Hari Raya adalah hari bahagia bagi semua orang. Tidak terkecuali bagi ibu rumah tangga di Desa Alue Ie Mirah Kecamatan Nibong Kabupaten Aceh Utara. Baik Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha setiap tahunnya.
Mereka berkumpul penuh suka cita untuk bersama-sama menghaluskan tepung, Toep Teupong. Tradisi ini masih berlangsung hingga kini.
Menariknya dalam menghaluskan tepung sebagai bahan utama kue tradisional, mereka menggunakan alat Jeungki (Jingki).Â
Berbahan kayu membulat kokoh dengan ukuran panjang mencapai paling panjang lima meter. Alat ini terdiri dari tiga bagian yakni badan Jingki, Alue dan Lesung.
Sebab panjang dan agak berat alat ini tidak cukup hanya seorang saja yang mengoperasikan. Jingki dioperasikan dengan menggunakan tangan dan kaki sekaligus.
Dalam menggunakan alat Jingki tentunya ibu-ibu tidak boleh dalam keadaan melamun dan harus sigap. Jika tidak maka risiko tangan terjepit dapat terjadi saat mengoperasikan alat ini.
Menurut pengakuan ibu-ibu yang ditemui Jurnalis Mardili pada Minggu 18/6/2023 tradisi ini masih dipertahankan karena kenyamanan operasional alat, mereka terbiasa menumbuk dengan alat ini. Hasil yang diperoleh pun tidak berbeda dengan hasil penghalus mesin.
Kue tradisional Timphan salah satu sajian yang selalu ada pada perayaan Idul Fitri, Idul Adha, maupun perayaan hari besar keagamaan lainnya. Bahan utamanya adalah tepung beras.
Tak hanya beras yang dapat dihaluskan menggunakan Jingki menjadi tepung; emping melinjo, kopi, sagu, bahan rempah lain juga dapat dihaluskan dengan alat ini. Tak jarang juga ibu-ibu membuat minyak kelapa tradisional dengan menumbuk kelapa dalam Jingki.
Beras yang telah halus menjadi tepung diayak dengan cara tradisional pula dengan menggunakan kain bercelah kecil.
Dahulu Jingki ditempatkan di bawah Rumoh Aceh yang bersusun panggung. Si empunya rumah beraktivitas mulai dari Subuh hingga petang menjelang, jika beras atau bahan lain yang akan ditumbuk dalam jumlah banyak.
Melansir portal Sekretariat Majelis Adat Aceh, tidak semua rumah memiliki alat ini. Hanya orang berada saja pemiliknya pada masa itu. Namun demikian, warga di desa diperboleh bergantian meminjam alat ini dengan datang membawa bahan masing-masing sembari mengantri.
Kini, Jingki sudah jarang ditemukan. Jika ada pun itu dapat ditemukan di desa yang masih mempertahankan tradisi ini. Alat tergerus dengan mesin yang lebih praktis sehingga keberadaannya tidak banyak lagi.
Jika tidak pergi ke daerah ini, kita bisa menemukan unit terpajang di museum atau pada pameran budaya yang sewaktu-waktu saja diadakan tematik. Sungguh alat ini telah berjasa di masa lampau dan penulis sangat beruntung mengetahui alat ini.
Terima kasih sudah membaca. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H