Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cepatlah Sembuh, Putriku...

21 April 2016   14:32 Diperbarui: 21 April 2016   14:42 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Stasiun Bogor"][/caption]

[caption caption="Status yang saya tulis di atas kereta api menuju Bogor."]

[/caption]

 

Sampai di stasiun Bogor jam 11 lewat beberapa menit. Karena terlambat memberitahu di mana posisi saya berada, bapak yang akan menjemput juga terlambat sampai di stasiun. Dalam perkiraannya saya tidak jadi datang karena saya tidak menelpon, sehingga dia juga tidak bersiap untuk menjemput saya. Sementara saya terlambat menelpon karena kepanjangan membuat status di atas kereta, sehingga saya baru sempat menelpon setelah sampai di Citayam, setelah status yang saya tulis publish di FB.

Setelah teleponan dan janjian dimana akan bertemu, kami sepakat menentukan titik kumpul di Bank BRI Bogor yang berada di samping Taman Topi. Karena posisi saya yang paling dekat dengan lokasi, maka sayalah yang duluan sampai di gedung BRI. Sekitar lima menit kemudian, si Bapak datang berdua dengan si ibu. Kami bersalaman penuh hangat, walau baru kali itu bertemu, tapi kami merasa bagaikan dua sahabat yang telah berpisah begitu lama, kami berpelukan dengan perasaan yang campur aduk, antara bahagia dan rasa haru, kemudian saya bersalaman dengan ibu, yang sejak tadi memperhatikan kami berdua yang akrab bagaikan dua saudara kandung sambil tersenyum, tapi dengan rona yang memancarkan keharuan, yang begitu kentara saat saya menyalaminya.

Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, si bapak bercerita banyak yang sering juga di sela oleh si ibu. Si bapak menceritakan bagaimana keadaan putrinya, yang tanpa terasa membuat mata kami bertiga sama-sama memerah. Sayapun menceritakan bagaimana pertemuan saya dengan putrinya melalui ajang acara yang diadakan oleh Kompasiana di berbagai tempat di Jakarta. Serta putrinya yang beberapa kali datang ke rumah saya di Tomang, menjalin silaturrahim antara anak dan keluarga bapak mayanya. Suatu hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, rumah kami menjadi persinggahan anak-anak maya saya.

Sampai di rumah sakit, kedatangan kami disambut oleh suara azan zuhur yang berkumandang dari menara masjid yang berada di dalam komplek rumah sakit. Kami sepakat shalat zuhur berjamaah dulu sebelum menemui anak kami di ruangannya.

Selesai shalat zuhur, bertiga kami berjalan menuju ruangan dimana anak kami dirawat. Walau kami berjalan sambil ngobrol, tapi saya adalah yang paling merasakan ketegangan saat itu. Dada saya berdebar-debar, semakin dekat ke ruangannya, detak jantung saya semakin kencang, namun saya berusaha untuk menahannya. Beraneka bayangan berkelebat di kepala saya, hatipun berkata dalam kecemasan yang sangat tinggi, bagaimana keadaan anak saya, bagaimana kalau dia tidak mengenal saya, bagaimana jika kedatangan saya justru membawa akibat jelek bagi dia dan begitu banyak pertanyaan bagaimana, bagaimana yang tak saya temukan jawabannya, sebelum bertemu dengannya.

Kamipun sampai di ruangan rawat inap anak kami. Rupanya saat kami tiba adalah jam makan siangnya. Entah mungkin sudah diatur Tuhan, begitu sampai dan masih berada di luar kamar yang pintunya terbuka, saat berjalan menuju tempat makan, dia melihat saya dan….. tersenyum! Tak ada kalimat yang dapat saya sebut saat itu selain rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah, dia masih mengenal saya! Sebuah pertanda positif yang kami bertiga rasakan, karena kecemasan yang saya rasakan rupanya juga dirasakan oleh bapak dan ibu kandungnya saat berjalan menuju kamar anaknya. Kami masuk dan menunggu sambil duduk di kursi tamu sambil ngobrol. Tapi obrolan kami saat itu lebih didominasi oleh perasaan bahagia kami melihat anak kami terlihat begitu sehat, hanya saja agak sedikit kurus dari biasanya.

Selesai makan dia menuju tempat kami duduk, si bapak yang tadinya duduk di samping saya, berpindah ke samping ibu, dan mempersilakan anaknya duduk di samping saya. Sangat sulit saya menyembunyikan kebahagiaan saya saat itu, begitu dia duduk, pundaknya saya rangkul dengan hangat, lalu mencium atas kepalanya yang tertutup jilbab, rasa haru dan bahagia tak dapat kami tutupi, tapi saya tetap berusaha agar airmata bahagia saya tidak jatuh melewati kelopak mata saya, begitu juga bapak dan ibunya yang berusaha menyembunyikan tangisnya, dengan melengos ketempat lain. Namun warna merah di sekeliling kelopak mata bapak dan ibu itu, tidak bisa disembunyikan.

Dalam obrolan saya dengannya sambil memancing dengan pertanyaan, apa tidak kangen dengan acara kompasiana? “Banget…!!! Itulah jawaban spontannya sambil tersenyum, diiringi gerakan pundak dan tangan yang memcermikan antusiasme, sebuah jawaban yang mencerminkan keadaan dirinya yang benar-benar telah siap untuk pulang ke rumah dan kembali bergabung bersama sahabat-sahabat Kompasiana di manapun berada. Dalam hati sayapun berdoa dan berharap. Cepatlah sehat dan pulang, putriku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun