Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Erza (Cinta Kita Belum Sampai)

11 Maret 2019   16:59 Diperbarui: 12 Maret 2019   05:33 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan turun lagi untuk kesekian kali. Sejak pagi memang cuaca tidak begitu bersahabat. Hujan reda. Tak lama kemudian turun lagi. Beberapa orang beraktivitas di luar, lalu gerimis datang menyelimuti hari hingga saat ini. 

Aku diam, mengunci pintu di kamar sendiri. Sengaja ingin menyendiri. Memandangi rintik hujan dari jendela rasanya lebih menyenangkan daripada kedatangan seseorang ke kamarku. 

Ayah dan ibuku sedang pergi ke rumah saudara. Tinggalah adikku yang sepertinya dia pun sudah tenggelam dalam keasyikannya sendiri di kamarnya. Main game kesayangan atau chatting dengan teman-teman satu ganknya. Ah, entah. Aku tidak mau tahu. Yang pasti aku harus mengunci pintu rapat-rapat. Pura-pura tertidur pulas. Karena bisa saja dia mengetuk pintu. Dia selalu menemukan cara untuk menganggu kakak perempuannya. Entah itu berpura-pura meminjam gunting kuku, merayu meminta dibuatkan mie instan, atau meminta pendapat tentang perempuan yang sedang didekatinya. Dia senang mengangguku, mengacak-acak kamar, tiba-tiba tertidur pulas di tempat tidurku sepulang sekolah. Adikku anak SMA. Dia lelaki jail yang aku sayang. Walaupun menjengkelkan, aku selalu bisa membiarkannya menggangguku. Namun tidak sore ini. Aku sedang ingin sendiri. 

Aku berbaring di kasurku yang empuk. Udara dingin menyelusup lewat pori jendela. Ingin rasanya membuat kopi panas atau menyantap pisang goreng yang bisa kubeli di tingungan jalan. Ah, tapi aku benar-benar sedang tidak bernafsu untuk melakukannya. 

Mataku memandangi langit-langit yang putih. Mencoba menemukan sesuatu. Satu hal yang selama ini selalu aku cari dan tidak pernah aku temukan. Adapun ketika aku menemukannya, logikaku selalu menolak. Bahwa bukan, bukanlah itu alasannya. 

Aku jadi teringat cerita adikku tempo hari. Dia bilang melihatmu sedang berjalan dengan keluargamu. Istrimu cantik, anakmu juga sangat lucu. Adikku yang tahu bahwa kakaknya naksir sama kamu selalu membawa cerita demi cerita dengan bumbu hiperbola. Seolah sengaja membuatku semakin terpuruk dan mati dibakar api cemburu. Atau bahkan dia sengaja hendak menyadarkan kakaknya untuk tidak lagi memupuk rasa kepada lelaki yang sudah berkeluarga. 

Alasan itu yang selalu aku cari. Mengapa aku begitu mencintaimu. Padahal tahu jika kamu sudah bersama orang lain yang lebih berhak kamu jaga. Aku ini siapa. Hanyalah orang yang Kau bilang mirip dengan seseorang yang Kau cintai di masa lalu. Kau bilang, aku adalah semangat hidup karena sejak dulu Kau ingin menikahi orang yang Kau cinta. Bukan dia yang sekarang menjadi istrimu. Dia adalah jodoh yang disiapkan orang tuamu karena alasan kelangsungan perusahaan keluarga. 

Miris memang. Ketika Kau harus menjadi tameng. Menjadi korban dari keserakahan orang tuamu dan teman dekatnya itu. Merasa bahwa keduanya saling ketergantungan, saling mendukung kemajuan akhirnya Kau dan dia harus menikah tanpa dasar cinta. 

Ah, tapi lebih miris aku. Kau datang padaku membawa cerita itu. Setahun sebelum kalian menikah, kamu bercerita sebagai kakak. Aku pun demikian. Niat mendengarkan ceritamu pada awalnya adalah hanya ingin membiarkan teman masa kecilku bisa merasa tenang. Menjadi temanmu bercerita aku sudah sangat senang. 

Namun, ketika kemudian Kau menyatakan bahwa Kau mulai nyaman denganku, karena aku benar-benar membuatmu merasa berada di sisi kekasihmu yang memilih pergi, aku bisa apa. Aku hanya mirip kekasihmu. Dan kalaupun Kau mulai tulus padaku saat itu, perasaan yang Kau nyatakan bercampur kabar bahwa Kau akan segera melangsungkan pertunangan dengan dia yang dijodohkan oleh orang tuamu. 

Entah aku harus bahagia atau bersedih saat itu. Aku bahagia akhirnya aku tidak bertepuk sebelah tangan. Namun kabar pertunangan itu benar-benar memukulku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun