Setelah menempuh jalan desa yang hanya beralaskan tanah atau sebagian tempat berpasir dan berbatu, kami sampai di Baso. Kami bertemu jalan raya beraspal hitam, lalu menyeberangi jalan itu. Aspalnya yang panas diterpa matahari, membuat kakiku yang tanpa alas kepanasan. Aku menyeberang cepat-cepat.Â
Tanganku yang tadi dipegang oleh pak Uwo aku lepaskan, lalu berlari menuju ke seberang jalan sambil meringis menahan panasnya aspal. Sampai di seberang jalan aku berdiri di atas rumput yang juga sudah menguning kepanasan, menunggu pak Uwo yang ketinggalan di belakangku.
Setelah pak Uwo berada di dekatku, kami langsung menuju stasiun. Kereta api belum datang, kami lalu duduk di bangku panjang yang menempel ke dinding ruang tunggu, cukup banyak penumpang yang juga sedang menunggu kereta api. Sementara aku duduk pak Uwo lalu mengatakan kepadaku agar tidak kemana-mana, pak Uwo mengatakan akan membeli karcis dulu.
Sekembalinya pak Uwo membeli karcis, beliau kembali ke tempat aku duduk, tempat duduk yang ditinggalkannya tadi sudah diisi orang lain. Pak Uwo menyuruh aku berdiri, kemudian beliau menggantikan tempat dudukku. Sambil berdiri aku meraba sekitar celanaku yang tadi basah sewaktu menyeberang sungai. Nampaknya bagian luar semuanya sudah kering, kecuali bagian dalam di sekitar kantong, masih terasa agak lembab.
Cukup lama kami menunggu hingga kereta datang. Karena capek berdiri juga karena berjalan sejak dari kampung tadi, mataku mengantuk. Dalam keadaan bersandar di kaki pak Uwo, kadang-kadang badanku oleng yang segera di pegangi oleh pak Uwo sambil menggoyangkan badanku, hingga aku terbangun lagi, walau dalam keadaan mataku masih berat.
Akhirnya kereta yang kami tunggu datang juga, dari jauh kedengaran suara peluitnya yang khas melengking tinggi dengan suara cuit, cuit. Para penumpang di stasiun segera bersiap-siap, termasuk kami. Pak Uwo bangun dari bangku yang didudukinya sambil memegangi tanganku.
Setelah kereta memasuki stasiun dan berhenti, aku lihat cukup banyak juga penumpang yang turun. Penumpang yang menunggu di bawah berebutan naik, sehingga pintu masuk deresi yang terletak di ujung persambungan antar deresi menjadi sempit. Bau asap dari batu bara yang berasal dari lokomotif, memenuhi stasiun. Untung saja angin berembus cukup kencang, meniup asap membubung ke angkasa, sambil menjatuhkan debu batu bara yang tak tertiup angin, diantaranya ada juga yang jatuh di atas kepala dan tanganku, butir halus berwarna hitam.
Pak Uwo segera menarik tanganku menuju peron. Karena kami tak membawa banyak barang seperti kebanyakan penumpang lain, dengan cepat kami bisa naik ke atas kereta dan mendapatkan tempat duduk di pinggir dekat jendela, bukan di bangku panjang yang berada di tengah yang tidak ada tempat bersandarnya. Ini adalah kedua kalinya aku naik kereta api, setelah dulu aku pernah ke Bukittinggi bersama kakakku.
Kereta berhenti cukup lama. Kata orang lokomotifnya minum dulu. Aku tak mengerti apa artinya lokomotif minum dulu, aku hanya menyimak saja apa yang di bicarakan orang itu. Selagi menunggu kereta berangkat, aku mendengar suara kereta api satu lagi masuk stasiun. Orang yang di sekitarku mengatakan bahwa kereta yang baru tiba itu, datang dari Payakumbuh. Benar saja, tak lama setelah itu serangkaian deresi kereta api berhenti di rel di sebelah kami.
Sambil membalikkan badan dan bersimpuh di atas bangku yang aku duduki, aku lalu melihat kereta yang baru datang. Warna cat kereta itu kuning muda yang sudah mulai pudar serta terkelupas di sebagian dindingnya. Di bagian bawah warna kuning dicat dengan warna hijau tua.Â
Cukup banyak juga penumpang yang ada di atas kereta yang baru datang tersebut. Tempat duduk yang dekat jendela penuh, sehingga pandanganku ke bagian dalamnya agak terhalang.