Mohon tunggu...
Dian Prilies
Dian Prilies Mohon Tunggu... -

Tidak susah mencari penyegaran hati dan pikiran...."Menulis saja"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wulan Oh Wulan

23 Mei 2012   11:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:55 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kekuatan

Matahari luar biasa terik hari ini, hampir tidak ada sisa kesejukan di setiap sudut kota. Sangat kompak dengan cuaca yang panas membara, manusia-manusia yang berseliweran juga semakin hyper aktif, berteriak-teriak, mencaci maki, mulai dari tukang becak, tukang ojek, tukang bentor, kasar berdebat rebutan penumpang, sungguh suasana semakin teramat panas, di perempatan, di sana, di depan salah satu mall besar di Makassar. Panas terik menjadi siksaan bagi orang-orang yang terbiasa beraktivitas di ruangan tertutup, bermesin pendingin, berfuniture bagus, pokoknya yang dirasakan sangat nyamanlah bagi golongan orang-orang yang anti panas matahari, maka beruntunglah produsen tabir surya atau sun screen dimana konsumennya adalah orang-orang yang memang sangat takut efek sinar langsung matahari. Berbanding terbalik dengan mereka-mereka yang memang sangat akrab dengan sengatan sinar matahari, langit adalah rumahnya entah itu di kala siang maupun malam.

Dia adalah Wulan, gadis berusia kurang lebih Sebelas Tahun, Pukul 13.00 di perempatan depan mall, asik memainkan bulu-bulu kemoceng, Nampak kesedihan di raut wajahnya, bulu kemoceng semakin lama semakin kurang jumlahnya, rontok setiap kali di gunakan, ujung jari telunjuknya memutar-mutarkan helai bulu kemoceng, memainkannya seperti berirama. Sudah banyak mobil yang lewat di biarkannya berlalu, padahal mobil-mobil itu adalah sumber penghasilannya dari hari ke hari, dia sudah lupa sejak kapan dia menjadi pembersih kaca mobil, kalau di tanya sejak kapan ada di jalanan? Maka ia akan menjawab sejak saya masih kecil, profesinya pun berganti-ganti, pernah menjadi pengamen, menjadi pengemis, menjual Koran, penyewaan payung, hampir semua sudah di lakoninya, dan sekarang dia memilih menjadi pembersih kaca mobil, alatnya Cuma satu yaitu kemoceng dan modal lainnya adalah kekuatan, kuat melawan terik matahari, kuat menahan rasa lapar, kuat menahan caci maki, kuat menahan sakit hati, kuat dan harus kuat. Dia menoleh, menyapu pandangannya di ujung putaran jalan, rupanya dia sedang mencari Nasir dan Agus, kedua orang adiknya, keduanya menjadi pengamen dan terkadang meminta – minta. Dia tersenyum, mungkin karena sudah merasa yakin bahwa adiknya baik-baik saja, minggu lalu ada kecelakaan yang menewaskan satu orang kawannya karena di sambar truk yang melintas cepat, dia tidak mau kedua adiknya mengalami hal yang sama. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tahu, orang memberikan recehan atau lembaran seribu atau dua ribu bukan karena jasanya yang sudah membersihkan kaca mobil, kadang dia malu hati karena bukannya bersih, malah kaca mobil semakin kotor akibat ulah kemoceng tuanya, tapi dia tetap menerima uangnya walaupun yang memberi kadang mengoceh, bahkan ada yang menanyakan “orangtuamu kok tega sih, membiarkan kamu di jalanan kayak begini?”, dia tahu persis, semua uang yang di dapat karena hasil penampakan wajahnya yang memelas, wajah kasihan, wajah memprihatinkan, bersyukurlah cukup banyak orang-orang yang berperasaan manis, yang menaruh rasa kasihan terhadap anak-anak seperti dia.

Dia masih duduk beralaskan sandal jepit,di atas trotoar pembatas jalur, perempatan di depan mall, tidak jauh dari tempatnya, duduk juga seorang perempuan, berusia sekitar Empat puluh Tahun, menggendong bayi berusia 9 bulan, Wulan menengadah menatap sang perempuan, sangat kentara pandangan itu penuh gejolak amarah, entah sudah berapa lama emosi itu terpendam, terkadang perasaannya ingin mendorong perempuan itu ke tengah jalan agar mati di tabrak, kadang timbul niat untuk mencekik lehernya sampai terengap-engap lalu mati mengenaskan, lihatlah caranya menggendong bayi yang nyata anaknya sendiri tanpa perasaan, selalu di cubit sampai memar, selalu di tampar mulutnya, kadang ditidurkan di tanah tanpa alas, sampai habis suara si bayi itu menangis karena disiksa, selalu begitu, tangisan sang bayi selalu menjadi sebuah alasan, lalu perempuan itu mengejar mobil mewah, mengetuk-ngetuk kaca depan dengan wajah di tekuk-tekuk memelas, minta uang karena anaknya butuh susu, setelah dapat uang, jangankan susu, air beras saja tidak diberinya. Begitu besar hasratnya, hasrat Wulan, untuk melenyapkan perempuan itu dari hadapannya, tapi apa mau di kata, perempuan itu adalah ibunya, bayi yang di gendongan itu adalah adiknya, adik kandungnya. Wulan memukul telapak tangannya dengan tangkai kemoceng, berulang-ulang, sampai meringis perih, berharap perih di telapak tangannya dapat menepis keperihan hatinya, perihnya menatap masa depan yang suram.

Waktu berputar, malam sudah genap menjemput siang untuk pulang, siang hendak berisitrirahat, matahari kini digantikan bulan untuk bertugas menjadi penerang. Wulan bersedekap, kemudian meraba dahinya sendiri, sangat hangat, sedari siang dia sudah merasa kalau badannya mulai menghangat, kepalanya pusing, mual dan ingin muntah, sudah sekuat daya dia berusaha melawan rasa sakit, berdoa agar sakit jangan menyerangnya, tapi sepertinya dia belum cukup kuat untuk bertahan, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, pelan-pelan, mulai cepat dan tambah cepat, mungkin begitulah caranya untuk mengusir rasa sakit, semakin cepat dan cepat.

“ hei Wulan kenapa ko! kau kira saya kasihan liat modelmu begitu? Dasar ko kurang kerjaan, bikin orang pusing saja”.

Perempuan itu menghardik, sambil mengangkat anak bayinya dari tanah, bukan di angkat dengan dekapan penuh rasa sayang, tapi di tariknya hanya dengan satu tangan, kemudian masuk dalam gendongannya, sang bayi tidak menangis, mungkin dia sudah lelah untuk menangis, sudah lelah berharap cinta, lelah dengan suara bising di jalan raya, lelah dengan teriakan sumpah serapah, lelah dengan hidupnya yang baru berumur Sembilan bulan, ya…bayi itu tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Wulan terdiam mendengar teriakan Ibunya, pandangannya kabur, titik-titik keabu-abuan memencar di pupil matanya, dia menutup mata, berusaha mengendalikan tubuhnya agar tidak jatuh,di gapainya batang pohon untuk bersandar, kemudian matanya membuka perlahan sampai akhirnya keseimbangannya pulih.

“mau ka pulang duluan bu, nda enak sekali badanku, besok saya ulangan”.

“apa? Enak sekali ko, baru jam delapan ini mau pulang mi, liat itu Nasir sama Agus masih kerja, masa ko kalah sama adikmu, coba ko hitung berapa mi ko dapat hari ini kah?”.

Nasir dan Agus, menoleh dan menghampiri Wulan ketika mendengar nama mereka di sebut. Nampak si Ibu semakin gusar.

“Nasir, Agus…kenapa kemari? Sana ko kerja lagi!”

Nasir dan Agus kedua bocah ingusan, Nasir lima tahun dan Agus Empat Tahun, keduanya menggelengkan kepala berbarengan.

“Cape bu, mau ka pulang”. Nasir memandang Agus, air matanya sudah menggantung “Kasian ki Agus Bu, dari siang belum makan, tadi saya minta – minta makanan nda ada yang mau kasih”. Nasir menoleh kea rah yang berlawanan mencari belas kasihan dari Wulan.

“Ada ji uangku ini lima ribu, ayo mi kita pulang, kita masak mie di rumah nah…” kakak beradik itu tersenyum lalu berangkulan, ada kehangatan di sana, kehangatan dari pribadi-pribadi mungil namun berjiwa besar, inilah sebagian dari generasi penerus bangsa, bahagia walau hanya makan sebungkus mie instan. Inilah dunia, dunia tempat kita berpijak, terdiri dari banyak jendela, setiap membuka satu jendela maka akan banyak kisah terkuak disana, membuka jendela yang lain, maka kisah yang lain juga akan terlihat di sana, sudahkah kita dengan sadar menguak keberadaan orang lain? Jangan-jangan kita sudah terlalu nyaman, memandang hanya dari satu jendela, jendela kita sendiri.

“eeeeeee…..nda nda, jam 10 pi baru ko pulang semua, Ibu mau pulang duluan ini, lihat adikmu busuk sekali mi badannya, itu Bapak sudah datang jemput”.

Nampak di seberang jalan, lelaki tua, kurus, lusuh, mengayuh becak di sisa-sisa tenaganya hari ini, perjalanannya pasti sangat jauh hari ini, terlihat dari wajahnya yang sangat kuyu kelelahan, dia adalah Emil, si kepala rumah tangga, ayah kandung dari Wulan,Nasir dan Agus serta bayi dalam gendongan Ibu mereka. Tanpa di komando Wulan, Nasir dan Agus menyeberang jalan, bergegas menghampiri Bapak mereka dengan penuh rasa suka cita, lupa bahwa seharian belum makan, lapar teralihkan oleh perasaansenang melihat Bapaknya datang. Kendaraan begitu banyak melintas, Wulan memegang tangan kedua adiknya, Nasir di kanan dan Agus di kiri, kemoceng di selipkannnya masuk kedalam celana jeans lusuhnya, tidak peduli mereka dengan teriakan Ibu mereka yang tidak habis-habisnya memanggil dan sudah di campur dengan caci maki. Jalan yang mereka seberangi berjarak kurang lebih enam meter, tapi padatnya kendaraan membuat aksi kaburnya mereka dari hadapan sang Ibu menjadi sangat lambat, mereka khawatir, Ibu mereka akan segera menyusul dan lebih dulu sampai di becak Bapak, kalau Ibu yang lebih dahulu sampai, otomatis Ibunyalah yang akan lebih dahulu di antar pulang kerumah. Sampailah, satu persatu mereka bergantian menyalami Bapaknya, Emil tersenyum bangga, bangga karena dia adalah seorang Ayah, ayah dari anak-anak yang sangat menghargainya sebagai seorang ayah, bangga karena anak-anaknya juga bangga memiliki Ayah sepertinya. Bergantian di kecupnya ubun-ubun ketiga anaknya.

“Capek nak?”.

Wulan, Nasir dan Agus saling berpandangan, dan serempak menggeleng dan tersenyum.

“Nda ji…Bapak yang capek to? Satu hari kayuh sepeda di jalan, mau ka cepat pulang Pak, Agus mau sekali makan Mie”. Wulan menjawab diplomatis. Emil menatap ketiga anaknya, matanya tidak bisa di bohongi, dia paham betul anak-anaknya sudah bekerja keras hari ini, apalagi wajah Wulan Nampak sangat pucat. Emil menarik nafasnya dalam, dia sangat sedih, betul-betul sedih, kenapa nasib baik belum datang berkunjung padanya, malah ketika rezeki itu datang, sepetinya rezeki itu cepat pergi dan menghilang dalam waktu yang lama.Sebetulnya, saat ini dia tidak perlu lagi mengayuh sepeda, bulan lalu dia berhasi membeli sebuah bentor *becak motor. Satu bulan penghasilan yang di dapatkan cukup baik, kebutuhan sekolah Wulan terpenuhi, makan bisa tiga kali sehari, tidak mengeluarkan banyak peluh karena mengayuh, anak-anak sudah berhenti mencari di jalanan. Tapi seketika bentor itu lenyap, diangkut oleh rentenir karena rupa-rupanya bentor tersebut di jadikan jaminan pinjaman istrinya.Entahlah lari kemana uang pinjaman itu. Bukan hanya sekali itu perbuatan istrinya menyengsarakan hidup Emil dan anak-anaknya, sebelumnya uang kontrakan yang sudah disiapkan Emil juga di salah gunakan oleh istrinya, uang sekolah Wulan, belum lagi tagihan – tagihan tidak jelas berdatangan. Hampir putus asa dia dengan sikap istrinya, tapi dia tidak mau bertengkar di depan anak-anaknya. Tidak penah terlintas di benaknya, anak-anaknya akan mencari sesuap nasi di jalanan, berulang kali dia berkeras menentang keinginan istrinya untuk mempekerjakan anak-anak di jalanan, tapi istrinya memang lebihkeras, dan dia selalu kalah, berharap istrinya akan sadar dengan sendirinya. Kapan sadarnya? Entahlah dia juga tidak yakin.

“Pak…ayo mi…” Nasir mennyentuh tangan Bapaknya, rupanya ketiga anaknyasudah siap untuk berlayar bersama becak Bapaknya.

“eeeeee…..tunggu, kenapa ko semua gila? Berani-beraninya lawan Ibu haaah!!!, disuruh kerja Cuma mau pulang, Wulan, Nasir, Agus, turun! Jalan masih ramai itu, masih bisa dapat uang ko. Ibu pulang duluan, adikmu ini sudah busuk badanya.”

Wulan, Nasir dan Agus tersentak kaget, Agus hampir terjatuh karena serentak mereka bertiga bersamaan turun dari dalam becak. Agus menangis, tambah lama suara tangisannya semakin keras. Bapaknya membiarkan Agus menangis, Wulan dan Nasir hanya diam memandang penuh amarah kepada Ibu mereka. Seketika wulan teringat ketika tanpa sengaja menangkap basah ibunya sedang bermain kartu, dia tidak tahu sebelumnya jenis permainan apa itu, yang dilihatnya uang banyak tersusun rapih di atas meja kartu, yang menyedihkan baginya bukan uang atau kartu, tapi lelaki di samping Ibunya, dengan seenaknya memeluk dan mencium Ibunya berkali-kali, Wulan sudah tahu apa arti suami, apa arti seorang istri, dan tahu apa itu perselingkuhan, seperti yang pernah di tontonnya di sinetron-sinetron, dan pastinya dia paham betul bahwa perbuatan Ibunya adalah perbuatan yang sangat menyakiti hati Bapak. Agus terus menangis, menangis dan menangis. Perempuan itu malah santai hendak naik ke atas becak.

“minggir ko!”.

Tangisan Agus semakin kencang. Orang-orang yang lalu lalang sampai menoleh dan sejenak ingin tahu. Wulan meraih Agus dan memeluk bocah itu dengan erat, matanya tajam menatap penuh benci kepada Ibunya.

“Marni, turun ! biar anak-anak pulang dulu, kau saya jemput lagi sebentar”.

“ededeeehhh…malasku lama menunggu, biarmi saya saja pulang dulu, mereka masih bisa cari uang sekarang, liat itu eee….masih banyaknya mobil lewat”

“Turun saya bilang!!! Kalau kau mau cari uang, cari sendiri uangmu, jangan anak-anak yang kau siksa, cukup kau bikin mereka menderita, kau pikir saya tidak tahu kau bikin apa? Saya hanya tidak mau ribut di depan anak-anak”.

“Heeh Emil! Kau tau saya bikin apa kah? Hahahahaha syukurlah kalau kau tahu mi, saya begitu karena kau memang tidak bisa di andalkan, kau tidak bisa bahagiakan saya, kau memang laki-laki tidak tau di untung, menyesal saya kawin dengan kau Emil!!!”.

Marni turun dari becak dengan tergesa-gesa, dia tetap menggendong anak bayinya, Wulan heran, Bapak sama sekali tidak menaruh perhatian kepada bayi itu, bahkan di saat sekarang, di saat tengah terjadi keributan, harusnya bayi itu kaget, dan pastinya menangis. Mengingat kelakukan Ibunya yang sangat kasar terhadap adik bungsunya sepanjang siang tadi, Wulan mulai khawatir.Jangan jangan….jangan jangan…ah tidak,si bungsu pasti sedang tertidur sangat nyenyak saat ini.

Emil tidak meladeni Marni, di biarkannya marni berjalan menyeberangi jalan, tampak jelas Marni sangat gusar. Emil berusaha menenangkan diri, pikirannya kalut, sedih dan marah dengan Marni, kecewa melihat kenyataan bahwa Marni semakin keras kepala, rasa sayang dan benci kepada Marni berbaur menjadi satu, dia bingung. Pandangannya nanar, dia tidak sanggup berkata-kata lagi, baginya Marni tetaplah pujaan hati, perempuan yang telah mengandung ke empat anaknya. Lihatlah kini, betapa semakin memilukan hidupnya, tidak bisa membuat Marni bangga, malah menurut Marni dirinya adalah suami yang memalukan. Emil terus memandang punggung Marni yang berlalu, Wulan, Nasir dan Agus masih terpaku di tempatnya, semakin resah setelah menyaksikan tayangan singkat yang akhirnya menjadi babak baru dalam kehidupan mereka. Marni terus berlalu, dan takkan bisa terjangkau. Sementara Wulan masih tetap kuat, tegar di tengah prahara, lembut ia memanggil nama adiknya “Adi….”.

Babak baru kehidupan Wulan

Ini adalah hal yang luar biasa, ini adalah sejarah, seumur hidupnya baru kali ini keluarga Wulan di kunjungi oleh banyak orang, mereka adalah para tetangga, teman-teman Ibunya dan kerabat Bapaknya. Beberapa orang Wulan cukup mengenalinya, ada Ibu Rosa yang kerapkali menjemput Ibunya keluar malam-malam keluyuran entah kemana, ada Ibu Ida yang menurut Wulan suaranya sangat menggetarkan, bagaimana tidak? Kalau Ibunya terlambat membayar utang maka suaranya akan melengking lebih dari 8 oktaf, ada Ibu Rahayu yang selalu memberikan kelebihan makanannya kepada Wulan dan adik-adiknya, sungguh Ibu yang satu ini adalah Idolanya, hampir semua tetangga datang, sementara keluarganya belum Nampak batang hidung dan bau badannya, baik keluarga dari pihak Ibu maupun Bapaknya.

“ Kakak sedih ? “ Wulan berdiam diri, sulit mengartikan bagaimana sesungguhnya perasaannya saat ini. Nasir menyandarkan kepalanya di dada Wulan “Kak…kenapa kakak tidak menangis? Kakak tidak kehilangan Ibu?”. Wulan menggelengkan kepalanya, jasad Ibu dan adik bungsunya ada di depannya kini. Bukan becak Bapak yang membawa Ibu dan adiknya pulang tapi sebuah mobil ambulance. Ibu dan si bungsu di tabrak oleh mobil ambulance dan akhirnya mobil ambulance itu juga yang mengantar jasad Ibu dan si bungsu pulang. Pulang selama-lamanya.

Memikirkan hari esok membuatnya kehabisan air mata, dingin sorot mata Wulan menyaksikan Bapaknya yang sangat berduka, ada sesuatu tertahan di mulutnya yang ingin di ucapkan. Duduk di sudut sana, seorang laki-laki yang usianya lebih muda di bandingkan Bapaknya, Wulan hapal betul, itulah laki-laki yang bersama ibunya bermain kartu.Wulan Oh Wulan....

***********

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun