Setahun kemudian kalian menikah. Dan kini Kau sudah memiliki anak, buah pernikahanmu. Memiliki anak berarti Kau sudah menikmati kehidupan rumah tanggamu. Namun kenapa, hati ini belum juga bisa menerima. Aku masih saja cemburu. Karena aku tahu, sampai kini di hatimu juga ada aku.
Diam-diam aku selalu berharap ada keajaiban yang membuatmu menjadi milikku, tanpa harus melakukan tindakan apa-apa. Selama ini aku yang terus mendoakan kebahagiaanmu, semua yang terbaik untukmu, untukku.Â
Aku tak lagi berani menyengaja menghubungimu. Walau terkadang jari ini sangat ingin melakukannya. Ingin rasanya mengetik beberapa kalimat bahwa aku masih selalu mengharapkanmu. Apalagi ketika Kau mengirim pesan bahwa katanya Kau rindu, dan betapa menderitanya ketika harus serumah dengan orang yang tidak Kau cintai. Ah, hanya kepura-puraan yang bisa aku beri. Aku membalas pesanmu dengan memintamu tetap setia kepada istrimu.Â
Tahukah Kau. Kali itu ingin rasanya aku katakan, "sebaiknya kalian berpisah saja dan hiduplah bersamaku" namun kalimat itu aku tahan kuat-kuat. Aku bukan siapa-siapa. Aku tak mau menjadi benalu dalam pernikahnmu.
Gerimis masih membasahi bumi dengan perlahan. Tak terasa, gerimis pun muncul di kedua mataku. Erza, sungguh sore ini aku rindu.Â
Senja turun. Udara makin dingin. Â Daun pintu diketuk seseorang. Adikku berteriak mengajak turun ke lantai bawah. Ayah dan ibu sudah kembali membawakan makanan hangat. Aku bergegas. Menyeka air mata.Â
Kutitupkan cerita pada senja yang basah. Kulipat sejengkal doa. Yang selalu kupanjatkan dengan penuh rasa dan permohonan. Semoga suatu saat Tuhan bisa membuat jalan yang terbaik. Untuk aku dan kamu saling membahagiakan.Â
Selamat sore, Erza.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H