Mohon tunggu...
Dian Novanda Ramadhani
Dian Novanda Ramadhani Mohon Tunggu... Lainnya - S1 Farmasi, Fak. Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang

Mahasiswa angkatan 2020 Fikes UMM jurusan Farmasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masa Depan yang Mengerikan

20 Januari 2021   19:10 Diperbarui: 20 Januari 2021   21:33 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul buku: The Uninhabitable Earth (Edisi Indonesia)

Penulis : David Wallace-Wells

Kota terbit  : Jakarta

Tahun terbit: 2019

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Pereviu : Dian Novanda Ramadhani (Mahasiswa UMM Fak. Ilmu Kesehatan Jurusan S1-Farmasi)

David Wallace-Wells merupakan seorang jurnalis yang mengabdi untuk New York Times dan seorang penulis di The Guardian. David sempat menggemparkan New York dengan artikel yang ia terbitkan yang berjudul sama. David yang peduli terhadap masa depan bumi,melakukan penelitian sebelum menulis artikelnya di New York Times. 

Artikel tersebut,menjadi perbincangan hangat saat ini dikarenakan setelah peperangan dunia,tidak ada yang pernah membahas tentang kelangsungan hidup bumi. Kemudian,David Wallace-Wells mengadakan penelitian lanjutan dengan berkolaborasi sehingga terbitlah buku “Bumi yang Tak Dapat Dihuni” berbasis dari artikel yang David Wallace-Wells tulis.

“Masa depan yang lebih buruk,jauh lebih buruk dari yang dipikirkan,” demikian kalimat pertama David Wallace-Wells dalam buku ini. Hal ini bukan semata-mata persoalan naiknya air laut. Ada yang lebih parah dari itu,dan itu jelas terlihat. Apa yang dikisahkan Wallace-Wells dalam buku yang telah diganjar sebagai buku laris New York Times ini pasti bukan sekumpulan kisah fiksi ilmiah tentang perubahan iklim. Latar kisahnya pun terjadi di berbagai negara, bukan di benua yang tak berpenghuni di Artika sana.

Dalam Unsur-unsur Kekacauan (Element of Chaos),  David Wallace-Wells menggambarkan bencana mengerikan yang telah siap menanti: kekeringan hebat, panas yang mematikan, banjir bandang, kelaparan, kebakaran hutan, udara yang tak bisa dihirup dikarenakan polusi yang pekat, wabah purba yang mungkin tersimpan di es, perang, hancurnya ekonomi, hingga migrasi besar-besaran. 

Seberapa pun tidak nyaman dan melelahkan membaca berbagai kisah yang disajikannya, tetapi itulah yang sedang terjadi. Ya, inconvenient truth. David Wallece-Wells menuliskan fakta tersebut dikarenakan banyak orang yang masih menutup mata akan dampak lingkungan yang akan terjadi di masa yang mendatang.

David Wallece-Wells mengungkapkan keprihatinannya ketika ayahnya yang bercerita tentang pengeboman Pearl Harbour yang dilakukan Jepang. David beranggapan rusaknya lingkungan disebabkan oleh individu yang tamak yang dengan semena-mena menebang pohon,membakarnya untuk menjadi arang,dan sebagainya. 

Kemudian timbal balik yang manusia berikan kepada lingkungannya yaitu dengan cara merusaknya kembali dengan skala penghancuran. Tetapi manusia tidak akan pernah memikirkan efek dari apa yang mereka lakukan. Limbah pengeboman tersebut mempengaruhi atmosfir kita yang mengandung banyak karbon yang menyebabkan bumi lebih panas dan tentu saja lebih gelap.

“Saya bukan pecinta lingkungan dan saya tidak pernah berpikir bahwa saya seorang pecinta alam,” David berkata demikian yang tentu mengejutkan kita. Bagaimana bisa seorang jurnalis mampu melakukan penelitian dan menuliskan tentang prediksi masa depan. Tentu saja David sadar dan membuka “hati” untuk mau melihat dampak yang mereka perbuat. 

Pemikiran seorang yang tidak egois dapat menyadarkannya dari hingar-bingar duniawi. Ketakutan David Wallace-Wells akan hancurnya  bumi ia dapatkan ketika ia melakukan penelitian tentang jurnal-jurnal laporan yang ia baca setiap hari mengenai perkembangan bencana alam yang ada di bumi.

Salah satu teori atau cetusan dari David yang menggemparkan New York yaitu tentang penyakit purba. Penyakit purba kemungkinan besar dapat tersimpan di dalam es. Mencairnya es di kutub atau di Antartika telah menyingkap banyak hal yang belum pernah diteliti oleh manusia. Selain menjadi pencatat iklim,es juga menjadi pembeku sejarah manusia. Terdapat banyak organisme yang tersimpan beku dalam es,bahkan yang belum pernah beredar lagi selama jutaan tahun. 

Ketika lapisan es raksasa itu meleleh,persis saat itulah tersingkap berbagai organisme yang belum pernah tercatat dalam sejarah manusia. Organisme beku itu mungkin tidak semuanya mematikan. Namun, di Alaska, para peneliti telah menemukan sisa-sisa flu 1918 yang menulari sampai 500 juta orang, yang kala itu menewaskan sampai 50 juta orang. Siapa pula yang menduga pada 2016, seorang anak laki-laki meninggal dan dua puluh orang lain tertular antraks ketika es abadi yang meleleh mengungkap bangkai rusa kutub yang mati karena bakteri yang tersimpan sejak tujuh puluh lima tahun lalu.

Bangkitnya berbagai potensi wabah purba itu jelas bukan dongeng. Jika itu yang terjadi, bagaimana sistem imun tubuh manusia dapat menangkalnya? Itu perkara besar yang saat ini belum terpecahkan. Hari-hari ini dunia kita mengalami sendiri bagaimana pandemi Covid-19 telah melumpuhkan lebih dari seratus negara dan merenggut lebih dari dua ratus ribu nyawa. 

Lebih mencemaskan lagi, virus itu terus berpindah tempat, berubah, dan mengalami evolusi lanjutan karena perubahan iklim. Dengan pola mobilisasi manusia milenium ketiga, apa pun dapat dengan cepat menyebar dengan tak terkendali, termasuk berbagai wabah yang belum pernah muncul teridintifikasi. Barangkali ada begitu banyak wabah purba yang akan tetap menjadi tanda tanya, dan pemanasan iklim ini akan menguak beberapa misteri itu.

Buku ini sangat tepat jika dijadikan sebagai pengingat manusia untuk lebih menjaga lingkungan. Dalam salah satu komentarnya yangberedar di internet, The Economist menulis, “Buku ini berkisah tentang kemungkinan masa depan yang mengkhawatirkan. Wallace-Wells sangat cemas, dan juga seharusnya Anda.” 

Sebagai penulis dan deputi editor majalah New York, Wallace-Wells tampak cukup paham bahwa persoalan perubahan iklim pasti tidak berdiri sendiri. Itulah yang kemudian membuat ia terlihat tidak terlalu banyak memberikan panduan apa yang seharusnya menjadi jalan keluar. Setelah semua potret tentang kiamat yang tertunda itu, apakah manusia bergeming? 

Perubahan iklim memang menjadi masalah sains yang paling kontroversial di abad ini, sebab dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya erat mengikuti. Namun, terlepas dari segala kontroversinya, tidak ada alasan untuk tidak bertindak jika manusia ingin tetap tingal di bumi. Tentu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh dalam skala sekecil apa pun.

Nama           : Dian Novanda Ramadhani

Asal               : Jember, Jawa Timur

Pendidikan : Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan S1 Farmasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun