Mohon tunggu...
Dian Suryaningsih Kusumawardani
Dian Suryaningsih Kusumawardani Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswi semester 8 program studi perikanan Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran, Jatinangor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Pemerintah terhadap Penyadapan Australia, Bukti Kelemahan Indonesia di Hadapan Imperialis Asing

28 November 2013   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik



Beberapa pekan lalu tersiar kabar di berbagai media massa tentang isu penyadapan yang dilakukan oleh aparat intelijen dua negara adidaya, yaitu AS dan Australia terhadap beberapa pejabat tinggi di negeri ini –termasuk SBY dan Ani Yudhoyono. Publik sempat dibuat terkejut dan geram atas kejadian yang sebenarnya tidak dapat dikatakan baru, namun tentunya amat mencederai kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, hal yang lebih mencengangkan adalah penyikapan Presiden SBY terhadap aktivitas penyadapan yang telah sejak lama dilakukan oleh Australia dengan hanya berupa tujuh kalimat kicauan yang menghiasi time line akun twitter-nya. Memang tweet-tweet yang diunggah oleh SBY sangat menunjukkan ekspresi ketidaksukaannya terhadap tindakan penyadapan oleh Australia. SBY pun memerintahkan kepada Menlu Marty Natalegawa untuk menarik Dubes RI dari Australia sebagai bentuk pemberian sanksi tegas atas hubungan diplomatik yang ‘tak sehat’.

Akan tetapi, apakah sikap SBY itu mampu membuat Australia merasa tertekan dan terancam akan hubungan bilateralnya dengan Indonesia? Lantas, bagaimana sikap SBY terhadap isu penyadapan yang juga dilakukan oleh AS? Ternyata penyikapan terhadap AS jauh lebih bersahabat, karena nyaris tidak terdengar oleh publik, tindakan tegas apa yang telah SBY lakukan untuk memberikan sanksi kepada pihak negara yang melakukan penyadapan tersebut, mungkin yang ada hanya wacana pengecaman, kekecewaan dan lain sebagainya, tentu tanpa disertai tindakan nyata dari sang penguasa.

Sikap Lemah dari Penguasa

Apabila kita mengamati lebih dalam terkait sikap yang ditunjukkan Presiden SBY selaku orang nomor satu di negeri ini terhadap tindakan penyadapan yang dilakukan oleh dua negara yang selama ini selalu dianggap ‘bersahabat’ dengan Indonesia, tentu kita akan menyadari bahwa penyikapan tersebut sangat jauh dari kata tegas apalagi hingga mampu mengancam hubungan diplomatik dengan Australia maupun AS. Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa isu-isu mengenai adanya indikasi aktivitas penyadapan yang secara kontinyu dilakukan oleh para intelijen dari kedua negara tersebut bukanlah hal baru. Bahkan secara terang-terangan, AS dan Australia mengakui aktivitas ilegal tersebut sebagai bentuk pertahanan negeri mereka dari negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dan menjalin kesepakatan tertentu dengan mereka.

Sebagai bukti, Sydney Morning Herald, sebuah harian di Australia pada (31/10/13) mengutip buku harian seorang diplomat Australian Defence Signals Bureau (Biro Sinyal Pertahanan Australia), yang sekarang bernama DSD (Defence Signals Directorate), bahwa kabel diplomatik Indonesia dibaca secara rutin oleh intelijen Australia sejak pertengahan tahun 1950-an dan seterusnya. Disebutkan, aksi itu dilakukan bekerjasama dengan intelijen Inggris MI6, Pusat Kantor Komunikasi Pemerintahan dan secara lebih intensif dengan National Security Agency (NSA) AS. Jaringan media Fairfax jugamengungkap aksi penyadapan terhadap Presiden SBY saat hadir di KTT G20 di London beberapa bulan lalu.

Selain itu, Majalah Jerman, Der Spiegel (29/10), melansir sebuah peta rahasia berisi 90 daftar fasilitas pengintaian di seluruh dunia, termasuk fasilitas intelijen komunikasi kedubes di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon. Disebutkan, satuan tugas bersama yang terdiri dari dinas intelijen AS, CIA dan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) bernama “Special Collection Service” melakukan sweeping operasi pengawasan serta operasi rahasia terhadap target intelijen khusus. Dokumen rahasia NSA yang dimuat Der Spiegel jelas-jelas menyebut Direktorat Sinyal Pertahanan Australia (Defence Signals Directorate – DSD) mengoperasikan fasilitas program STATEROOM. Yaitu nama sandi program penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet oleh AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”FVEY” –Five Eye/Lima Mata-, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Disebutkan, DSD mengoperasikan program itu di fasilitas-fasilitas diplomatik Australia termasuk kantor Kedubes Australia yang ada di Jl. HR. Rasuna Said, Kuningan Jakarta.

Berbagai fakta yang disebutkan di atas seharusnya cukup menjadi bukti bahwa AS dan Australia bukanlah negara sahabat bagi Indonesia, bahkan semestinya pemerintah Indonesia mampu bersikap lebih tegas dalam menghadapi tindakan penyadapan yang selama ini dilakukan oleh negara-negara tersebut tanpa rasa bersalah. Akan tetapi, justru sebaliknya, SBY malah terkesan menutup-nutupi fakta penyadapan oleh AS dan Australia, dan baru akhirnya bersikap ‘tegas’ setelah mengetahui bahwa keluarganya pun turut menjadi objek penyadapan oleh Australia, berselang 2 minggu dari terungkapnya fakta tersebut di media massa. Sejumlah media asing pada Senin (18/11/2013) melaporkan bahwa badan mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ani Yudhoyono istrinya, dan sejumlah menteri dalam kabinet SBY. Laporan itu didasarkan pada sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan mantan agen National Security Agency (NSA) AS, Edward Snowden. Dokumen yang dikategorikan “top secret” ini dibuat oleh the Defence Signals Directorate (DSD) untuk menunjukkan sejauh mana penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Pemerintah Indonesia.

Sebagai bentuk respon yang terlambat, Presiden menginstruksikan Menlu Marty Natalegawa untuk memanggil pulang Dubes RI dari Canberra, Australia. Pemanggilan Dubes RI tersebut sebagai tindakan tegas Pemerintah Indonesia untuk memperingatkan Australia. Menlu Marty menyatakan (Senin, 18/11), “Indonesia memanggil pulang Dubes di Canberra untuk konsultasi. Ini tidak bisa dianggap ringan. Pemanggilan itu menunjukkan sikap tegas dan terukur Pemerintah Indonesia.”Esok paginya Selasa (19/11/2013), Dubes RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema meninggalkan Canberra. Dalam pesan kepada staf kedutaan, Nadjib memastikan semua kerja sama Indonesia dengan Autralia, kecuali di bidang politik dan pertahanan, tetap berjalan normal (kompas.com, 19/11). Respon yang sangat lambat tersebut menunjukkan kelemahan posisi Indonesia di hadapan negara-negara barat dan juga memperlihatkan keegoisan dari penguasa negeri ini, mengingat SBY tidak segeram seperti ketika menanggapi pernyataan mantan presiden PKS, LHI dalam persidangannya yang menyebutkan kedekatan SBY dengan sosok Bunda Putri.

Bagaimana Seharusnya Menyikapi?

Tentu untuk dapat menentukan sikap yang tepat terhadap hubungan diplomatik sebuah negara, seorang pemimpin negara perlu menentukan status dari negara lain yang ingin bekerjasama dengan negaranya. Tidak semua negara dapat dianggap dan diperlakukan sebagai sahabat, jika pada kenyataannya memang negara-negara tersebut tidak bersikap layaknya seorang sahabat. Kita dapat melihat hal itu pada dua negara adidaya yang selama ini dianggap ‘sahabat’ oleh SBY, yaitu AS dan Australia. Tampaknya pemerintah Indonesia belum dapat membedakan perlakuan terhadap negara yang betul-betul bersahabat dengan negara yang akhirnya hanya berpura-pura menjadi ‘sahabat’ agar dapat mengeruk segala potensi dari Indonesia.

Apa yang dilakukan selama ini oleh Australia terhadap Indonesia jelas menunjukkan bahwasannya Australia adalah musuh yang nyata, bahkan hanya ingin memanfaatkan potensi Indonesia dan menguasainya. Selain aktivitas penyadapan yang secara kontinyu dilakukan oleh Australia, selama ini Australia telah berkali-kali campur tangan urusan domestik RI dan bersikap lebih superior terhadap Indonesia. Australia dulu menjadi sponsor utama bahkan “pemicu” lepasnya Timor Timur. Sebagian politisinya jelas-jelas mendukung Papua Merdeka. Pada tahun 2006, Australia memberikan suaka kepada 42 orang aktivis kemerdekaan Papua. Australia juga “campur tangan” dalam program kontra terorisme. Beberapa bulan lalu pemerintah Australia bersikap pongah tentang keinginannya menerapkan kebijakan “pulangkan perahu” menyikapi imigran gelap yang hendak masuk ke Australia. Meski semua itu, Pemerintah Australia tidak pernah merasa bersalah dan yakin tetap dianggap sahabat oleh pemerintah Indonesia, bahkan yakin hubungan Australia-RI akan tetap kuat dan erat (mesra).

Seharusnya, musuh tetap diposisikan sebagai musuh. Bukan sebaliknya, musuh dianggap teman apalagi sahabat. Allah SWT telah mengingatkan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu. Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (TQS Ali Imran [3]: 118)

Sebagai negeri muslim terbesar di dunia dengan segala potensi SDA yang melimpah, tidak sepatutnya Indonesia menunjukkan sikap lemahnya di hadapan negeri-negeri kufur. Allah swt. sudah dengan jelas melarang umat muslim untuk lemah terhadap para imperialis barat.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (TQS Ali Imran [3]: 139)

Namun, lagi-lagi Indonesia yang saat ini masih membebek pada sistem kapitalis ciptaan Barat tidak mampu menunjukkan permusuhannya secara tegas. Padahal sudah jelas, Barat yang tidak lebih dari sekedar penjajah selalu berupaya mengeksploitasi SDA dari Indonesia dan juga menghancurkan moral bangsa ini dengan invansi budaya asing yang gencar mereka lakukan. Sudah seharusnya masyarakat Indonesia dan penguasanya menyadari akan bobroknya sistem demokrasi-kapitalis yang diusung oleh negara-negara barat seperti AS, Eropa dan Australia serta ingin segera menggantinya dengan satu-satunya sistem yang sempurna, yaitu sistem Islam. Sistem Islam yang berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah tentu dapat memberikan solusi terbaik bagi seluruh problematika umat, karena bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui, Allah Azza Wa Jalla. Dan Islam tidak dapat diterapkan secara total kecuali pada institusi yang mau menerapkannya, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Wallahu ‘alam bish shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun