Baik sebelum maupun sesudah disahkan, pro dan kontra banyak mewarnai ikhwal perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Para akademisi, profesional, masyarakat, maupun unsur pemerintah desa turut menyuarakan pendapatnya perihal perubahan tersebut baik lewat jalur lisan dan tulisan di media masa, juga lewat berbagai lobi kepada eksekutif maupun legislatif.
Terlepas dari kesetujuan maupun tidaksetujuan yang ada, Presiden Jokowi akhirnya resmi meneken Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada 25 April 2024 lalu.
Sebagai eksekutor penyelenggaraan pemerintahan desa di lapangan, tentu ada konsekuensi logis yang harus disikapi baik oleh Kepala Desa maupun para Perangkat Desa selaku pembantu kepala desa atas disahkannya perubahan undang-undang tersebut dalam rangka mengakselerasi perkembangan dan kemajuan desa. Berikut sekadar refleksi dari sudut pandang penulis yang saat ini mendapat amanah menjadi seorang perangkat desa.
Keberhasilan Undang-Undang Desa
Meskipun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatur banyak aspek dalam penyelenggaraan desa. Keberhasilan Undang-Undang Desa oleh banyak pihak dianggap sukses dan patut dipertahanankan karena adanya dua poin penting. Pertama, semangat desentralisasi dan pembangunan partisipatif. Dan kedua, keberadaan Dana Desa.
Undang-Undang Desa dapat dianggap merevolusi tentang bagaimana proses pembangunan desa dilaksanakan selama ini. Melalui semangat Undang-Undang Desa yang menempatkan seluruh elemen di desa sebagai subyek pembangunan. Pemerintah desa bersama masyarakatnya diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam proses pembangunan desa sesuai dengan yang menjadi kewenangan desa sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang tersebut. Masyarakat dapat terlibat aktif mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksaan, pengawasan, hingga pelaporan sehingga pembangunan yang dilakukan di desa dapat terlaksana tepat mutu dan tepat sasaran demi tercapainya kesejahteraan masyarakat desa.
Sedangkan melalui adanya Dana Desa, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) menjadi lebih berisi yang oleh karena itu dapat lebih leluasa dalam merealisasikan berbagai bentuk pembangunan di desa, baik itu dalam wujud pembangunan insfrastruktur, pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, maupun pembangunan sumber daya manusia.
Selama 9 tahun setelah disahkan pada 2014, Undang-Undang Desa telah membawa berbagai manfaat dalam kerangka pembangunan desa di negeri ini. Melalui aturan pengalokasian Dana Desa sebesar 10% dari total Dana Transfer ke Daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), setiap desa di Indonesia bisa mendapatkan transfer hingga 1 miliar setiap tahunnya.
Tercatat di bidang insfrastruktur telah terbangun sebanyak 350.775 Km jalan desa, 1.904.381 Km jembatan desa, 6.706 embung desa, serta 14.614 unit Pasar Desa berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Â Kesemuanya itu dibangun melalui sumber Dana Desa.
Tak hanya keberhasilan pembangunan di bidang infrastruktur. Perekonomian masyarakat desa juga terdampak dengan adanya kebijakan Dana Desa. Berdasarkan penelitian  yang dilakukan oleh Dr. Hefrizal Handra, M.Soc, dkk berjudul Dampak Kebijakan Dana Desa Terhadap Kemiskinan, Perekonomian, Penggangguran, dan Pelayanan Publik Periode 2015-2019 menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara kenaikan dana desa terhadap penurunan indeks kemiskinan, pengangguran, dan peningkatan indeks pelayanan publik. Dimana setiap kenaikan Dana Desa per kapita sebanyak 1% mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,002 persen, menurunkan tingkat pengangguran terbuka sebanyak 0,0001 poin, serta menaikkan kinerja pelayanan publik yang diwakili indeks pendidikan dan indeks kesehatan masing-masing sebesar 0,0021 satuan dan 0,0022 satuan.
Perubahan vs. Kemajuan
Melalui refleksi atas berbagai bentuk keberhasilan penerapan Undang-Undang Desa yang penulis kutip di atas. Nyatanya masih ada pihak yang berpandangan Undang-Undang Desa belumlah sempurna sehingga dianggap layak untuk segera direvisi. Tercatat selama 2023 dilaksanakan beberapa kali demo dan audiensi oleh gabungan organisasi profesi pemerintah desa, kepala desa, maupun perangkat desa bersama pemerintah terkait upaya merevisi Undang-Undang Desa.
Macam-macam argumen dan lobi-lobi sebagai ikhtiar meng-golkan aspirasi perubahan akhirnya mendapatkan persetujuan DPR dan memperoleh wujudnya saat ini melalui disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun dari banyaknya poin perubahan yang diaspirasikan, faktanya tidak semuanya diakomodir dalam undang-undang terbaru. Yang disayangkan banyak orang, perubahan yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah pada ranah substantif berupa perbaikan tata kelola desa sebagaimana yang diharapkan, namun seputar peningkatan kesejahteraan dan penambahan masa jabatan kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Yang mana penambahan masa jabatan kepala desa ini kemudian banyak dicibir oleh masyarakat.
Tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dengan argumen perlunya waktu dalam melakukan konsolidasi antar elemen di desa pasca pemilihan kepala desa (pilkades) serta tingginya biaya politik di desa tidak sebangun dengan upaya memacu kemajuan desa. Tidak ada korelasi antara lamanya masa menjabat dengan kemajuan pembangunan desa. Yang ada justru kekhawatiran bahwa bertambahnya masa jabatan akan menyuburkan praktek-praktek korupsi dan kolusi di desa.
Mengacu pada prinsip demokrasi, pembatasan masa jabatan dilakukan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada kandidat berkualitas untuk memimpin, dan serta mencegah siapapun berkuasa selama-lamanya dalam rangka menghindari penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan. Mengutip artikel Hidayat Salam dalam harian Kompas, 29/03/2024 berjudul Tanpa Kontrol Kuat dan Perbaikan Tata Kelola, Perpanjangan Masa Jabatan Kades Kontraproduktif. Manfaat maksimal dari perpanjangan masa jabatan kepala desa hanya akan didapat ketika kepala desa yang menjabat itu memiliki kualitas. Bukan dari berapa lama ia berkuasa.
Tidak sedikit kepala desa yang dalam waktu kurang dari enam tahun berhasil membawa masyarakatnya menjadi lebih maju dan sejahtera, namun ada pula banyak kepala desa yang dalam masa jabatannya tersangkut kasus pidana akibat penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Penambahan masa jabatan menjadi delapan tahun tidak menjamin desa akan lebih baik. Kepemimpinan dan inovasi kepala desa yang berkualitas lebih menentukan capaian kemajuan desa.Â
EpilogÂ
Diluar aspek perbaikan tata kelola desa yang seolah diabaikan dalam perubahan undang-undang ini. Dampak pelaksanaan atas perubahan undang-undang ini memang belum dapat kita rasakan sekarang. Untung rugi atas penerapan perubahan peraturan ini belumlah nyata. Aneka rupa kekhawatiran yang muncul dalam benak belumlah nampak buktinya. Namun yang pasti, perubahan itu tidak terelakkan.
Segala bentuk perubahan regulasi yang mengatur desa semata-mata disusun dalam rangka memajukan desa agar mampu bersaing dan tetap relevan dalam mengikuti dinamika zaman. Sehingga dapat diakui ditetapkannya Perubahan Undang-Undang Desa adalah momentum konsolidasi dan perbaikan dalam rangka turut serta mewujudkan tujuan kehidupan bernegara mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Pada akhirnya harus kita sadari bersama bahwa memilih jalan menjadi seorang Kepala Desa maupun Perangkat Desa dengan segala perubahan regulasinya adalah bukan hanya perihal mencari nafkah dan kebanggaan, namun juga adalah sebuah pengabdian. Membangun desa melalui jalur profesi sebagai Kepala Desa maupun Perangkat Desa seperti halnya pekerjaan lain mestinya dilaksanakan dengan penuh dedikasi, integritas, dan loyalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H