Mohon tunggu...
Dianingtyas Kh.
Dianingtyas Kh. Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Biasa saja, tak ada yang istimewa. http://khristiyanti.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia, Si Upik Abu Penyelamat Rata-rata

9 September 2012   13:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sih yang tak kenal dengan Upik Abu alias Cinderella? Yap, Cinderella, dongeng dari mancanegara yang diadopsi oleh banyak cerita baik berupa dongeng dengan latar zaman antah berantah maupun dongeng berlatar zaman modern. Dongeng tentang anak tiri yang disia-sia oleh ibu dan saudara tirinya sampai-sampai semua pekerjaan rumah ia yang pegang. Bahkan, ia pun kemudian dijuluki Si Upik Abu karena tubuh dan pakaiannya penuh dengan abu karena terlalu sibuk bekerja di dapur.

Dongeng tentang anak tiri yang tersia-sia ini begitu akrab dalam masyarakat sehingga cerita-cerita sejenis pun bermunculan, dari zaman dahulu hingga sekarang.  Di Indonesia, ada dongeng Bawang Merah Bawang Putih yang bahkan kemudian diadaptasi dengan judul yang sama dalam sebuah sinetron beberapa tahun yang lalu. Bahkan, saking mendarahdagingnya cerita tentang anak tiri di masyarakat, stigma negatif tentang ibu tiri pun terbentuk sampai sekarang. Di mana ada ibu tiri, di situ ada anak yang tersia-sia. Padahal, menurut almarhum Ateng-Iskak, ibu tiri tak sekejam ibu kota, hehehe.

Lalu, apa hubungannya Bahasa Indonesia dengan Upik Abu alias anak tiri ini? Tentu tak ada hubungannya sama sekali. Namun, istilah ini dimunculkan oleh Kepala Dinas Pendidikan di kota kami, ketika saya dan kawan-kawan pengurus MGMP Bahasa Indonesia memperkenalkan diri kepada beliau beberapa waktu yang lalu. Dalam bincang-bincang kami ketika itu, beliau menyatakan bahwa Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang sangat penting, tetapi dalam kenyataannya, Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang diabaikan, ibaratnya seperti anak tiri.

Kenyataan di lapangan memang demikian adanya. Dengan adanya sekolah-sekolah bertaraf internasional –meskipun kebanyakan baru dalam taraf  bahasa saja, belum sampai pada tingkatan sarana dan kualitas SDM guru- Bahasa Indonesia otomatis menjadi mata pelajaran yang terpinggirkan. Apa gunanya mempelajari Bahasa Indonesia jika yang digunakan sebagai alat komunikasi adalah bahasa Inggris?

Selain itu, di sekolah-sekolah non-RSBI/SBI, mata pelajaran Bahasa Indonesia pun tetap saja diabaikan meskipun bahasa pengantarnya tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Mengapa?  Tentu saja karena bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu, yang sudah dikenal anak sejak ia lahir -minimal sejak ia masuk TK/SD. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, mata pelajaran ini hanya dipandang sebelah mata saja. Beda halnya dengan mata pelajaran eksakta seperti Matematika dan IPA yang selalu mendapat tempat di hati masyarakat karena menurut mereka tingkat kesulitannya sangat tinggi. Kebanyakan orang akan lebih bangga jika anaknya bersekolah di jurusan IPA daripada jika anaknya masuk jurusan Bahasa, meskipun sebenarnya minat anak pada bahasa.  Oleh karena itu, les-les mapel MIPA dan Bahasa Inggris jauh lebih laris manis daripada les mapel Bahasa Indonesia. Bukankah kebanyakan orang juga memberikan cap bahwa anak yang masuk eksakta itu pandai dan yang masuk jurusan bahasa itu kurang pandai?

Anak tiri tulang punggung keluarga. Agaknya  istilah ini cocok juga. Mengapa? Karena meskipun dalam kesehariannya Bahasa Indonesia hanya dipandang sebelah mata, nanti pada saat ujian nasional, mapel inilah yang menjadi pendongkrak nilai rata-rata yang menjadi penentu kelulusan. Ini terutama terjadi pada sekolah-sekolah pinggiran yang input siswanya cenderung rendah sehingga pemahaman mereka terhadap semua ilmu, utamanya ilmu eksakta yang sudah mendapat stempel sulit itu juga menjadi rendah. Satu-satunya mata pelajaran yang mereka anggap bisa mendongkrak rata-rata nilai, ya hanya Bahasa Indonesia, si anak tiri ini. Terkadang sebal juga jika ada orang yang bilang wajar saja kalau Bahasa Indonesia dapat nilai bagus, kan memang bahasa sehari-hari. Namun, jika nilainya jelek, lantas dihujat sedemikian rupa sehingga rasanya tak tampak sama sekali adanya penghargaan atas prestasi nilai yang teraih. Berbeda halnya jika yang mendapatkan nilai bagus adalah mata pelajaran Bahasa Inggris, IPA, dan Matematika. Wah, pujiannya sungguh menyentuh langit. Namun, jika jelek, selalu akan ada pemakluman karena mata pelajaran ini memang dianggap susah. Tak adil rasanya, memang serupa benar dengan nasib anak tiri.

Lalu, bagaimana keadaan si anak tiri ini di sekolah-sekolah bertaraf internasional?  Di sini, selamanya Upik Abu  memang tak akan berubah menjadi putri cantik di sisi sang pangeran tampan karena selama ini nilai rata-rata Bahasa Indonesia memang selalu menjadi yang paling rendah. Simpulan ini saya ambil berdasarkan nilai UN di kota saya.

Lalu, akankah kita membiarkan hal ini terjadi terus menerus? Saya khawatir, jika hal ini terus dibiarkan, lama-lama Bahasa Indonesia akan semakin terpuruk meskipun statusnya sebagai bahasa nasional. Saya khawatir, kebanggaan orang berbahasa Indonesia akan semakin terkikis. Merunut pada perjalanan Bahasa Jawa yang telah di”selamatkan” oleh orang Belanda, sehingga untuk menempuh S3 saja mesti di Belanda karena literatur Jawa banyak diangkut ke sana, mestinya bangsa Indonesia sudah mulai tanggap dari sekarang untuk tetap menggunakan, mempertahankan, dan mengembangkan bahasa Indonesia sehingga menjadi bahasa nasional dan bahasa negara yang bisa dibanggakan. Jangan sampai nantinya kita mesti belajar Bahasa Indonesia ke luar negeri karena mereka lebih pandai berbahasa Indonesia ketimbang kita. Tak usahlah kita bangga kalau bisa cas cis cus dalam bahasa mancanegara sehingga melupakan bahasa sendiri. Tak perlu kita terkesima dengan pujian orang karena bahasa gado-gado kita diselingi istilah asing sehingga kelihatan pintarnya. Dengan adanya kebanggaan terhadap bahasa nasional ini, diharapkan popularitas bahasa Indonesia semakin meningkat.

Lalu, siapa yang hendaknya memulai? Tentu saja kita sebagai bangsa Indonesia. Kita yang mengaku bertumpah darah Indonesia  harusnya berbangga hati memiliki bahasa kesatuan ini. Bangga di sini tentu saja berkaitan dengan sikap kita sebagai pengguna bahasa.  Bolehlah kita mahir berbahasa asing, tetapi tak usahlah kita menunjukkan secara berlebihan kepada orang lain. Perlu adanya penanaman pada diri tentang makna peribahasa: seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Di Kompasiana ini saya tahu banyak kompasianer yang mahir berbahasa Inggris, tetapi melihat tulisan dan komentar mereka, tulisan-tulisan mereka justru menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak ada kesan bahwa mereka ingin menunjukkan diri mahir berbahasa Inggris.

Di sisi lain, di televisi seringkali kita lihat para tokoh –pejabat, politikus, artis, selebritis, dll- yang acapkali menggunakan istilah asing yang tak tepat. Ini sungguh memprihatinkan karena selain menunjukkan bahwa mereka tak cinta bahasa nasional mereka, mereka pun justru menunjukkan kekurangan mereka, meskipun mungkin mereka mungkin merasa lebih keren jika menggunakan istilah asing -dan terkadang dengan logat yang dibuat-buat-. Seandainya saja mereka bisa sadar diri akan hal ini ….

Bukan hal yang mudah untuk terus mempertahankan kebanggaan berbahasa Indonesia di tengah gempuran globalisasi. Perlu adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk terus menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia –terutama yang baik dan benar- di kalangan masyarakat. Salah satunya dengan mewajibkan semua aparat pemerintah untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.  Juga, dengan adanya dukungan dari pihak swasta untuk memberlakukan hal yang sama. Ada alat uji yang pernah saya tuliskan di sini. Sayangnya, UKBI sendiri belum bisa tersosialisasi dengan baik sehingga tak banyak orang yang tahu tentang UKBI. Kebanyakan orang lebih mengenal TOEFL ketimbang UKBI yang mengukur kemampuan kita berbahasa Indonesia. Ini PR pemerintah, Balai Bahasa, dan kami, sebagai pengurus MGMP. PR yang tak ringan sebenarnya. Anda mau membantu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun