Selesai bertemu dengan teman yang punya toko di jalan Perniagaan, Jakarta Kota, kami bareng keluar dari tokonya, karena memang sudah pukul 17.00, saatnya dia tutup toko dan pulang ke rumah. Saat kami sampai di luar toko, anak buahnya sudah ngumpul, bersiap untuk pulang. Saat mobil sang teman bergerak meninggalkan jalan Perniagaan menuju arah Jembatan Lima, saya berjalan melawan arah menuju jalan Toko Tiga, kemudian belok kanan memasuki jalan Pancoran dan berjalan lurus menuju Harco Glodok, jalan Hayam Wuruk. Â
Setelah sampai di depan Orion Glodok, jalan Hayam Wuruk, saya agak bingung mau naik  busway di halte Harco Glodok, atau di halte Stasiun Kota. Namun karena mengharapkan bisa mendapatkan tempat duduk di dalam bus, kaki saya bergerak ke arah utara, menuju stasiun Kota.Â
Ketika berjalan menuju halte busway Stasiun Kota, timbul pikiran lain. Melihat angkot M 08 jurusan Tanah Abang bersileweran begitu rapat, datang lagi kebimbangan, bagaimana kalau saya naik angkot saja biar lebih cepat? Secara refleks tangan saya melambai saat sebuah angkot M 08 melaju dalam keadaan kosong, namun karena posisinya di tengah dan agak cepat, dia berhenti agak jauh dari posisi saya berdiri. Dalam posisi terdesak seperti itu, sebuah kebimbangan lain segera menyergap lagi, "bagaimana kalau dia nanti ngetem lama di beberapa persimpangan dan jalan santai mencari penumpang, sehingga saya tidak bisa tiba menjelang magrib?"
Dalam waktu sepersekian detik itu saya kembali melambaikan tangan kepada angkot yang sudah menepi sebagai pertanda saya tidak jadi naik dan saya justru mempercepat langkah menuju halte busway Stasiun Kota.Â
Saat berjalan itulah sebuah kesadaran muncul, saya telah berdosa mengecewakan sang pengemudi yang mengharapkan rejekinya datang melalui saya. Mungkin sang pengemudi tengah mengomel atau setidaknya menggerutu dalam hati telah dipermainkan seorang calon penumpang yang batal naik ke angkot dia. Rasa berdosa itu kemudian mengiringi perjalanan saya menuju halte busway. Walau mulut beristigfar tanpa putus, namun hati tetap dipenuhi penyesalan.
Tiba di halte busway Stasiun Kota, tak menunggu lama menunggu bus datang. Sesuai dengan harapan, saya mendapatkan tempat duduk di dalam bus. Bayangan akan tiba tepat waktu di kost dan segera menuju masjid untuk berbuka bersama dan shalat magrib berjamaah sudah terbayang. Apalagi setelah bus berangkat dan memasuki jalan Hayam Wuruk, jalanan tidak begitu ramai.
Asyik fban setelah puasa fb 3 hari, tak terasa saya sampai di Harmoni, lihat jam di hp, pukul setengah enam lewat beberapa menit . Sudah terbayang dua halte lagi, saya akan tiba di halte Bank Indonesia, setelah itu nyambung naik ojek ke Kota Bambu.Â
Busway melaju meninggalkan Harmoni Central Busway, mulailah keanehan itu datang. Biasanya busway akan meluncur lurus menuju jalan Majapahit dan kemudian nyambung ke Merdeka Barat melewati halte Monas dan lurus lagi masuk jalan Thamrin, tempat beradanya halte Bank Indonesia dimana nanti saya akan turun.
Dengan berbeloknya busway melalui jalan Juanda, saya memperkirakan busway sengaja menghindari jalan Merdeka Barat, dimana Mahkamah Konstitusi berada, mungkin disana masih ada demo, sehingga busway menghindar lewat disana. Saya masih punya harapan busway ini akan melewati jalan Thamrin, apakah itu melewati Merdeka Selatan, atau ada alternatif lainnya yang saya belum tahu.
Busway masih melaju normal melewati halte Pecenongan dan Juanda lalu belok kiri dan terus menuju Pasar Baru. Dalam perkiraan saya busway hanya akan lewat di setiap halte tersebut. Tapi rupanya tidak, karena bus yang saya tumpangi berhenti di setiap halte tersebut seakan bus ini tengah melewati jalur regulernya.Â
Setelah berhenti di halte Pasar Baru busway melaju memasuki jalan Gedung Kesenian lalu belok kanan masuk jalan Lapangan Banteng Utara terus belok kiri lagi melewati jalan Katedral. Saat melewati jalan Katedral ini saya menduga dan berharap bus akan belok kanan melalui Pejambon, dan nanti masuk jalan Merdeka Timur lalu kekanan lagi masuk jalan Merdeka Selatan dan akhirnya tiba di Bunderan Bank Indonesia, asyiiik...!
Tapi rupanya saya kecele, busway ternyata belok kiri lagi melewati jalan Lapangan Banteng Selatan dan menyambung ke jalan Wahidin hingga tembus dan belok kanan di jalan Gunung Sahari.Â
Mengetahui bahwa jalur bus yang saya tumpangi semakin menjauh dari tujuan akhir saya, timbul sebuah kesadaran apakah ini teguran atau hukuman dari Allah atas apa yang saya lakukan terhadap pengemudi mikrolet M 08 tadi? Sebab bila saya naik mikrolet tersebut, walaupun belum sampai ke tujuan, setidaknya saya semakin dekat ke Tanah Abang dan hanya tinggal jalan kaki saya sudah sampai di Kota Bambu.
Menyadari hal tersebut dan menyesal atas apa yang telah saya lakukan, saya istigfar berulang kali. Memohon ampun kepada Allah atas dosa yang telah saya perbuat. Saya jadikan perjalanan saya yang diluar keinginan dan rencana ini adalah sebagai hukuman atas dosa yang telah saya perbuat beberapa saat yang lalu. Saya tak lagi memikirkan kemana bus yang saya tumpangi ini akan berjalan, di setiap halte yang dilewati bus ini terbersit keinginan hendak turun, dan bertukar angkutan dengan yang lain. Tapi hal tersebut tidak saya lakukan, karena tidak ingin menghindar dari hukuman ini. Kalaupun itu saya lakukan, bisa jadi hukuman saya akan bertambah dengan hal yang tak pernah saya ketahui.
Bagaikan tersangka atau orang hukuman yang tengah menjalani putusan hakim, saya tak lagi menghiraukan kemana bus ini menuju, dimana saya akan berbuka puasa dan shalat magrib.
Dari arah jalan Gunung Sahari bus melaju melewati jembatan layang Senen, masuk ke jalan Kramat Raya, Salemba, Matraman lalu belok kanan melewati jalan Proklamasi, Matraman. Dipertengahan jalan Proklamasi bus belok kiri masuk jalan Tambak hingga tembus ke terminal Manggarai. Dari terminal Manggarai bus melaju menyusuri jalan Galunggung hingga sampai di Dukuh atas, lalu belok kiri masuk ke Jalan Sudirman. Halte pertama yang disinggahi bus adalah halte Bendungan Hilir. Bus tidak bisa masuk halte Dukuh Atas dan Setia Budi karena terhalang oleh tembok beton pembatas jalur busway.
Beberapa saat melewati Pasar Rumput, saya mendengar kumandang azan magrib. Petugas yang berdiri di dekat pintu bus juga sudah mengatakan, saat berbuka puasa telah tiba. Namun saya belum bisa berbuka puasa, karena tidak membawa air minum. Memang ada kurma yang di bagi teman yang saya temui tadi, namun saya tidak berani memakannya karena takut keselek di tenggorokan.
Saya baru bisa berbuka puasa saat tiba di halte Bendungan Hilir. Rupanya di ujung selatan halte Bendungan Hilir tersebut tengah diadakan buka bersama antar pegawai bus Transjakarta, da n sedang ada tausiah dari seorang ustadz. Saya lalu berjalan ke arah utara halte. Di samping ruang tiket dekat pintu masuk halte, saya melihat tumpukan karton air minum mineral. Kebetulan salah seorang petugas juga sedang mengambil air minum.
Satu kejadian tak terduga saat saya menyentuh pundak sang petugas, dia tersedak saat meminum air dari gelas plastik yang ada di tangannya. Saya lalu minta maaf karena telah membuat dia terkejut dan tersedak. Saya kira dia akan marah kepada saya, dan itu harus saya akui kalau penyebab tersedaknya dia itu karena saya. Alhamdulillah dia tidak marah, dia hanya bilang kalau saya telah membuat dia kaget. Kembali saya minta maaf, sambil bertanya boleh saya minta air mineral yang ada di kardus untuk berbuka puasa. Dia mengizinkan dan memperilakan saya mengambil air mineral itu
Setelah berdoa dan membaca bismillah, saya lalu membatalkan puasa dengan air mineral tersebut. Sebuah rizki tak terduga di halte busway. Selesai berbuka puasa, kewajiban selanjutnya adalah shalat magrib. Saya melihat sekeliling kalau ada tempat buat shalat. Di ujung selatan halte saya melihat beberapa orang sedang shalat magrib, tapi untuk sampai kesana saya harus melewati jamaah yang sedang mendengarkan tausiah Ramadhan, tentu saja saya tidak mungkin melewati mereka, apalagi saya hanyalah penumpang bus yang sedang lewat, bukan bagian dari karyawan yang ada disana.
Takut kelamaan menungu bus yang menuju Slipi, saya lalu naik bus lagi menuju halte Bundaran Senayan. Saat sampai di halte Bundaran Senayan inilah saya teringat ada sebuah mushalla di basemen gedung Ratu Plaza yang berada di seberang halte bus. Tanpa berpikir panjang lagi saya lalu keluar dari halte menuju gedung Ratu Plaza. Saat memasuki halaman parkir, saya bertanya kepada petugas yang ada di gerbang, apakah mushalla yang berada di basemen masih ada. Saat dijawab ada, saya bergegas turun ke basemen yang saat itu menjadi tempat parkir bagi mereka yang akan berbelanja di Lotte.
Saat berjalan ke mushalla, saya teringat pertama kali saya shalat di sana tahun 1985. Waktu saya bekerja sebagai fotografer di sebuah perusahaan minyak bumi Stanvac milik Amerika, yang kantornya saat itu ada di lantai 1 dan 8 sampai 11, Ratu Plaza Tower, hingga tahun 1987.
Selesai shalat magrib, saya lalu berjalan lewat tangga menuju lobby perkantoran. Masih ada kenangan yang membekas saat bekerja di sana lebih dari 32 tahun yang lalu. Keluar dari lobby, perasaan terasa lega, karena dua kewajiban telah di tunaikan, puasa dan shalat magrib. Â Mengenai dosa saya terhadap sopir angkot, biarlah Allah yang menentukan balasannya. Saya mendoakan semoga sopir tersebut mendapatkan rizki lebih dari keruagian yang dia dapatkan karena saya batal naik angkot dia. Aamiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H