KETIKA meluncur dari arah Bandung menuju Sumedang melalui jalur terjal di kawasan Cadas Pangeran, akan terlihat jelas di atas gapura besar di daerah Sumedang Selatan tulisan, “SELAMAT DATANG DI SUMEDANG KOTA BUDAYA.” Seperti itulah gambaran umum kota Tahu ini. Beragam kebudayaan tersimpan di sini. Selain dikenal sebagai Kota Kamelang (kota yang dirindukan.red), daerah yang pernah menjadi bagian utuh dari sejarah kebudayan lokal urang Sunda ini pun banyak menyimpan kekayaan alam dan budaya yang berlimpah ruah jika kita mau menelusurinya. [caption id="attachment_176397" align="aligncenter" width="336" caption="pintu masuk - koleksi pribadi"][/caption] Salah satu khazanah kebudayaan lokal yang ada di Sumedang adalah gua. Gua ini terletak di pelataran bukit kecil persis di tengah kota. Antara jalur Polresta Sumedang – Tarum Ciakar. Bukit ini dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan Bukit Kunci atau Gunung Kunci. Karena di area ini banyak ditumbuhi tanaman Kunci (Boiesenbergia pandurata). Letak Gunung Kunci cukup strategis yakni berdekatan dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Polres Kota Sumedang. Hal ini menyajikan kehangatan tersendiri bagi masyarakat di sekitaran Gunung Kunci -yang juga menjadi salah satu maskot kebanggaan masyarakat kota tahu ini selain Gunung Puyuh dan kuburan Cut Nyak Din, Pahlawan dari Aceh. Gua Pandjoenan Sejak tahun 1914, pada masa pemerintahan Bupati Aria Soeria Atmadja (1883–1919), Gunung Kunci yang memiliki ketinggian berkisar 485-665 meter dpl, dijadikan Belanda sebagai salah satu basis pertahanan militer ketika berkecamuknya Perang Dunia I (1914-1918). Pembuatan gua ini dikerjakan oleh masyarakat sekitar secara paksa. [caption id="attachment_176399" align="aligncenter" width="336" caption="lorong gua - koleksi pribadi"]
[/caption] Gua yang memiliki 17 pintu masuk ini terdiri atas tiga lantai dan terdapat empat bangunan utama yang berisi ruangan-ruangan di dalamnya sebanyak 22 ruangan. Masing-masing lantai difungsikan berdasarkan tingkat kemiliteran. Lantai dasar, sebagaimana ungkap Sukriman, salah seorang pegawai UPTD Taman Hutan Raya Gn Kunci dan Gn. Palasari, digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata (amunisi) dan mortir. Lantai ke dua digunakan sebagai kamar (tempat istirahat) para prajurit. Sedangkan, lantai ke tiga, digunakan sebagai tempat mangkal para perwira militer Belanda. [caption id="attachment_176401" align="aligncenter" width="448" caption="ruang senjata - koleksi pribadi"]
[/caption] Keelokan pesona alam di Gunung Kunci adalah karena letaknya yang sentral di Puseur Dayeuh. Lima ratus meter di sebelah utara alun-alun Kota Sumedang. Saat ini, Gunung Kunci dijadikan salah satu tempat wisata sejarah yang diperuntukan bagi kalangan umum, pelajar, dan mahasiswa yang datang untuk refreshing atau melihat-lihat kemistisan Gua Panjdoenan. Semilir angin yang keluar dari balik pepohonan Pinus (
Pinus merkusi) akan kita rasakan dengan mesranya ketika berada di puncak Gunung Kunci. Di sana, tersedia shelter yang digunakan sebagai tempat istirahat. Selain di tumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan pioner (terdapat 205 jenis flora), seperti: jati, mahoni, pinus, serta sedikit pohon salak, di sana juga disediakan berbagai macam wahana permainan untuk anak-anak, seperti
outbond dan tempat teater di bagian belakang gunung. [caption id="attachment_176402" align="aligncenter" width="448" caption="wahana bermain - koleksi pribadi"]
[/caption]
Tiket ekonomis Keindahan langit kota “
Kamelang” Sumedang akan terasa lebih hidup ketika dipandangi pada malam hari. Sinaran lampu kota yang berkelap-kelip bagaikan seorang perawan desa yang merindukan kekasihnya. Memancarkan pesona kehangatan dan menambah suasa romantis bagi dua sejoli untuk sekadar berefleksi melepas penat. Akomodasi menuju Gua Kunci terbilang mudah. Lokasinya strategis, seperti ditulis pada bagian awal, yakni di jalan by pass antara Terminal Ciakar – Polresta Sumedang. Tepatnya di Lingkungan
Bebedahan No. 56 RT 01 RW 09 Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. [caption id="attachment_176403" align="aligncenter" width="448" caption="karcis masuk - koleksi pribadi"]
[/caption] Pada hari-hari tertentu, Gua Panjdoenan sering disantroni pengunjung dari luar kota, seperti Bandung, Cirebon, Subang, dan lain sebagainya. Kesejukan udara terasa ketika pertama kali menginjakan kaki di depan pos penjagaan. Udaranya bersih menusuk alveoli dan cukup baik untuk melatih pernafasan dan olah pikiran. Harga tiket masuknya terbilang ekonomis untuk semua kalangan. Hanya Rp 3000 sepuasnya. Hal ini menjadi media alternatif bagi Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam menggulirkan program pendidikan sadar sejarah untuk masyarakat Sumedang (khususnya) dan masyarakat Indonesia (umumnya) secara konsisten dan menyeluruh. Di samping itu, bagi Anda yang kehabisan
batery HP dan lupa membawanya, silakan meminjam jasa
charging HP dengan biaya hanya Rp 1000 hingga
full batery. Letaknya di depan pos, seberang jalan utama.
Refleksi sejarah Jejak kehadiran Belanda di Sumedang dalam bentuk gua, merupakan salah satu bukti akan sejarah material yang sejatinya mampu kita sikapi secara keilmuwan, yakni sesuai dengan konteks keberagaman masyarakat Indonesia. Toh, semua sarana dan prasarana tinggalan budaya para penjajah dulu, mulai dari bangsa Jepang hingga Belanda, kebanyakan dikerjakan dan diselesaikan oleh masyarakat kita sendiri dengan susah payah. Hanya berbekal penderitaan mengorbankan jiwa, raga, dan harta. [caption id="attachment_176404" align="aligncenter" width="336" caption="pintu gua - koleksi pribadi"]
[/caption] Oleh sebab itu, akan lebih arif dan bijaksananya seandainya kita sudi untuk meluangkan waktu sejenak mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang ada di daerah kita masing-masing, terlebih ketika kita bisa mengunjunginya dengan mengungkap dan mengkaji nilai-nilai kemanusiaan (
humanity) yang ada di dalamnya. Kesadaran akan nilai kejujuran dalam sejarah diharapkan mampu menumbuhkembangkan sikap toleransi yang lebih proporsional secara menyeluruh. Melihat realitas masyarakat kita dengan segala macam permasalahan yang tak kunjung selesai, sudah semakin meradang. Nah, kini saatnya kita mulai berfikir secara benar. [caption id="attachment_176405" align="aligncenter" width="448" caption="panorama - koleksi pribadi"]
[/caption] Akhirnya, mulai dari diri sendiri dengan menanamkan kesadaran akan pentingnya membangun mental juang dan juga menghargai nilai-nilai kebudayaan masyarakat masa lampau dengan berbekal pengetahuan tentang sejarah, sudah tentu kiranya walaupun sedikit akan menghadirkan kondusifitas bagi lingkungan di mana kita pijak.***
Dian Kurnia, menetap di SumedangBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya