Mohon tunggu...
Dian Pradugawati
Dian Pradugawati Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Mari berkata lewat tinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku Hanya Berbeda, Bukan Tercela

4 Januari 2020   18:59 Diperbarui: 5 Januari 2020   16:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://stock.adobe.com/

Di suatu masa lahirlah sosok kucing jantan mungil yang kemudian dinamakan Kuku. Ia terlahir sebagai anak kedua dari keluarga yang cukup terpandang. Ayah Kuku adalah seorang tokoh di masyarakat, begitu pun dengan Sang Ibu. Kuku dan keluarganya tinggal di perantauan yang jauh dengan sanak saudara.

Kucing jantan berbulu putih bersih itu dibesarkan dengan nilai-nilai disiplin dan "unggah-ungguh" yang kuat. Ia sangat disiplin belajar, disiplin mengaji bahkan disiplin berolahraga.

Kuku terbiasa berkata dan bersikap santun terhadap semuanya. Baik kucing yang seumuran, lebih tua bahkan yang belum kenal pun kagum dengan sosok Kuku yang supel itu. Si jantan yang jago adzan itu diharapkan mampu menjadi sosok pemimpin hebat di kemudian hari.

Sebenarnya, Kuku bukanlah sosok kucing yang sulit untuk belajar. Ia hanya kurang tertarik untuk belajar matematika, sains dan sejenisnya di sekolah. Tidak heran jika tidak ditemukan nama Kuku bertengger di barisan peraih peringkat sepuluh besar di kelas. Hal itu tentu membuat orang tuanya kecewa, hingga "lupa" dengan prestasi-prestasi Kuku di luar bidang akademis lainnya.

Seringkali orang tua kucing peraih gelar juara bela diri itu lebih membanggakan keponakan-keponakannya. Kuku seringkali dibandingkan "kepintaran akademisnya" dengan sepupu-sepupunya, lantaran mereka selalu mendapatkan peringkat di kelas. Hal itu berjalan terus menerus.

Kucing jantan yang mulai beranjak dewasa itu lebih banyak memperoleh "apresiasi" dari teman-teman dan guru-guru bela dirinya di luar sana.

Suatu ketika, tibalah Meong salah satu sepupu yang ingin mengisi waktu libur di rumah Kuku. Meong tinggal di kota kecil berjarak tempuh tiga jam perjalanan mobil dari tempat tinggal Kuku. Mereka berdua seumuran, namun tidak begitu akrab karena frekuensi mereka bertemu hanya dapat dihitung dengan jari. 

Selama berlibur, mereka berdua tidur bersama di kamar Kuku yang harum, rapi dan bersih. Iya, dibalik sifat tegas dan kerasnya, Kuku memang kucing yang selalu menjaga kebersihan.

Di suatu sore yang cerah, Meong berpamitan kepada kedua orang tua Kuku untuk berjalan-jalan menikmati suasana dan hiruk pikuk kota besar. Kuku sangat khawatir dengan keselamatan sepupunya hingga ia menawarkan diri untuk menemani Meong berjalan-jalan. Sayangnya, tawaran Kuku tersebut ditolak.

Kuku yang selalu bercerita tentang apapun kepada ibunya memulai percakapan.

"Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres tentang Meong deh, Bu."

"Tidak beres bagaimana maksudmu, Nak?"

"Aku mendengar Meong berbisik di telepon menyebut kata miras menjelang dini hari tadi."

"Ah, sepertinya kamu salah dengar, Nak. Mana mungkin Meong berurusan dengan miras? Dia kan keponakan yang baik, dan selalu menduduki rangking satu di kelas," bela Ibu panjang lebar.

"Kamu itu jadi anak jangan suka su'udzon," sahut ayahnya.

Kuku menghela nafas panjang, untuk meredam api emosi yang mulai terpantik di dada.

"Baiklah ... mungkin aku memang salah dengar. Ayah, Ibu, Kuku pamit dulu ya, ada latihan."

***

"Hentikan!" Bentak Kuku pada geng kucing liar itu.

Baku hantam tidak dapat dihindarkan diantara mereka. Gerombolan kucing liar itu mengeroyok Kuku. Pertarungan berlangsung sengit. Berbagai jurus bela diri andalan dilayangkan oleh Kuku untuk menghempaskan lawan-lawannya.

"Duaaarrr!" suara letusan senjata api menghentikan ayunan kaki Kuku sesaat sebelum mengenyakkan leher sang ketua geng.

Kucing-kucing petugas keamanan bergegas membekuk gerombolan kucing liar yang meresahkan warga tersebut. Geng yang aktif mengedarkan miras di kota besar itu digelandang oleh para petugas keamanan setempat untuk diamankan. Meong selamat. Ia telah luput dari jeratan peredaran miras.

"Terima kasih, Nak. Kami dapat meringkus komplotan kucing liar ini berkat laporanmu." Sang komandan petugas keamanan datang menjabat tangan Kuku.

"Sama-sama, Pak. Saya juga berterima kasih karena Bapak telah menyelamatkan sepupu saya, Meong."

Kabar tentang aksi heroik Kuku melawan kawanan geng kucing liar tersebar begitu cepat di seluruh penjuru kota, termasuk ke telinga kedua orang tuanya.

Perasaan mereka campur aduk. Mereka menyesal seringkali membanding-bandingkan Kuku dengan keponakan-keponakan lainnya. Mereka lupa bahwa Kuku memiliki "potensi yang berbeda".

Di sisi lain mereka juga sangat bangga pada Kuku. Meski sering mendapatkan perlakuan yang berbeda, Kuku tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebajikan dan kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun