Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Sri, Sang Pelari Cilik

19 Oktober 2013   08:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dianingtyas Kh. (No: 14)

Hari masih pagi. Sinar matahari hangat menyelusup di sela dedaunan. Burung-burung berkicau di ranting jambu yang mulai kembang. Hawa sejuk menyentuh  kulit Sri ketika ia membuka jendela kayu di kamarnya, kamar yang ditempatinya. Kamar itu ditempatinya bersama nenek karena rumah sederhananya hanya memiliki dua buah kamar. Satu kamar untuk emak dan Nining, adiknya. Satu kamar lagi untuk dia dan neneknya.

Nenek sudah tua, raganya sudah sakit-sakitan. Namun, nenek masih bisa membantu memasak di rumah. Sedangkan ibunya, menjadi buruh cuci dan menyetrika di rumah tetangga yang membutuhkan. Tekadang ibu juga membantu di ladang orang yang membutuhkan tenaganya. Ayahnya meninggal dunia ketika Sri masih kelas 1 SD, jatuh dari lantai tiga proyek bangunan  yang sedang digarapnya. Semasa hidupnya, ayah Sri bekerja sebagai tukang batu.

Sri menghirup sejuknya udara pagi dengan hati lapang. Belum setengah tujuh dan ia sudah siap berangkat ke sekolah. Hari ini jam pertama adalah olahraga, pelajaran yang sangat disukainya.  Apalagi, Pak Harto berjanji untuk mengajak anak-anak lomba lari pagi ini. Sri memang sangat suka olahraga, terutama berlari.  Kakinya lincah sekali jika berlari, mungkin selincah kijang. Ia selalu menjadi yang tercepat di sekolahnya.

“Berangkat, Sri?” tanya Emak.

“Ya, Mak,” sahut Sri sambil mencium tangan emaknya. “Nanti Sri mau lomba lari di sekolah. Doakan Sri, ya Mak.”

“Tapi sepatumu…”

“Tak apalah, Mak. Masih bisa dipakai. Nanti kalau lari, Sri akan lepas sepatu saja.”

“Kakimu tak sakit?”

“Yah, daripada Sri mesti kehilangan sepatu ini,” sahutnya sambil mengamati sepatunya yang sudah usang.

Sepatu yang dipakai Sri sekarang ini memang sudah dipakainya selama dua tahun. Itu pun bukan sepatu baru melainkan pemberian dari Mbak Lala, putri budhe Mansyur yang sering mengupah emak untuk bekerja di rumahnya. Jadi, kalau hari ini sepatu itu sudah usang dan sedikit sempit, tentulah memang karena sepatu itu sudah saatnya diganti.

Sampai di sekolah, halaman sudah ramai. Hari ini memang hari bebas pelajaran karena tes semesteran baru saja usai. Biasanya saat-saat begini para guru sibuk melakukan koreksi dan anak-anak melakukan lomba-lomba untuk mengisi waktu luang.

“Siap lari, Sri?” tanya Pak  Harto.

“InsyaAllah, Pak,” sahut Sri mantap.

“Tapi, kali ini lawanmu dari SD 2 dan 3, lho. Bukan hanya dari sekolah kita.”

“Memangnya ada apa, Pak?”

“Semacam perlombaan persahabatan. Sekalian nanti persiapan untuk mengikuti lomba lari lima kilometer untuk memperingati HUT kota kita.”

“Kapan, Pak?”

“Dua minggu lagi. Kamu siap-siap saja, ya.”

“Tapi, Pak…,” kata Sri sambil menunduk memandangi sepatunya.

“Kenapa?”

“Ah, tak apa, Pak. Sri akan berusaha,” katanya sambil bersiap melakukan pemanasan.

***

Sri memenangkan lomba lari hari ini dengan ringan. Lawannya jauh tertinggal di belakang,  tak sebanding dengan kecepatan lari Sri yang secepat kijang. Meskipun ia tak bersepatu, lawan-lawannya dapat dilibasnya dengan ringan. Sayang, kakinya menginjak duri ketika mencapai finish sehingga ia terpaksa berjalan dengan kaki berjingkat karena kesakitan.

“Kenapa kakimu, Sri?” tanya Bu Win, guru kelas 4 yang kebetulan ikut menyaksikan pertandingan itu.

“Kena duri, Bu,” sahut Sri dengan meringis.

“Nggak pakai sepatu?”

Sri menggeleng.

“Kenapa?”

“Sudah rusak, Bu, buat sekolah saja, sayang kalau buat berlari.”

Mendengar perkataan Sri, Bu Win terkesiap. Beliau tak menyangka keadaan Sri separah ini.

“Boleh Ibu lihat?”

Sri pun segera ke kelas dan kembali dengan menenteng sepatu usangnya. Bu Win mengamati sepatu itu baik-baik.

“Memang sudah rusak, Sri,” katanya.

“Iya, Bu. Emak masih mengumpulkan uang untuk beli sepatu.”

“Padahal 2 minggu lagi kamu harus mengikuti lomba, ya,” kata Bu Win. Sri menunduk.

“Tunggu di sini sebentar, Sri,” kata Bu Win kemudian. Bu Win lalu masuk ke kantor dan keluar sesaat kemudian.

“Ini Ibu ada sedikit uang.  Pakailah uang ini untuk beli sepatu baru, biar kamu bisa menang dalam lomba lari nanti.”

“Tapi, Bu,’ kata Sri menolak pemberian Bu Win.

“Terimalah, Sri. Ibu ikhlas. Kamu sangat memerlukan sepatu itu.”

“Emak pasti tak boleh, Bu,” ujar Sri.

“Kenapa tak boleh?”

“Emak selalu melarang Sri meminta uang dari orang lain, Bu.”

“Tapi sekarang lain, Sri. Kamu tak memintanya. Ibu sendiri yang mau. Ayo, terimalah,” kata Bu Win setengah memaksa.

Sri masih ragu menerima uang pemberian Bu Win. Namun, Bu Win memaksa Sri untuk menerima uang itu. Akhirnya, Sri pun menerima uang dari Bu Win. Kepada gurunya itu, Sri mengucapkan terimakasih berulang-ulang.

Dengan langkah riang, Sri pun pulang ke rumah.  Ia tak sabar ingin segera menceritakan kemenangannya kepada Emak. Emak pasti senang.  Apalagi Emak tak perlu lagi mengumpulkan uang untuk Sri karena uang pemberian Bu Win sudah cukup untuk membeli sepatu baru.  Namun, ada yang berbeda ketika Sri sampai di rumah.

Ada banyak orang berkerumun di teras rumahnya yang sempit. Melihat kerumunan orang itu, Sri pun segera bergegas menyibaknya. Segera ia menuju ke ruang tamu, pusat kerumunan itu. Ada emaknya yang sedang menangis di sana, sambil memeluk Nining, adiknya.

“Ada apa, Mak?”

“Nining, Sri… Nining….”

“Nining kenapa?”

“Mak nggak tahu, Sri. Tiba-tiba tubuhnya kejang dan muntah-muntah. Gimana ini Sri?”

“Bawa ke klinik, Mak.”

“Mak nggak pegang uang sama sekali, Sri. Mau dibayar pakai apa?”

“Sudahlah, Mak. yang penting Nining selamat dulu,” kata Sri cepat.  “Sri ada uang, Mak. Ayo segera bawa Nining,” kata Sri sambil mengulurkan uang pemberian Bu Win kepada emaknya.

“Dari mana uang ini, Sri?” tanya emaknya.

“Pemberian Bu Win. Ayolah, Mak, angkat Nining,” kata Sri. Tak tega ia melihat adiknya yang kejang-kejang dari tadi. Adiknya masih kecil. Ia masih dalam kandungan emaknya ketika ayah meninggal dulu. Oleh karenanya, gizinya tak begitu terurus karena emak sibuk mencari nafkah.

“Biarlah kubonceng, Sih,” kata Lik Bejo, tetangga sebelah. Warsih, emak Sri pun segera mengangkat tubuh kurus Nining. Sri mengikutinya dari belakang, dengan naik dokar milik Pak Mardi. Tentu saja, Sri membawakan seperangkat baju milik Nining dan emak jika nanti Nining terpaksa harus opname.

Nining sakit tipus, begitu kata Pak Dokter. Karena panasnya tinggi, ia menderita kejang-kejang. Karena panasnya yang tinggi itulah maka Nining harus opname untuk sementara waktu. Biaya untuk rumah sakit memang bisa ditanggung Jamkesmas, tetapi untuk biaya hidup emak selama menunggui Nining, mereka harus sedia uang. Karena emak tak bekerja, maka uang Sri yang sedianya digunakan untuk membeli sepatu terpaksa dipakai dulu oleh emak. Sri pun pasrah, yang penting adiknya sembuh. Tak apalah lomba memakai sepatu usang itu. Kalau nanti ia menjadi juara, toh hadiahnya lebih dari cukup untuk membeli sepatu.

“Sri, Mak minta maaf,” kata emaknya pada suatu malam ketika emak baru saja pulang ke rumah. Nining sudah sembuh dan bagi Sri, kesembuhan Nining adalah anugerah yang luar biasa bagi keluarga mereka.

“Minta maaf kenapa, Mak?”

“Uang yang harusnya kamu pakai buat beli sepatu itu…”

“Tak apa, Mak. Sri masih bisa mengikuti lomba itu dengan sepatu lama Sri,” ujar Sri menghibur emaknya.

“Benar, Sri?”

Sri mengangguk. “Jangan khawatir, Mak. Mak doakan saja Sri menang, jadi hadiahnya bisa buat beli sepatu baru untuk Sri.”

“Pasti itu, Sri,” ujar emak sambil mengelus kepala Sri. Dalam hati ia bersyukur, memiliki seorang anak yang patuh dan rela berkorban demi keluarganya.

***

Hari perlombaan pun tibalah. Sri datang ke kompleks gedung olahraga diantarkan oleh Pak Harto pagi-pagi sekali. Lomba lari 5 kilometer itu memang dimulai pukul enam pagi. Sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Suasana ramai sekali.  Para peserta berdatangan dari semua penjuru kabupaten, bahkan ada yang berasal dari luar kota. Semua siap bertanding. Anak-anak usia SD seperti Sri mengikuti lomba lari 5K. sedangkan yang dewasa mengikuti lomba lari 10 K. Hadiah yang diperebutkan cukup besar, yaitu total uang sebesar lima puluh juta rupiah.  Juara pertama lomba lari 5K tingkat SD akan mendapatkan hadiah sebesar lima juta rupiah. Sungguh, jumlah yang tak sedikit bagi Sri. Bukan hanya tak sedikit, tapi sangat banyak malah.

Melihat peserta yang sedemikian banyak, Sri mendadak merasa minder. Tiba-tiba saja perutnya merasa mulas. Apalagi jika mengingat sepatunya yang sudah usang itu. Ingin rasanya ia kembali pulang ke rumah dan tak usah mengikuti lomba itu.

“Kenapa, Sri? Mukamu pucat.”

“Tak apa, Pak,” elak Sri. Ia tak mau mengecewakan gurunya yang telah meluangkan waktu hanya untuk mengantarkan Sri.

“Tak usah takut,” kata Pak Harto. “Kamu hanya perlu berlari untuk dirimu sendiri. Jika kamu sudah berhasil mengalahkan rekormu selama ini, berarti kamu sudah menang,” kata Pak Harto.

“Baik, Pak,” kata Sri. Benar kata Pak Harto, ia cukup berlari sekencang-kencangnya untuk bisa mengalahkan waktu terbaiknya selama ini. Menang atau kalah, itu biasa dalam sebuah perlombaan.

Sesaat kemudian, Sri sudah melakukan pemanasan dan bergabung dengan peserta yang lain. Kemarin ia sudah diberi petunjuk oleh Pak Harto supaya menjaga larinya  tetap stabil pada kilometer awal dan kemudian lari sekencang-kencangnya pada kilometer akhir. Hal ini biasanya berbalik dengan peserta lain yang kebanyakan lari sekencang-kencangnya pada kilometer awal, tetapi kemudian kehabisan tenaga pada kilometer akhir.  Dengan demikian kemungkinan besar Sri tidak akan menjadi yang terdepan pada kilometer awal, tetapi tetap bisa melaju dengan kencang pada kilometer akhir ketika lawannya sudah mulai kelelahan.  Sri siap. Ia anak yang cerdas  dan patuh sehingga bisa mencerna dan melakukan semua yang diperintahkan Pak Harto kepadanya.

Setelah start, Sri pun lari dengan kecepatan stabil seperti yang diperintahkan oleh Pak Harto. Pak Harto mengikutinya dengan sepeda motor dari belakang. Dan benar. Seperti perkiraan Sri, kebanyakan peserta berlari sekencang-kencangnya tetapi kehabisan tenaga ketika baru melaju separo perjalanan. Hasilnya, pada kilometer ketiga, Sri sudah berhasil  melampaui semua peserta yang melaju mendahuluinya. Ia menjadi yang terdepan sekarang.

Namun, tiba-tiba dirasakannya sol sepatunya memberat. Beban langkahnya menjadi kian berat, apalagi dia juga sudah mulai kelelahan. Ketika ia menengok sepatunya, tahulah Sri bahwa sol sepatunya sudah mendekati lepas.  Karena langkahnya memberat, peserta yang berasa di belakangnya pun mendahului Sri.

Pak Harto terus memberikan semangat pada Sri agar tetap melaju, tetapi sol sepatu itu semakin mengkhawatirkan. Akhirnya, tanpa pikir panjang, Sri pun melepas sepatu itu, dan larilah ia tanpa memakai sepatu. Untunglah ia biasa berlari tanpa sepatu, meskipun telapak kakinya yang pernah terkena duri masih terasa sakit. Apalagi, sekarang kaki itu mesti menapaki jalan beraspal yang keras, bisa dibayangkan betapa beratnya beban lari Sri kali ini.

“Tinggal setengah kilometer, Sri. Kamu harus sprint jika ingin menang,” kata Pak Harto. “Ayo, semangat, perjuanganmu tinggal sebentar. Hanya satu orang di depanmu dan kamu bisa.”

Sri  tak menjawab perkataan Pak Harto, tetapi mendengar kalimat gurunya itu,  semangatnya pun terlecut. Tak dihiraukannya telapak kakinya yang terasa perih. Yang penting ia bisa melesat secepat kijang, mengalahkan apa yang telah dilakukannya selama ini. Dan, Sri bisa. Mendekati finish, ia bisa menyalip anak yang berada di depannya. Ia pun berhasil menjadi juara pertama.

“Berhasil, Sri!” seru Pak Harto. Gurunya ini memberikan ucapan selamat sambil menepuk-nepuk pundak Sri. Bu Win yang ikut menyusul ke tempat finish memeluk Sri dengan air mata berlinang.

“Terima kasih, Bu, terimakasih, Pak,” kata Sri kepada gurunya.

Ia begitu bahagia bisa memenangkan lomba itu meskipun kakinya terasa perih. Ternyata  kakinya berdarah. Tanpa disadarinya, luka yang dulu terkena duri, terkena kerikil  tajam sehingga berdarah.

“Kakimu berdarah, Sri,” ujar Bu Win. “Kamu tak pakai sepatu?”

“Sepatu Sri jebol di tengah jalan tadi, Bu. Terpaksa Sri lepas.”

“Sepatu baru bisa jebol? Kamu beli yang harganya berapa?”

“Maaf, Bu,” kata Sri menunduk. “Sri tak jadi beli sepatu. Uang dari Bu Win dulu Sri berikan kepada Ibu untuk pengobatan Nining.”

Sri pun kemudian bercerita tentang Nining yang kejang-kejang ketika ia pulang sekolah. Bu Win yang mendengarkan cerita Sri menjadi terharu mengetahui pengorbanan Sri kepada keluarganya.

“Kalau begitu, setelah acara ini selesai, kamu langsung Ibu antar ke toko sepatu,” kata Bu Win.

“Ah, nggak usah, Bu. Nanti biar Sri beli sendiri dengan uang hadiah Sri.”

“Tak usah, Sri. Kamu tabung saja uang itu untuk biaya pendidikanmu nanti. Hari ini kamu telah membuktikan kemampuanmu menjadi yang terbaik di kabupaten ini. Ibu harap, suatu saat nanti kamu akan menjadi yang terbaik di republik ini, bahkan membawa nama Indonesia ke level dunia. Nah, satu-satunya partisipasi Ibu ya dengan membelikanmu sepatu. Sepatu khusus lari yang engkau butuhkan saat ini.”

“Bu Win…” tak kuasa Sri berkata-kata melihat ketulusan gurunya itu. “Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak.”

Bu Win tersenyum kepada Sri.

“Yang penting kamu berusaha sekuat tenaga, Sri. Tuhan pasti akan memberikan jalan.”

Sri pun mengangguk sambil tersenyum kepada Bu Win.

Dari arah sekretariat terdengar suara panitia yang memanggil para juara. Sri pun mendekat meskipun dengan kaki  tanpa sepatu.  Dia berharap, pada perlombaan mendatang, ia bisa menorehkan rekor yang lebih baik daripada perolehannya hari ini. Semua harus dengan kerja keras, latihan tekun, dan disiplin.  Sri siap menantang masa depan dengan berlari.

***

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Event Festival Fiksi Anak

Silakan Bergabung dengan Grup Fiksiana Community di Facebook.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun