Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cokro

17 Oktober 2018   21:19 Diperbarui: 18 Oktober 2018   00:11 1707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lupakan sosok Haji Sukaryo. Kita ceritakan kembali soal anaknya Cokro. Hidupnya yang semakin tua semakin rakus harta. Semakin haus kekuasaan dan jabatan. Konon, ia adalah mantan seorang pegawai pemerintah. 

Ketika memiliki jabatan itu ia seolah memiliki taring yang tajam, bebas menerkam setiap siapa saja yang berani melawannya. Tidak sedikit karyawan yang mengundukan diri diam-diam hanya untuk menemukan ketenangan batin. Karena bekerja bersama Cokro itu sama artinya dengan tinggal di kandang macan. Setiap hari harus siap menjadi mangsa empuknya. Menjadi bawahan Cokro, hanya dijadikan alas kaki, diinjak dan dihina.

**

Suatu senja yang dingin, hujan deras mengguyur kota Mojokerto. Cokro masih memimpin rapat besar perusahaan. Beberapa karyawan sudah terlihat gelisah. Berbagai cara dilakukan mereka untuk membuang penat akibat mendengarkan ocehan Cokro. 

Sebuah pidato panjang yang tidak habis dalam waktu dua jam. Paparan panjang tentang kedisiplinan kerja, kewajiban karyawan, larangan membolos, dan sisanya adalah bercerita tentang keinginan dan mimpinya tentang perusahaan keluarga yang kini dipimpinnya.

Macam-macam kegiatan yang dilakukan para peserta rapat. Mulai dari mengamati gerak jarum jam di dinding, menengok arloji setiap lima menit sekali, atau memandang ke arah jendela mengamati hujan deras yang tidak segera berhenti. Ada pula yang terpaksa manggut-manggut pura-pura paham dan sepakat dengan apa yang dikatakan sang penguasa karena posisi duduk mereka tepat berada di hadapan dimana Cokro duduk di singgasananya.

Ia begitu puas mencak-mencak di hadapan bawahannya, ketika tiba-tiba bahasan mengerucut kepada bahasan tentang karyawan yang sering terlambat masuk kerja. Bahasa yang ia gunakan pun begitu kasar. Bahkan nama-nama binatang pun bisa diabsennya oleh mulut berkumis baplang itu. 

Ia tak peduli kepada perut-perut karyawannya yang lapar belum makan sedari siang. Ia juga tidak peduli jika keluarga para karyawan menunggu mereka di rumah. Baginya belum puas jika belum mengevaluasi kinerja. Tepatnya,  mencari-cari kesalahan orang lain.

Pembicaraan panjang itu sampailah kepada bahasan yang paling menyakitkan bagi semua orang. Cokro sambil tertawa terbahak, berkata tentang karyawan yang paling setia yang baru saja meninggal sehari yang lalu. 

Pak Turno, namanya. Ia adalah pegawai yang paling bertahan lama bekerja di sana. Semenjak perusahaan itu berdiri sampai sore kemarin ia adalah karyawan yang paling setia.  Usianya sudah senja. Sudah menginjak angka 75 tahun. Namun Cokro tidak pernah mengizinkan karyawan yang sudah tua itu berhenti dari pekerjaannya. Dengan alasan masih membutuhkan karyawan yang rajin bekerja.

Sampai kejadian itupun terjadi. Kemarin sore pak Turno harus membetulkan listrik yang mati. Padahal jelas, itu bukan menjadi kewajibannya. Namun bukan pak Turno namanya jika ia tak peduli dengan lingkungan perusahaan. Karena baginya dari sanalah ia mendapatkan penghidupan selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun