Mohon tunggu...
Dian Kurnia
Dian Kurnia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kolomnis Lepas yang masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melegitimasi Keburukan

3 Desember 2012   16:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:14 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika suatu keburukan sudah menjadi kebiasaan, maka persepsi individu atau masyarakat akan cenderung menganggapnya sebagai suatu kebenaran, dan mereka tidak akan bisa menerima gambaran lain sekalipun itu benar. — Tonny R Djamhir (2001:74)

FENOMENA chaos (sebuah kekacauan, tidak adanya aturan atau tata tertib) yang belakangan marak terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, tentu tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari rahim semesta yang sarat pengaburan nilai-nilai moral akibat terlalu bisingnya genderang banalitas dalam tatanan kehidupan sosial, politik dan budaya. Kebenaran direduksi makna kontekstualnya oleh perilaku amoral agen-agen tidak bertanggung jawab. Keburukan lantas terinternalisasi ke dalam struktur hierarkis masyarakat. Akibatnya, terjadilah erosi kebenaran di mana-mana.

Kriminalitas –bahkan brutalisme– pada taraf tertentu telah menjadi identitas baru masyarakat. Beberapa peristiwa chaotik seperti tawuran –yang melibatkan kalangan pelajar dan mahasiswa, konflik horizontal –di Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Poso, Kalimantan Tengah, Lampung Selatan, dan beberapa daerah lain di Indonesia, skandal korupsi oknum pejabat negara, hingga perbuatan asusila oleh oknum guru terhadap muridnya, membuat kita shock sebagai bangsa berkepribadian Timur yang (konon) menjunjung tinggi humanisme dan altruisme.

Supremasi hukum yang bermasalah –yang juga merupakan penyokong terjadinya aksi-aksi kriminal– terus-menerus mengulurkan cakar tajamnya. Rakyat kecewa pada hukum –dan pemerintah– yang tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Pun dengan pemerataan kebijakan publik yang masih terganjal oleh sistem birokrasi politik uang (money politics).

Pemerintah lebih memerhatikan kemauan elite ketimbang mengoptimalkan kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat (konteks Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Pemerintah juga terkesan arogan dan enggan mendengar keluh kesah penderitaan rakyat akibat gaya hidup pejabat inlander. Wajar jika gelombang kekecewaan dan amarah publik sering menggelayuti punggung persada Nusantara.

Hilangnya Toleransi

Toleransi –yang menjadi landasan utama berdemokrasi– kini alpa dari penjiwaan. Ia berada di ambang kepunahan. Hasil survei LSI menyatakan, gejala sikap intoleransi yang sangat tinggi sedang menjangkiti masyarakat kita. Hal ini sangat mengejutkan kita semua. Ya, toleransi terempas gelombang perilaku amoral aparatur negara yang dibonceng kekuatan korup dan korporasi hitam.

Rakyat akhirnya galau: saling serang, bahkan saling bunuh karena gersangnya nilai-nilai kehidupan (humanitas). Tidak ada lagi panutan yang jelas. Intoleransi membuncah liar dan menyisakan duka mendalam bagi para orang tua yang kehilangan anak-anaknya saat tawuran, misalnya. Atau istri-istri yang kehilangan suaminya saat bersitegang melawan kerasnya kehidupan.

"Lebih bijaksana jika kita tetap istiqomah bersimpuh di keheningan malam, bermunajat seraya memanjatkan doa-doa yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa..."


Pribadi Pancasialis –yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran– yang dulu (konon) terpatri dalam tubuh bangsa dan menjadi identitas nasional, kini hilang terbawa arus demokrasi transaksional, demokrasi prosedural, dan demorasi predatorian. Pendulum demokrasi kita bergerak ke arah demokrasi mayoritarian (Kompas, 9/3/2006). Artinya, mayoritas menjadi penentu mutlak lahirnya sebuah keputusan –dengan mengabaikan suara minoritas.

Demokrasi kita tenggelam dalam pusaran koalisi partai-partai korup. Sedang demokrasi dalam arti yang sesungguhnya hanyalah slogan. Hanya manis di bibir, tanpa pengamalan yang jelas dan terarah. Seraya mengutip pernyataan Bung Karno, “… zonder toleransi, maka demokrasi akan karam, oleh karena demokrasi itu sendiri adalah penjelmaan toleransi.” (Herbert Feith, 1988: 61)

Hidup di negeri penuh paradoks memang butuh kesabaran ekstra, juga ketahanan jiwa untuk tidak ikut-ikutan paradoks; memaklumkan keburukan. Inilah dampak nyata ketika keburukan dilegitimasi oleh suara-suara tak bertanggung jawab. Batas antara kebenaran dan keburukan tidak jelas.

Setengah abad lebih usia kemerdekaan tidak menjadikan bangsa dan negara ini dewasa. Jika harus dijawab dengan jujur, kita semakin terbelakang dalam banyak hal. Ketidakadilan akibat pembajakan terhadap negara, kriminalisme dan radikalisme akibat tumpulnya pisau hukum, serta kebodohan dan kemiskinan akibat kebijakan-kebijakan “tak cerdas” penguasa, kian menelanjangi tubuh lusuh Pancasila. Garuda yang dulu gagah berani, kini menangis lusuh diterjang badai korupsi.

Radiasi Zaman Edan

Kita tengah hidup di negeri paradoks plus plus ironi. Ketika para pejabat dewan berendam nyaman di ruang ber-AC membicarakan agenda-agenda “terselubung” –sambil memutar tontonan tidak senonoh–, di bawah kawanan rakyat jelata harus rela menerjang kerasnya hidup di lorong-lorong sempit tanpa cahaya. Kesenjangan sosial tak lagi tabu di Ibu Kota Negara. “Kontrasmu bisu,” kata Iwan Fals.

Slogan pembangunan hanya menjadi narasi pembuka pertunjukan wayang sang penguasa. Apa jadinya nasib anak cucu kita di masa depan ketika jaminan kehidupan damai, sejahtera, dan sentosa tak ada? Tak ada yang menjamin berarti tak ada yang bertanggung jawab. Tak ada yang bertanggung jawab berarti tak ada lagi harapan untuk kehidupan lebih baik di masa datang. Kecuali jika Tuhan “masih sudi” memberikan karunia-Nya kepada negeri “para pembangkang” ini.

Benar apa yang ditulis Ranggawarsita (1802-1873) dalam Serat Kaladhita, “Amenangi jaman edan/Ewuh aya ing pambudi/Milu edan nora tahan/Yen tan milu anglakoni/ Boya kaduman melik /Kaliren wekasanipun /Ndilalah karsa Allah/Begja-begjane kang lali/ Luwih begja kang eling lawan waspada.” (mengalami zaman gila (edan)/sulit (diterima) nalar sehat/ikut gila tiada tahan/jika tidak ikut menjalani (kegilaan)/tidak kebagian harta benda/kelaparanlah akhirnya/takdir kehendak Allah/seberuntung-beruntungnya orang yang alpa/lebih beruntung (orang) yang ingat dan waspada).”

Maka, akan lebih bijaksana jika kita tetap istiqomah bersimpuh di keheningan malam, bermunajat seraya memanjatkan doa-doa yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Dia tetap sudi melimpahkan karunia-Nya untuk negeri ini. Untuk masa depan anak cucu kita. Serta lebih meningkatkan kesungguhan (niat) untuk menjauhkan diri, keluarga, dan masyarakat sekitar dari perilaku-perilaku koruptif yang hanya akan mencederai keutuhan bangsa dan negara tercinta. Sebab, melegitimasi keburukan berarti menggali lubang kubur sendiri. Ini petaka.[]

Penulis, Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun