Salah satu persamaan kita adalah takut jarum suntik. Tapi,dia yang paling lebih takut dibandingkan aku. Aku masih berusaha memberanikan diri saat vaksinasi di sekolah. Sedangkan dia berusaha kabur sehingga merepotkan banyak pihak untuk mengejar dan memeganginya saat disuntik. Dia juga menangis histeris sambil marah-marah saat dipaksa melakukan vaksinasi.
Itu adalah momen langka kenangan yang tidak bisa aku lupakan dalam hidupku. Aku sering mengungkit kejadian itu, dia pun pasti marah karena malu mengingatnya. Aku biasanya senyum-senyum saat melihat raut wajahnya yang sedang marah dan kesal.
Kita adalah manusia yang gengsi mengungkapkan isi hati. Saat dia tidak masuk, aku merindukannya. Tapi, saat dia masuk aku mengatakan yang sebaliknya. Seolah aku bersyukur saat dia tidak masuk di kelas. Begitupun sebaliknya, dia juga melakukan hal yang sama. Padahal kata temanku yang lain dia mencariku saat aku tidak masuk.
Awalnya, aku masih sulit mempercayai fakta kepergiannya. Padahal aku juga ikut mengantarkan dia menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Pipiku basah berlinang air mata. Hatiku marah karena tidak berdaya.
Sejak saat itu, aku berusaha melakukan upaya terbaikku agar saat menyukai seseorang selalu mengatakannya. Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku sukai tanpa dia tahu kenyataan bahwa ada orang yang menyukainya selama ini.
Itu juga merupakan salah satu pesan dari guru SMP-ku. Jika suka dengan seseorang kamu bisa mengatakannya dengan cara yang baik dan benar. Dengan begitu, perasaanmu akan lebih lega. Terlepas dari dia menyukaimu atau tidak itu bukanlah hal yang utama.