Daster batik Ibu ini satu-satunya pengobat rinduku. Kangen sekali aku pada Ibu. Sekelebatan peristiwa bersama Ibu menari-nari di ingatanku.
“Nduk, cepat mandi sana. Temani Ibu mengantar jahitan ke rumah Bu Karsiyo.”
“Pulangnya nanti beli kue putu ya Bu?” kataku. Sepulang dari rumah Bu Karsiyo nanti pasti Ibu akan mempunyai uang, hasil dari jasa menjahit baju. Aku selalu diajak oleh Ibu untuk mengantarkan hasil jahitan. “Biar kamu hafal rumah langganan Ibu, Nduk. Suatu saat kalau Ibu sudah ndak bisa njahit lagi, kamu bisa meneruskan hubungan baik Ibu dengan para langganan,” begitu alasan Ibu. Ibu pun mewariskan ilmu jahit-menjahitnya padaku. Bahkan menurut Ibu, aku lebih pandai membuat pola dibanding dirinya.
Sudah 5 kali perayaan 17 Agustus kulewati tanpa Ibu. Kemeriahan lomba panjat pinang di balai RW, di seberang rumahku tak mampu menghapus sepi hatiku tanpa Ibu. Setiap melihat derap gagah Paskibraka di televisi, aku teringat Ibu. Ibu bangga sekali ketika aku tergabung dalam pasukan 17 Paskibraka yang bertugas di Balaikota.
Hari ini, tahun keenam setelah persitiwa itu. Ketika barisan Paskibraka mulai berderap memasuki Istana Negara, kulangkahkan kaki menuju Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Ini adalah hari kemerdekaan Ibu. Kubawakan untuk Ibu satu stel pakaian muslim hasil jahitanku. Kujemput Ibu pulang setelah Ibu mendapat remisi bebas dari kasus pembunuhan atas Bapak tiriku yang penipu itu. 17 Agustus 2010, usai sudah kesepianku. Selamat datang kembali di rumah dan di hatiku, Bu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H