Mohon tunggu...
Dian Purnomo
Dian Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dian Purnomo

Berisi tentang berbagai peristiwa sejarah dan humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilik Praktik Perbudakan di Batavia Ada Masa Kolonial Abad XVII

14 Juni 2021   06:33 Diperbarui: 14 Juni 2021   07:18 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehidupan daerah kolonial dengan beranekaragam kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh keinginan Kolonial VOC dalam membentuk serta membangun sebuah daerah kekuasaannya tidak terlepas dari peran masyarakat yang sudah ada kala itu. Pada awalnya pemerintah membuat peraturan yang membolehkan diberlakukannya perbudakan sebagai sarana untuk membantu masyarakat Eropa yang pada tahun 1619 yakni tahun dimana Kota Batavia itu didirikan jumlah masyarakat Eropa yang kala itu masih sangat sedikit. Didalam artikel ini saya berusaha ingin mengungkapkan praktik perbudakan yang pada saat itu marak terjadi di Batavia serta mengungkapkan faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan seseorang bisa dijadikan budak, dan seperti apa perlakuan majikan terhadap budaknya. 

Tentu semua ini dapat kita ketahui didalam catatan-catatan perjalanan bangsa kolonial dalam melakukan praktik kolonialismenya serta menghasilkan pembahasan turunan, yakni perbudakan. Saya berusaha untuk mengupasnya melalui pendekatan Ilmu Sosial Humaniora serta menggunakan sistem studi kepustakaan dalam mengungkap praktik perbudakan di Batavia pada masa kolonial abad XVII.

Pada awalnya masyarakat yang dijadikan budak oleh VOC ialah masyarakat dari Pantai Coromandel serta Malabar yang terletak di India. Tetapi kecenderungan pemerintah dalam membeli budak dari India bukanlah hal yang baru, sebab Portugis serta Spanyol telah lebih dulu dalam memperjual belikan budak asal India. Biasanya bangsa portugis menjual budaknya ke beberapa tempat seperti, Manila, Malaka, serta Sunda Kelapa. Walaupun demikian pihak pemerintah VOC menganggap bahwa budak yang berasal dari India merupakan sebuah pondasi penting bagi keberadaan wilayah Hindia Timur, hal ini terbukti bahwasanya pada tanggal 25 Desember 1623, kapal Nieuw Seelant merapat di Batavia, membawa sekitar 1000 budak dari pantai Coromandel, India Selatan yang merupakan kapal pengangkut budak pertama yang dimiliki oleh pemerintah VOC. 

Pada tahun 1624, tepatnya satu tahun kemudian dua kapal lain Het Wapen van Rotterdam dan Het Wapen van Enckhuysen memboyong 700 orang budak dari Pantai Coromandel. Selain itu VOC juga kerap membeli budak dari Benggali serta Arakan, hal ini terbukti melalui sebuah catatan yang berisi bahwa VOC berusaha membawanya ke Batavia, namun selama perjalanan jumlah budak yang selamat hanya sedikit, yakni dari 1.300 budak yang dibelinya hanya selamat sekitar 600-an yang selamat dan kebanyakan dari budak yang dibawanya meninggal dunia baik karena mabuk laut, kekurangan makanan, maupun karena perompakan yang terjadi di tengah samudra. Hal ini jelas membuat VOC mengalami sebuah kerugian yang sangat besar, sehingga banyak dari kalangan pembesar yang menganggap VOC merupakan agen penjualan budak terjelek di Eropa. 

Walaupun demikian usaha VOC dalam menggeluti pekerjaan memperdagangkan budak tidak berhenti sampai di situ saja, dan kerap kali VOC juga sangat memanfaatkan kondisi situasi politik di dunia seperti peperangan serta perebutan wilayah, hal ini memastikan bahwa daerah yang berhasil ditaklukan oleh suatu bangsa maka para tawanan perang serta korban kelaparan serta orang yang kehilangan mata pencahariannya kerap kali sering dijadikan sebagai budak. Ini terbukti dari suatu invansi tentara Mongol ke daerah India Selatan pada tahun 1688. Usaha VOC dalam mendapatkan budak asal India Selatan sebanyak 1.839 budak.

Tetapi pada masa berikutnya VOC tidak mau mengambil langkah yang terlalu beresiko dalam mengambil budak dari daerah yang jauh terutama untuk kepentingan membangun Kota  Batavia. Banyak diantara budak yang dibawa oleh VOC dari Malabar, Coromandel, Benggala, bahkan Afrika berakhir dengan kerugian dikarenakan banyaknya permasalahan didalam perjalanan kapal yang menelusuri laut, ancaman bahaya dari para perompak, serta pemberontakan budak di dalam kapal juga kerap terjadi yang jika demikian menimbulkan korban yang besar dari kalangan budak, sehingga budak yang selamat sampai ke kota tujuan seperti, Manila, Malaka, serta Batavia hanya sedikit. 

Para budak yang selamat biasanya dipekerjakan sebagai tukang kayu di galangan kapal, gudang-gudang penyimpanan rempah dan anggur, bengkel pertukangan, bahkan ada juga yang dijadikan sebagai regu penembak. Tetapi para budak tidak pernah puas dalam bekerja karena dibayangi dengan rasa takut serta keterpaksaan yang membuat para budak melarikan diri, menghilang, ataupun bunuh diri. Sebagaimana tercatat di dalam pengawas bangunanan pekerjaan umum yang menyatakan bahwa sekitar 1.420 budak menghilang dari catatan, baik perempuan maupun laki-laki. Bahkan selama kurun waktu 1664-1671 jumlah budak Kompeni menyusut dari 1.519 menjadi 1.008. 

Dari gambaran permasalahan yang disebutkan diatas dan untuk mengurangi kemungkinan kerugian yang dialami Kompeni, maka budak-budak didatangkan dari tempat yang tidak begitu jauh dari Batavia, yakni dari Bali, Makassar, Banda, serta Maluku. Budak-budak yang didatangkan oleh Kompeni merupakan para tawanan perang serta masyarakat sipil yang menjual dirinya karena dilanda kemiskinan. Pada tahun 1621 misalnya, atas saran Gubernur Jenderal J.P. Coen tentara Kompeni menyerang Pulau Banda dalam mengeruk kekayaan rempahnya, termasuk buah pala yang saat itu merupakan barang asli Kepulauan Banda. Setelah Kompeni berhasil menduduki pulau tersebut maka masyarakat Pulau Banda dikirim oleh pemerintah sebagai budak dalam membangun kantor utama perdagangan Kompeni di Hindia Timur tepatnya di Batavia.

Selain itu penaklukan Makassar yang dilakukannya dan diakhiri dengan perjanjian  Bongaya juga berdampak pada kondisi masyarakat Makassar dimana masyarakat yang kelaparan serta mengalami kemiskinan terpaksa menjual dirinya dan menjadi tawanan yang akhirnya dibawa oleh Kompeni ke Batavia sebagai budak. Di Bali pemerintah Kompeni membeli budak dari para bangsawan Bali yang dijualnya di pelabuhan-pelabuahan yang ada di Pulau Bali, mereka biasnya merupakan penganut Hindu dengan kasta atau stratifikasi sosial yang rendah (sudra). Dalam hubungannya dengan perbudakan di Bali tidak semua yang dijadikan budak hanyalah orang kelas bawah, banyak diantaranya tawanan-tawanan perang atau tawan karang adakalanya dari masyarakat golongan kasta atas Tetapi dalam praktiknya budak yang berasal dari kasta rendah lebih menderita dibandingkan budak dari golongan atas. 

Sebagian besar budak dimiliki oleh masyarakat Eropa di Batavia yang menjadikan mereka sebagai pengiring pada saat upacara pernikahan, peribadatan di gereja, bahkan sampai menjadi istri simpanan atau gundik. Orang yang paling kaya bahkan bisa memiliki budak hingga ratusan orang. Selain itu budak menjadi suatu tren pada masyarakat kolonial dikarenakan banyaknya permintaan akan budak baik dari kalangan orang Eropa dan Cina. Dalam pelelangan budak yang biasanya diadakan di pasar, diiklankan beragam budak yang memiliki keahlian khusus, semakin hebat serta banyaknya keahlian yang dapat dilakukan oleh seorang budak maka semakin mahal harga yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun