Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Upah Pertama Hasil Cucuran Keringatku

25 April 2019   09:54 Diperbarui: 25 April 2019   20:54 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1963

Aku lagi di Guguak Rang Pisang, rumah keluarga almarhum ayah. Matahari baru saja menyinari kampung. Itu menandakan waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 9 pagi. 

Matahari memang terlambat menyinari kampung keduaku itu, karena posisinya yang berada di kaki bukit barisan yang membentang dari Utara ke Selatan, sehingga menghalangi matahari pagi yang terbit dari Timur. 

Beda dengan kampung pertamaku di Ladang Darek, dimana aku dilahirkan. Kami bisa menikmati hangatnya cahaya matahari sejak sekitar pukul  7 pagi. Karena kampungku berjarak sekitar 1 kilometer ke arah Barat dari kaki Bukit Barisan.

Kampung sudah sepi dari anak-anak, karena mereka sudah berangkat ke sekolah di SD Hilir Lama yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari Guguak Rang Pisang. Kecuali anak-anak yang masih di bawah usia sekolah seperti aku, atau yang masih balita. Yang masih asyik bermain di rumah, menemani orang tua masing-masing.

Aku berjalan di atas pematang sawah yang ukurannya lebih lebar dari pematang sawah lainnya, karena memang dibuat untuk jalan bagi warga yang tinggal di dusun Karan, tempat rumah keluarga ayahku berada, menuju jalan raya satu-satunya yang melintas di kampung itu. Melewati sawah-sawah yang sedang ditumbuhi palawija seperti jagung, kacang tanah dan sayur-sayuran. Sebagai pengisi jeda menjelang musim tanam padi berikutnya.

Jalan kecil pematang sawah yang di sampingnya juga terdapat selokan tempat mengalirkan air yang berasal dari rimba bukit barisan, untuk mengairi sawah yang berada di kiri dan kanannya, berakhir di tikungan jalan raya yang di sisi satunya terdapat sebuah masjid, tempat warga menunaikan ibadahnya. 

Sampai di jalan raya, aku berhenti sejenak di halaman masjid. Untuk menyegarkan wajah dan kepalaku yang berkeringat, aku lalu menuju kolam tempat berwudhuk.

Kolam dengan lebar hampir 2 meter dan memanjang hingga ke sisi sebelahnya, dengan dibatasi di bagian tengah untuk memisahan tempat wudhuk laki-laki dan perempuan, berisi air yang begitu jernih, sehingga kita bisa melihat hingga ke dasar kolam.

Aku lalu mencuci muka. Dinginnya air kolam yang berasal dari bukit barisan itu, menyegarkan wajah dan kepalaku, membuat aku cukup betah berlama-lama main air di sana, sambil sekalian membersihkan kaki juga.  

Setelah puas bermain air, aku keluar kembali ke jalan raya yang juga berfungsi sebagai halaman masjid. Aku menoleh ke kanan, pandangan mataku menelusuri jalan lurus mulai dari halaman masjid melewati kampung dengan rumah di sisi kiri dan kanannya, terus melalui turunan menuju persawahan yang membentang hingga mentok di jembatan yang melintang di atas sungai yang di kampung kami disebut Agam. 

Sepinya kampung yang hanya sesekali dilintasi warga dengan berjalan kaki atau bersepeda, membuat aku mengalihkan pandangan ke jalan yang ada di sisi kiriku. 

Berbeda dengan jalan yang berada disisi kananku yang lurus, jalan yang berada di sisi kiriku justru berbelok. Belokan pertama tentu saja di sudut masjid. Karena masjid ini benar-benar berada di sudut jalan raya. Jalan ini selanjutnya melengkung ke kanan yang sekitar satu kilo kemudian akan sampai di perbatasan nagari Kamang Ilir dan Nagari Salo.

Rasa ingin tahu membuat aku berjalan ke arah kiri, melewati belokan panjang hingga ke dusun Banau, dimana jalan mulai agak lurus lagi.

Sampai di dusun Banau, setelah melewati sebuah rumah kecil yang kami sebut gudang milik keluarga ayahku di sebelah kanan ujung tikungan, yang saat itu tidak berpenghuni, aku melewati turunan. Di dasar turunan sebelah kanan jalan terdapat sebuah pabrik pembuatan batu bata yang terbuat dari tanah liat. 

Aku lalu masuk ke halaman pabrik batu bata itu, sebuah truk parkir disana. Rupanya truk itu sedang dimuat dengan batu bata yang akan dikirim kepada pemesan. Aku tidak tahu, apakah yang memesan orang yang lagi membangun rumahnya, atau toko yang menjual alat bangunan.

Pemuatan batu bata ke dalam truk itu hanya dilakukan dua orang. Satu orang mengangkat dari tumpukan batu bata di depan pabrik dan satu orang lagi menunggu di atas truk, menyusun dengan rapi batu bata ke dalam truk. Satu orang lagi yang berada disana adalah pemilik pabrik batu bata. 

Dia bukanlah orang kampung kami, melainkan dari kampung lain yang melihat potensi tanah liat kampung kami yang bisa dibuat jadi batu bata merah. Sang pemilik pabrik batu bata juga sekalian menghitung berapa jumlah batu bata yang sudah di muat ke dalam truk.

Melihat yang mengangkut batu bata hanya satu orang, di hatiku timbul keinginan untuk membantu. Tanpa disuruh siapapun, aku lalu mendekati tumpukan batu bata yang akan diangkat ke dalam truk.

Karena sudah melihat bagaimana cara bagaimana si pengangkat membawa batu bata dari tumpukan ke truk, akupun melakukan hal yang sama. Mengambil dua batu bata lalu menumpuk keduanya dan memegang di kedua ujungnya, kemudian mengangkat dan mengantarkannya ke atas truk.

Hal pertama yang aku takutkan saat mengangkat batu bata itu adalah kalau aku dilarang untuk membantu. Makanya telingaku begitu sensitif  mendengarkan setiap perkataan yang terdengar keluar dari mulut ketiga orang yang berada di sana. 

Angkatan pertama membawa dua batu bata aku lolos. Tapi perasaanku belum tenang, dadaku masih berdebar-debar. Aku melanjutkan dengan angkatan kedua.

Karena angkatan pertamaku dengan dua batu bata terasa tidak terlalu berat, maka pada angkatan kedua aku lalu menambah satu lagi menjadi tiga batu bata, dan kembali aku lolos dan tidak mendengar kata-kata yang melarang aku untuk membantu mereka.

Lolos dalam dua angkatan, aku semangin bersemangat membantu. Angkatanku pun aku tambah satu lagi menjadi empat buah batu bata.

Hanya saja, kalau pada angkatan pertama dan kedua aku mengangkat batu bata itu dengan sedikit agak membongkok agar batu bata itu tidak menyentuh bajuku, maka pada angkatan ketiga ini aku lalu membuka baju, dan mengangkat batu bata itu dengan menahannya dengan perut dan dadaku dengan posisi tubuh tidak lagi membungkuk tapi tegak dan agak sedikit doyong ke belakang.

Mendapat mainan baru dan tanpa ada yang melarang, aku semakin bersemangat. Tangan dan dadaku yang mulai memerah kena lunturan batu bata bercampur keringat tidak lagi menjadi perhatian. 

Aku berusaha melangkah lebih cepat dari si bapak yang mengangkat 10 batu bata sekaligus. Saking bersemangatnya aku berusaha membalap si bapak satu angkatan dia dengan dua kali angkatan dariku, walau itu berakibat nafasku jadi ngos-ngosan.

Membantu tanpa merasa lelah, akhirnya truk yang kami isi itupun penuh dan bagian belakang bak truk itu ditutup. Begitu selesai, aku lalu mengambil baju dan berdiri menunggu truk itu berjalan meninggalkan pabrik batu bata itu. 

Begitu truk bergerak, akupun lalu berjalan menuju masjid untuk membersihkan tubuhku yang berlepotan dengan keringat bercampur debu batu bata yang berwarna merah.

Baru saja aku melangkah meninggalkan pabrik batu bata itu, suara pemilik pabrik terdengar memanggilku. Aku yang tadinya sudah melangkah menuju jalan lalu berbalik arah dan melihat kepada pemilik pabrik yang berjalan mendekatiku.

"Ini buat jajan dan beli sabun mandi dan sabun cuci" katanya sambil menyodorkan   sejumlah uang ke tanganku. Dengan rasa tak percaya dan ragu-ragu, aku lalu menerima pemberiannya. Aku tak ingat lagi berapa aku diberi waktu itu, karena rasa senang bisa membantu pekerjaan mereka lebih menguasaiku. 

Setelah mengantongi uang yang diberikan si pemilik pabrik, aku langsung berlari menuju masjid sambil memegangi baju agar tak mengenai tubuhku yang kotor. 

Puluhan tahun berlalu, baru aku merasakan, itulah upah pertama yang kuterima dari hasil cucuran keringatku, walau sebenarnya dari awal aku memang tak pernah memikirkannya, apalagi mengharapkannya. Karena yang terasa saat itu hanyalah keinginan untuk membantu tanpa mengharap apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun