah teguran. Kini saatnya keluar, temui tetangga dan orang-orang yang selama ini kita abaikan. Sejauh ini kita nyaris anti sosial karena terlalu sibuk di media sosial.
Jadi, jangan lagi mati gaya ketika mati lampu. Mari sejenak kembali ke masa tanpa gadget. Silaturahmi lebih dekat di dunia yang lebih nyata.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H