Awalnya saya agak enggan membeli novel ini. Dalam bayangan di kepala, saya begitu yakin ia merupakan salah satu dari sekian banyak ‘produk latah’ orang indonesia yang begitu senang mengekor pada kesuksesan orang lain. Bukan tanpa alasan, tapi lihatlah kebelakang betapa seringkali saat ada suatu produk yang terbilang begitu sukses di pasaran, banyak orang akan mencoba mengikutinya dengan membuat produk yang serupa. Yang sayangnya kebanyakan hanya diorientasikan bisnis dengan membuat tampilan-tampilan produknya sebegitu meyakinkan. Namun itu seringkali tidak sebangun dengan isi didalamnya. Sesuatu yang pada awalnya menjadi alternatif, pada akhirnya malah menjadi tema-tema yang jenuh tanpa kualitas.
Masih terngiang dalam ingatan ketika dulu Novel Ayat-ayat Cinta menjadi begitu terkenal. Betapa banyak novel-novel serupa yang kemudian diterbitkan. Mereka sama-sama mengusung nuansa romansa cinta yang dibalut religiusitas. Agar lebih meyakinkan pembaca nama-nama pengarangnya dibuat sedemikian hingga terdengar begitu kearab-araban. Seolah mereka tidak percaya diri apabila menggunakan nama pena yang biasa saja. Tidak hanya sampai disitu, masalah layout cover pun juga sering dibuat sangat mirip dengan novel karangan penulis Habiburrahman El-Shirazy itu semata-mata demi mendongkrak angka penjualan buku-buku tersebut.
Disinilah, dalam pikiran saya, novel ini pastinya sama seperti ‘produk-produk latah’ itu. Meskipun sepertinya memang bukan pengekor kesuksesan dari Ayat-ayat Cinta, namun sudah pasti bisa ditebak merupakan pengikut dari tetralogi terkenal yang lebih dahulu muncul. Sebuah karya sukses dari penulis kenamaan Andrea Hirata, tetralogi Laskar Pelangi. Sepertinya begitu, novel ini akan berkisah seputar mimpi-mimpi dan persahabatan.
Sesuatu yang menarik saya adalah ketika membaca cover belakang novelnya. Disitu digambarkan sedikit tentang lokasi dimana rangkaian cerita dari novel ini bersetting, sebuah pondok pesantren. Ya, sangat unik mengingat belum banyak tema kehidupan serupa diusung dalam bentuk fiksi populer sebagaimana novel ini. Beberapa penerbit alternatif islam memang sempat menerbitkan fiksi dengan setting pondok pesantren, namun sayangnya dari sebagian yang saya baca kesemuanya lebih banyak bercerita mengenai kisah cinta. Kebanyakan jalinan ceritanya mengenai kisah dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, bergalau, bergelut dengan sekian banyak norma yang diyakininya. Konflik-konfliknya dibangun dengan premis dasar ‘Mana yang lebih kau dahulukan? Antara cintamu kepada Tuhan ataukah cintamu kepada manusia’. Nyaris tidak ada yang bercerita tentang persahabatan, alih-alih tentang mimpi.
Membaca novel ini, ingatan saya seperti diseret kedalam memori-memori masa lalu. Ya, memang dari sekian alasan tadi masih ada satu alasan lain yang membuat saya akhirnya memutuskan membeli novel tersebut. Adalah kesamaan latar belakang antara saya dengan tokoh utamanya, kesamaan keinginan, kesamaan pertentangan-pertentangan yang pernah saya alami dahululah (membaca bagian belakang covernya) alasannya. Saya juga pernah mengenyam pendidikan di bangku pesantren sebagaimana yang dialami oleh Alif. Oleh karena itu ada nostalgia dan arti tersendiri tentang lembaga pendidikan bernama pondok pesantren buat saya.
Sedikit gambaran, pondok saya sendiri sebenarnya bukan pondok yang sama dengan pondok tempat penulis novel ini, A. Fuadi, belajar dulu. Pondok saya bukanlah Pondok Gontor. Namun begitu pondok tempat saya nyantri dulu memang punya afiliasi dengan pondok legendaris tersebut. Karena dalam sejarah pada masa-masa awal berdirinya pondok saya diasuh oleh banyak alumni-alumni dari Pondok Gontor. Demikian halnya dengan sistem pendidikan, metode pembelajaran, serta kurikulum yang juga dibuat hampir serupa dan diaplikasikan hingga saat ini. Sehingga dinamika kehidupan keseharian nyaris sama dengan yang terjadi di Pondok Gontor. Dalam perkembangannya memang banyak hal yang kemudian disesuaikan. Mengingat situasi dan kondisi zaman, serta lingkungan yang berbeda. Namun tidaklah banyak yang berubah dari situ hingga saat terakhir saya mengenyam pendidikan disana.
Disinilah, saya diingatkan kembali dengan adegan-adegan masa lalu lewat cerita persahabatan Alif dkk. Rekaman-rekaman drama kehidupan sebagaimana yang pernah saya jalani semua tertuang pada buku ini. Nampak jelas dan mengena. Kepingan demi kepingan adegan masa lalu seketika bertamu dalam ruang memori dan membangkitkan satu perasaan lain. Rindu yang mendalam. Detil-detil ketika mengikuti ujian masuk, kemudian pertama kali menginjakkan kaki di pondok, berkenalan dengan kawan-kawan satu kamar, ditinggalkan orang tua dengan beribu harapan yang dipanjatkan.
Bab-bab seperti Man Jadda Wajada, Sang Renaissance Man, Agen 007 dan Shopping Day masing-masing mewakili moment tertentu yang dulu pernah saya lalui. Masa-masa ta’aruf, begitulah pondok saya menyebut masa orientasi siswa, dilangsungkan selama satu minggu. Waktu selama itu digunakan untuk memperkenalkan kami dengan lingkungan pondok. Puncaknya pada khutbah ta’aruf, di sebuah lapangan besar seluruh santri dikumpulkan baik santri baru maupun lama. Sang kyai berdiri di podium besar dan kemudian disitu menceritakan sejarah panjang berdirinya pondok. Dengan mengetahui sejarahnya, falsafah, serta visi dan misinya, kami diingatkan agar menata niat kedatangan kami ke pondok. Membersihkan segala bentuk keterpaksaan dan secara sadar menuntut ilmu secara bersungguh-sungguh. Moment-moment itu tertuang dalam bab Man Jadda Wajada dan Sang Renaissance Man.
Agen 007 dan Shopping Day langsung mengingatkan saya dengan OP, singkatan dari organisasi pelajar yang bertindak sebagai perpanjangan tangan pimpinan pondok dalam penegakan kedisiplinan dan ikut serta dalam proses pendidikan dan pengajaran 24 jam di pesantren. Untuk penegakan disiplin dan sunnah pondok, para santri dibiasakan dengan berbagai peraturan yang mengikat. Peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan berbagai pertimbangan di tingkat pimpinan pondok, dan digunakan dengan tujuan kebaikan para santri sendiri. Ada punishment yang kami terima apabila melanggar. Pelanggaran bahasa akan memperoleh sangsi dari pengurus bagian penggerak bahasa, pelanggaran kedisiplinan akan kena sangsi dari bagian keamanan dsb. Ada jasus yang bertindak sebagi mata-mata, kartu jasus yang harus diisi, ada batas pengumpulan kartu, dll.
Disamping itu saya juga teringat pada rutinitas monoton yang setiap harinya dilakukan dari bangun pagi sampai tidur lagi, peraturan-peraturan tertulis yang disana kami sebut tibsar (singkatan tata tertib dasar), dan kebiasaan ngantuk luar biasa di setiap kegiatan akibat padatnya aktifitas. Tidak hanya sampai bab-bab tadi, sampai pun pada bab-bab terakhir dinamika yang terjadi hampir semuanya terdengar mirip seperti yang pernah saya alami dulu.