Belakangan ini berita kriminal terus dipenuhi dengan kekerasan. Entah itu berbentuk fisik, seksual, dan masih banyak lagi lainnya.
Kekerasan seolah telah membudaya.
Adakah mata pelajaran kekerasan dalam pendidikan, hingga sekarang ini melakukan kekerasan seolah telah menjadi kebiasaan?
Ataukah, siapa yang boleh disalahkan atas tingginya kasus kekerasan di Indonesia?
Menyangkut kekerasan, situasi ini mengingatkan kita pada bangku sekolah. Di mana awal tindakan kekerasan dimulai. Dari bullying misalnya. Sikap kekerasan tentunya menjadi rumit dan menyebar hingga pada tingkat kasus kejahatan serius.
Ada baiknya sekolah menyelipkan “Pendidikan Anti Kekerasan”. Dan, sementara pendidikan membenahi kurikulum anti kekerasan, sebenarnya ada jalan pintas lain supaya tindak kekerasan berkurang. Reaksi seseorang anak terhadap perilaku yang ia tunjukkan adalah hasil pembelajaran yang didapat dari keluarga.
Artinya, untuk meminimalisir bahkan menghapuskan ‘kekerasan’, keluarga dan pendidikan mesti saling bekerja sama.
Misalnya, jika dalam pendidikan gerakan nyatanya melalui memasukkan mata pelajaran anti kekerasan dalam kurikulum yang berlaku di Indonesia, menangani bullying di kalangan siswa dengan cara yang tepat sasaran, menindak tegas atas pelanggaran berupa kekerasan yang dilakukan, hingga memberi sanksi atau funishment.
Sedangkan keluarga bisa memulai aksi dengan memberi contoh sikap terpuji, kurangi marah atau bicara kasar, hindari memukul, mencubit dan lain sebagainya, membatasi tontonan anak sesuai usia, mengedepankan karakter sebagai tolak ukur keberhasilan anak. Karena memiliki akhlak gemilang jauh lebih berguna ketimbang hanya mempunyai prestasi di kelas dengan nilai rapot tinggi.
Apapun bentuknya, tindak kekerasan sudah tak bisa lagi ditoleransi, maka dari itu sebaiknya generasi Indonesia segera diselamatkan sebelum bangsa rusak.
---