Agresi Belanda I
Malam hari tanggal 21 Juli 1947, hari itu Rama Kanjeng ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi, suara sirine meraung dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan.
Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan.
Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan dan Rama Kanjeng untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta yang dibacakan pada tanggal 1 Agustus 1947, di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam.
Pada kesempatan pidato itu Rama Kanjeng juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.
Isi pidato itu adalah:
- Desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak.
- Pernyataan sikap umat Katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.
- Pidato ini juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih atas pembangunan Negeri Belanda diatas penderitaan bangsa Indonesia dan himbauan agar ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Agresi Belanda II
Usaha-usaha gencatan senjata dilakukan melalui dukungan beberapa negara anggota PBB sampai ditandatanganinya Perjanjian Renville.
Akan tetapi pada  pagi hari pukul 05.30 pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia, yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda II dimana Kota Yogyakarta diblokade Presiden  Soekarno dan Wakil Presiden Hatta ditangkap.
Dalam kondisi sulit ini, Rama Kanjeng ikut merawat keluarga Soekarno.
Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Rama Kanjeng juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberikan dukungan terhadap perjuangan Sri Sultan.