Minggu 24 Maret kemarin, sibuah simbol peradaban baru walau sudah ketinggalan dari negara tetangga puluhan tahun, diresmikan oleh Presiden Jokowi. Proyek yang sudah digagas sejak tahun delapan puluhan itu, benar-benar menjadi magnet warga Jakarta uantuk mencobanya, karena memang diberi kesempatan uantuk mencoba secara gratis.
Namanya barang baru, sudah pasti menarik perhatian. Apalagi diberi kesempatan untuk mencoba secara gratis pula. Maka berduyun-duyunlah warga Jakarta mendatangai Stasiun Bundaran Hotel Indonesia, dimana pada awalnya satu-satunya pintu masuk yang dibuka bagi mereka yang ingin mencobanya.
Awal masa percobaan, penumpang yang datang untuk menikmati MRT yang dari sononya adalah singkatan dari Mass Rapid Transportation yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Moda Raya Terpadu, adalah orang-orang pilihan yang mendaftar secara berkelompok dari instansi, lembaga pendidikan, maupun komunitas.
Karena secara intelektual mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa mengikuti aturan, maka uji coba MRT tersebut boleh dikatakan lancar, tanpa insiden atau kejadian merusak pemandangan, atau menjatuhkan nama baik instansi atau komunitas mereka masing-masing.
Semakin dekat tanggal peresmian, dan semakin sedikit hari tersisa, sementara minat warga yang ingin menikmati MRT gratis dalam masa percobaan makin meningkat, maka untuk menjadi peserta masa percobaan gratis lalu dipermudah, yaitu bisa daftar di tempat, bukan hanya untuk satu orang, tapi boleh sampai lima orang sekaligus cukup hanya dengan jaminan KTP satu orang pendaftar.
Bila sebelumnya stasiun tempat pintu masuk hanya yang di Bunderan HI, maka untuk mengurangi mengularnya warga yang antri di sana, beberapa hari belakangan semua stasiun diaktifkan dan warga bisa masuk, mendaftar dan naik dari stasiun terdekat dari tempat mereka masing-masing.
Dibukanya semua stasiun, nampaknya tidak didukung oleh petugas keamanan yang memadai. Ibarat anak kecil dapat mainan baru, warga yang datang ke stasiun tampaknya tidak siap secara mental memasuki dunia baru peradaban transportasi Indonesia, khususnya Jakarta.
Saya yakin diantara mereka yang melakukan perbuatan yang merusak pemandangan dan bahkan juga fasilitas yang ada di MRT itu sudah pernah naik bus Transjakarta atau kereta api Commuterline. Sayapun yakin, mulai dari stasiun lalu masuk ke dalam kereta mereka, akan mengikuti aturan. Tapi kenapa saat memasuki MRT yang masih sangat baru ini mereka bertingkah norak dan berperilaku benar-benar seperti anak kecil.
Yang paling menyedihkan lagi, para warga yang datang ke stasiun itu tak hanya untuk menikmati layanan gratis ujicoba MRT, tapi malah juga menjadikan stasiun MRT sebagai tempat wisata alam yang boleh dan bisa duduk di lantai seenaknya sambil makan, minum bahkan merokok! Kemudian, saat pulang dan meninggalkan stasiun, mereka membiarkan sampah mereka berserakan sembarangan, sehingga stasiun yang tadinya rapi dan bersih menjadi kotor.
Tapi apa yang dilakukan oleh para penumpang yang kurang mempunyai adab, etika dan sopan santun dan tidak mengikuti peraturan itu. Seakan gambaran juga dari apa yang dilakukan oleh seorang pejabat MRT saat rombongan kami mendapat kesempatan mengikuti ujicoba pertengahan pebruari lalu.
Saat itu rombongan kami tengah berdiri di trotoar depan pintu masuk stasiun Bunderan HI, menunggu giliran masuk. Sebuah sedan hitam berhenti persis dekat trotoar kami berdiri. Saat penumpangnya turun, dia melemparkan benda putih ke aspal dekat pintu mobilnya, lalu menginjaknya. Rupanya puntung rokok. Setelah itu dia menutup pintu mobil dan berjalan menuju pintu masuk stasiun. Di dada kiri kemeja yang dikenakannya terlihat logo MRT berwarna biru. Mobil sedan hitam yang dinaikinya juga berjalan meninggalkan lokasi, terlihat plat nomornya berwarna merah.
Setelah sang pejabat masuk ke gerbang stasiun, saya lalu mengambil puntung rokok itu. Sebelum mengambilnya, tergerak hati hendak memotretnya, tapi saya batalkan. Puntung rokok itupun saya masukkan ke dalam tong sampah yang terdapat dekat tangga gerbang stasiun.
Terlepas dari apa yang terjadi pada masa percobaan MRT tersebut, ada satu momen yang menyejukkan hati, yang membuat semua orang yang melihat kejadian merasakan sesuatu yang menggugah kesadaran kita. Yaitu saat ibu Iriana membetulkan stiker yang terkelupas di tangga stasiun Lebak Bulus. Sebuah tindakan yang lahir dari kesadaran dan kepedulian atas sesuatu yang terlihat tidak sebagaimana mestinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H