Peristiwa ini bermula saat kran air panas dispenser di studio tidak mengeluarkan air. Walau tombolnya berusaha diputar dan  dipencet berulang kali, yang keluar paling hanya beberapa tetes air. Karena di studio tidak ada perkakas, atas persetujuan bersama saya lalu memanggil tehnisi. Melalui pencarian lewat Google, saya menemukan pusat servis yang lokasinya tidak begitu jauh dari studio.
Saat berbicara dengan pihak bengkel yang saya hubungi lewat telpon yang disertakan di situs mereka, saya meminta agar kran air panas yang rusak diganti dan dijawab oke, yang kemudian pembicaraan berlanjut ke masalah harga, dan disepakati ongkosnya Rp.175.000,-
Saat tehnisi datang, saya menunjukkan dispenser yang rusak. Sang tehnisi yang berusia sekitar 20an, langsung membongkarnya di ruang studio, sementara saya tetap melayani pelanggan di toko. Saat ada waktu lowong, saya lalu masuk ke ruang studio. Rupanya dispenser sudah terbuka bagian atas, dimana terdapat deretan 3 kran buat air panas, normal dan dingin.Â
"Mana kran barunya, lihat dong...?!" kata saya kepada sang tehnisi.
"Nggak ada pak, saya disuruh kesini hanya untuk menyervis..." jawab sang tehnisi sambil menghentikan kerjanya dan melihat ke arah saya..
"Lho, tadi di telpon kan saya sudah bilang, krannya harus diganti..."
"Tapi boss bilang hanya servis, pak..."
Si tehnisi lalu mengeluarkan handphone dari kantongnya, dan menelpon. Setelah tersambung, rupanya dia menelpon bossnya. Dari pembicaraan yang terdengar, rupanya dia memang hanya disuruh menyervis, tanpa ada penggantian sukucadang. Hal itu kembali dikatakannya kepada saya setelah dia selesai berbicara dengan bossnya.
Merasa dibohongi, saya lalu menelpon bossnya.
"Bagaimana ini boss, saya tadi kan sudah bilang kran air panasnya minta diganti, saat saya tanyakan krannya kepada tehnisi, katanya nggak ada!"
"Iya, pak. Krannya lagi kosong, makanya kita hanya servis saja..."
"Lho, tadi saat saya tanya, katanya krannya ada. Kok sekarang bilang nggak ada, bagaimana, sih?
Karena kesal sudah dibohongi, saya lalu mematikan handphone.
"Mas, batalkan saja servisnya kalau memang tidak ada kran penggantinya...!" kata saya kepada si tehnisi yang dengan perasaan tidak nyaman menunggu saya selesai berbicara dengan bossnya. Sang tehnisi yang berada dalam posisi sulit itu, akhirnya memasang kembali dispenser yang sudah dibongkarnya.
Karena penasaran dan kesal, setelah tehnisi pergi, saya lalu googling lagi. Mencari pusat service resmi dispenser yang rusak. Ketemu, ada di beberapa tempat. Diantaranya Bekasi, Depok, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara.Â
Besoknya, menjelang siang, saya berangkat menuju pusat servis Sanken di Pluit, Jakarta Utara. Setelah ketemu, lalu membeli kran air panas yang rusak. Setelah itu kembali ke studio. Sampai di studio terlebih dulu saya membeli obeng, tang dan cabel tie buat pengikat selang yang terhubung ke kran agar tidak mudah lepas dan bocor. Setelah berkutat kerja sekitar 2 jam, dispenser pun selesai diperbaiki, dan kami bisa bikin kopi lagi, karena air panas sudah mengalir dengan lancar.
Kisah di atas itu terjadi tahun lalu.Â
Awal bulan kemarin, dispenser bermasalah lagi. Kebetulan, kasusnya sama dengan tahun lalu, kran air panas macet lagi! Sebenarnya kerusakannya hanya pada kran air panas saja. Tapi untuk memperbaiki satu kran tersebut,2 selang karet yang menghubungkan tanki air dengan kran yang lain juga harus dibuka. Nah, persoalannya, slang yang terhubung ke kran air dingin, ujungnya sudah robek sejak pertama kali diservis tahun lalu itu. Saat dibuka kemarin, robeknya semakin melebar, sehingga harus diganti.Â
Walau sudah pernah pergi ke pusat servis Sanken ini tahun lalu, turun dari bus Transjakarta di halte Penjaringan, saya lalu menuju jalan Pluit Raya. Karena seingat saya pusat servisnya tidak begitu jauh, saya sengaja berjalan kaki dibawah terik matahari menjelang jam 12 siang. Sebenarnya saya berangkat cukup pagi. Tapi karena harus kontrol ke Puskesmas Tomang, sekaligus mengambil obat darah tinggi. Jam 11 baru saya selesai dan keluar dari Puskesmas.Â
Merasa tanggung untuk naik ojol, karena merasa lokasi yang saya tuju cukup dekat, tak terasa saya sudah berjalan lebih dari satu kilometer, tapi dinikmati saja, hingga akhirnya saya sampai di tempat yang dituju, sayangnya saat saya tiba, para karyawan pas lagi sitirahat siang hingga pukul 13.00.Â
Selesai bertransaksi beli 3 selang dan satu pipa penyambung, dengat total 55 ribu, saya kembali pulang ke studio. Sampai di studio hampir pukul 14.00, lalu shalat zuhur. Selesai shalat langsung ngerjain dispenser. Melepaskan kran air panas dari tutup depan dispenser, setelah lepas, krannya saya bongkar. Begitu semua jeroan kran itu terbongkar dari sarangnya, terlihatlah tumpukan semut mati, sehingga menutup lubang kran. Semua komponen yang berada di dalam kran itu saya cuci, hingga semua bangkai semut itu tak ada lagi yang menempel disana.Â
Pekerjaan lanjutan adalah  memotong selang, menyambung, mengikat sambungan pada lokasi kerja yang hanya bisa di masuki ujung-ujung jari karena sempitnya. Selepas ashar tuntas juga pekerjaan yang saya lakukan. Saat di uji coba, alhamdulillah tidak ada kebocoran, sehingga magribnya sudah bisa berbuka dengan teh manis lagi.
Apa yang saya dapatkan dari kisah ini? keahlian sederhana sebagai seorang tehnisi yang berawal dari rasa kesal atau marah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H